PWMU.CO-Cak Tamat. Demikian saya biasa memanggil H. Tamat Anshory Ismail (73). Termasuk kawan-kawan lain yang lebih junior. Hari itu dia kembali ke hadirat Allah swt, Rabu (9/10/2019) sekitar pukul 11.55 di RS Haji Surabaya.
Setelah mengantar jenazahnya ke pemakaman Asem Jaya, langsung ingatan saya tertuju pada satu hal. Proyek penulisan buku biografinya. Tapi kemudian dia menyarankan buku itu diubah menjadi Kisah-Kisah Dai Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jatim. Perubahan itu dia sampaikan sebelum sakit yang terakhir ini.
Ya, sebagai wakil ketua Bidang Humas DDII Jatim awal mulanya saya diserahi mengoordinasi penulisan buku biografi Cak Tamat. Dengan melibatkan lima pengurus lain yang berlatar belakang jurnalis dan dua penulis buku, saya mencoba berdiskusi kemudian merumuskan konsepnya.
Rancangan sudah jadi. Saya mencoba beberapa kali hendak memulai silaturahim dengan Cak Tamat. Namun, dia selalu meminta untuk menunggu waktu yang pas.
Terakhir saya tagih lagi sebelum Idul Adha 2019 lalu. Bahkan atas inisiatif kawan-kawan meminta wawancara pertama dilakukan di rumahnya Jl Demak Jaya II/33 Surabaya.
Tapi melalui percakapan telepon Cak Tamat menjawab, ”Tunggu dulu. Saya masih repot. Nanti saya kabari lagi.” Penantian itu terselingi dengan kondisinya yang sesekali masuk rumah sakit. Opname beberapa hari karena kesehatannya drop.
Harap-harap cemas. Kehilangan momentum yang amat mahal. Dan saya sadar ini bukan persoalan jarum jam yang bisa diputar balik.
Tiba-tiba tanpa diduga Mas Juwari, wakil sekretaris DDII Jatim, mengabari saya di rumah kalau Cak Tamat dalam Rapat Pengurus yang tidak saya hadiri menyampaikan, penulisan biografi atas permintaan Cak Tamat hendaknya diganti dengan cerita seputar dai-dai DDII.
Dari sini, seperti diutarakan dalam rapat, Cak Tamat akan memberi sentuhan cerita bagaimana ikut andil membangun jaringan dai-dai itu. ”Saya ini masih hidup kok mau ditulis biografi,” kata Cak Tamat seperti dikutip Mas Juwari.
Subhanallah. Saya mencoba berpikir sambil merenung. Saya baru paham. Itu sikap Cak Tamat yang saya hapal sejak saya aktif di PII Jawa Timur. Aktivis Islam yang rendah hati dan sama sekali tidak suka ditonjolkan perannya dalam ormas dan gerakan yang digelutinya.
Saya lalu beberapa kali berandai-andai, bagian dari sikap menjaga perasaan orang lain, adalah dia tidak menyampaikan secara langsung kepada Tim Penulisan Biografi. Sejauh itulah Cak Tamat secara tidak langsung mendidik para aktivis dakwah. Tidak cuma pikiran dan perbuatan. Tapi juga perasaan dan kehormatan.
Tanpa bermaksud menonjolkan diri, lagi-lagi untuk meneladani sikapnya, saya bersyukur dapat berguru banyak dari kiprahnya di ranah perjuangan Islam. Bahkan, saat saya menjadi Ketua Umum PII Jawa Timur 1985-1987 saya kerap diajak serta berkeliling daerah sampai pelosok bersama Ketua DDII Jatim saat itu KH Misbach yang rumahnya hanya sekitar 500 meter dari Sekretariat PII Jatim.
Banyak hal yang bisa dipetik pelajaran darinya. Selain luasnya pergaulan sesama aktivis perjuangan, Cak Tamat termasuk orang yang sering wanti-wanti agar dalam berjuang jangan sampai menjual atau menggadaikan prinsip atas nama atau alasan apa pun.
Saya ingat sekali, saat mau berangkat Rapat Pimpinan Nasional PII Mei 1987, Cak Tamat beberapa kali berpesan agar PII tetap konsisten atau istiqamah dalam mempertahankan asas Islam.
Harap diketahui, dari forum ini lahir Deklarasi Cisarua di mana PII secara aklamasi menyatakan istiqamah pada asas Islam dan tidak menyesuaikan diri dengan UU Keormasan No. 8 Tahun 1985 yang memberlakukan asas tunggal Pancasila.
Terlalu banyak yang mesti dikisahkan. Bersentuhan perjuangan bersama Cak Tamat. Hingga usianya 73 tahun dia tetap mendampingi dan memikirkan umat.
Pernah dalam suatu bezuk saat dia dirawat sebelum sakit terakhirnya, saya dengan beberapa kawan belum sempat bertanya tentang kondisinya, Cak Tamat sudah mendahului bertanya tentang politik terakhir dan pernak-pernik umat dan bangsa yang menjadi perhatian dan kepeduliannya.
Tak beda di rumah dan di medan perjuangan, berbaring di rumah sakit pun masih bicara kondisi perjuangan umat Islam.
Surabaya, 11 Oktober 2019
Kolom oleh Ainur Rafiq Sophiaan Penulis adalah wartawan dan dosen