PWMU.CO – Pengasuhan anak bagi Muhammadiyan dan Aisyiyah adalah pengasuhan berbasis keluarga. Bisa diasuh oleh keluarga dekat atau kerabat dekat. Begitu juga dengan pelayanan lansia. Prinsipnya sama berbasis keluarga.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Majelis Kesejahteraan Sosial (MKS) Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Dra Shoimah Kastolani saat memberikan materi pada Bimbingan Teknis Akreditasi Panti Asuhan Aisyiyah dan Penerapan Standar Nasional Pengasuhan Anak (SNPA) se-Indonesia.
Bimtek diselenggarakan oleh MKS PP Aisyiyah di Hall Taman Sengkaling Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jumat (18/10/19).
Dia menyatakan, hal itu untuk menghindari keterpisahan anak dengan orangtuanya. “Anak yatim tetap ikut ibunya dan kita memberikan bantuan untuk kehidupan dan pendidikannya,” ujarnya.
Panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) adalah alternatif terakhir. Dalam mengelola panti, maka kebijakan yang diambil harus berpikir untuk kepentingan anak asuh. Bagaimana caranya anak-anak bisa melanjutkan sekolah atau kuliah.
Kebutuhan hidup anak-anak juga perlu diperhatikan. Kebutuhan hidup itu bukana hanya sandang, pangan dan papan, tapi anak juga butuh perhatian. “Anak perlu diajak ikut berbicara. Berarti kita menghargai pendapat anak,” ungkapnya.
Menurut Shoimah, anak asuh juga harus mendapatkan perlindungan. Terutama perlindungan dari tindak kekerasan. Panti juga menjamin pemenuhan kebutuhan dasar anak. “Anak-anak itu punya identitas KTP, KK, anak siapa, keturunan siapa. Jangan sampai dihilangkan garis keturunan itu,” tegasnya.
Prinsip pengasuhan bisa diperhatikan Surat Keputusan PP Aisyiyah Nomor 165 Tahun 2013 tentang Pedoman Amal Usaha Kesejahteraan Sosial. Di dalamnya ada peraturan amal usaha, pedoman amal usaha dan santunan keluarga Aisyiyah (SKA).
Kebijakannya adalah panti asuhan itu alternatif terakhir. Tidak selalu panti yang baik yang jumlah anaknya banyak. “Boleh 15 – 20 anak, tetapi yang asuhan luar lebih banyak. Keutuhan keluarga juga diperhatikan oleh kita semua,” terangnya.
Prinsip pengasuhan di Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah tanggung jawab. Kita bertanggung jawab kepada Allah SWT karena telah mendapatkan amanah anak asuh. “Anak-anak butuh kasih sayang dan perhatian. Jadikan ini investasi akhirat,” pesannya.
Meski alternatif terakhir, tetapi harus dikerjakan secara profesional. Seiring sejalan segaris dan dengan ikhlas. Di dalamnya ada pelayanan hukum, pelayanan bimbingan konseling dan pelayanan sosial. Panti yang sudah besar dan bisa memberikan gaji, hendaknya juga ada pekerja sosial.
Kriteria anak yang dapat tinggal di panti adalah yang ditelantarkan orangtuanya, dipekerjakan, korban penjualan organ tubuh, cacat mental sejak lahir. ” Ada yang secara mental direndahkan oleh lingkungan, seperti miskin atau orang tuanya baru keluar penjara,” urainya.
Shoimah mengatakan, Rumah Sakit Muhammadiyah dan Aisyiyah bisa diajak menjadi jejaring. Kalau tidak punya BPJS, bisa memakai Dana Sehat Muhammadiyah (DSM). “Pengurus panti juga harus aktif bertanya ke wilayah, adakah Perguruan Tinggi (PT) Muhammadiyah dan Aisyiyah yang memiliki Prodi Kesejahteraan Sosial. Nanti dijaringkan bagaimana mengembangkan anak-anak,” tuturnya.
Menurut Shoimah, Literasi kita masih rendah. Suara Aisyiyah itu mencari penulis perempuan sulit sekali. Padahal sebetulnya bisa dilatih. Ibu-ibu yang punya kegiatan di ranting atau cabang coba ditulis saja dan masukkan ke Suara Aisyiyah. “Tidak usah takut tulisannya jelek, nanti ada yang bagian ngedit. Kalau sudah dimuat kan ternyata Aisyiyah punya panti asuhan dan banyak kegiatannya,” harapnya. (*)
Kontributor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.