PWMU.CO – Di sela padatnya jadwal “Sidang Tarjih Fikih Keagamaan Tingkat Nasional Tahun 2019 M/1441 H” yang digelar Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengadakan di Banda Aceh, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Senin-Rabu (14-16/10/19), rombongan dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur menyempatkan mengunjungi Kompleks Perwira-Perwira Turki di Jalan Erdogan, Kampung Bitay, Kecamatan Jayabaru, Kota Banda Aceh.
Karena makam ini terletak di Kampung Bitay, masyarakat menyebutnya sebagai Makam Tengku di Bitay. Sejatinya ialah makam seorang komandan militer Kesultanan Turki Utsmaniy bernama Salahaddin (Selahuddin Mezarugi) yang dikirim ke Aceh bersama 44 orang prajurit dan 8 unit meriam.
Kerajaan Aceh Darussalam memiliki hubungan diplomatik dengan Kesultanan Turki Utsmani sejak abad 15. Saat itu Turki merupakan imperium atau kekhalifahan Islam terbesar di dunia setelah berhasil menaklukkan Konstatinopel yang dijuluki sebagai Kota Abadi Umat Kristiani di Eropa.
Hubungan antara Kesultanan Aceh dengan Othoman Empire di Istambul dimulai sejak masuknya pedagang-pedagang Eropa ke wilayah Nusantara. Para pedagang asal Eropa itu kerap mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaka, termasuk Aceh.
Hubungan diplomatik antara kesultanan Aceh Darussalam dengan Kesultanan Turki Utsmaniy pertama kali dibangun oleh Sutan Ali Riayat Syah Al-Qahar yang memerintah dari tahun 1557-1568 dengan Sultan Salim Khan (Sultan II Selim).
Ketika Belanda menginvansi Aceh pada 1873 hubungan itu masih terjalin. Sultan Aceh Muhammad Daod Syah mengirim surat kepada Raja Turki di Istambul meminta bantuan militer untuk perang melawan Belanda.
Hubungan Kerajaan Aceh dengan Kesultanan Turki lewat satu proses perjalanan yang terkenal dengan istilah Cengkeh Segantang.
Dikisahkan, Sultan Aceh mengirim delegasi kepada kerajaan Turki Usmaniy, yaitu Sultan Ghazi Salim Khan yang memerintah pada tahun 1793-1794 Masehi. Dalam satu kapal yang penuh dengan muatan cengkeh persembahan untuk Raja Agung Turki. Cengkeh saat itu adalah komoditas mahal terutama bagi masyarakat Eropa.
Perjalanan panjang dari Asia Tenggara ke Eropa menyebabkan kapal Kesultanan Aceh kehabisan logistik dan bahan bakar. Cara untuk mengatasi kebutuhan tersebut adalah dengan menjual cengkeh pada setiap pelabuhan yang disinggahi.
Singkat cerita, kapal Kesultanan Aceh tersebut pada akhirnya sampai juga di Istambul. Mereka memperoleh sambutan yang hangat dari Raja Agung Turki walaupun cengkeh yang diangkut di kapal tersisa hanya satu gantang.
Namun yang menarik dari cerita ini adalah pernyataan dari utusan tersebut, bahwa Kesultanan Aceh tunduk pada Kekhalifahan Turki dan wilayah Aceh adalah bagian integral dari kekhalifahan tersebut. Khalifah kemudian mengirim 44 prajurit Turki dan 8 meriam untuk membantu rakyat Aceh perang melawan bangsa kafir Belanda. (*)
Oleh Dr Syamsuddin MA, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.