PWMU.CO – Periode pertama kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terbilang gagal dalam membumikan Pancasila. Pancasila tak lebih hanya diposisikan sebagai jargon politik.
Pancasila tak lebih sekadar alat labeling oleh kelompok tertentu yang disokong secara penuh oleh negara untuk memojokkan kelompok lain (baca Islamic, meminjam istilah Oliver Roy) sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, ekstrem, dan intoleran, tentu sambil menyebut diri kelompoknya sebagai paling Pancasilais, paling NKRI, moderat, dan toleran.
Labeling ini termasuk cukup berhasil. Masyarakat terpolarisasi secara ekstrem. Sejak sebelum kemerdekaan hingga awal 2010-an, sejarah politik Indonesia memang diwarnai “pertarungan” kelompok Islamic versus kelompok nasionalis, namun dalam sejarah pertarungan ideologis tersebut, rasanya baru kali ini terjadi pertarungan yang berhasil menciptakan polarisasi secara tajam.
Bukan hanya itu, simbol-simbol dan idiom-idiom politik yang berwajah dan berbau Islam, sesuatu yang biasa dan sah dalam alam demokrasi dan tentu dalam pandangan Pancasila sekalipun, berhasil diacak-acak. Bendera tauhid dipersoalkan, disepadankan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Tokoh-tokoh Islam yang secara politik berseberangan dengan negara dikriminalisasi, ditangkap dan ditersangkakan. Aksi damai umat Islam yang tergabung dalam Aksi 212 disoal dan digugat secara seronok.
Negara benar-benar berhasil melakukan deradikalisasi Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang seharusnya diradikalisasi di tengah-tengah masyarakat justru terderadikalisasi.
Pada periode kedua ini, tentu kalau Presiden Jokowi berkeinginan untuk mempunyai legacy dan happy ending di akhir jabatannya. Maka penting bagi Jokowi melakukan radikalisasi Pancasila pada dua hal.
Pertama, jangan lagi menjadikan Pancasila sebagai jargon yang memecah belah di antara anak bangsa. Jadikanlah Pancasila sebagai instrumen ideologis yang menyatukan—kembali—masyarakat dan umat beragama di Indonesia sebagaimana amanat Sila Ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia.
Kedua, radikalisasi nilai-nilai Pancasila. Rasanya sudah bosan sekali mendengar sila-sila Pancasila dibacakan dalam setiap upacara bendera, namun nilai-nilai fundamentalnya nyaris tak hadir di masyarakat, terlebih di lingkup masyarakat politik kita.
Pancasila hanya sebatas dihafal, tapi nilai-nilainya nyaris tak terimplementasikan dengan baik. Antara das sollen dan das sein dari Pancasila tak ada ketersambungan yang harmonis bak sebuah orkestra. Yang terjadi das sollen jalan ke timur, sementara das sein-nya jalan ke barat.
Pancasilanya menegaskan bahwa Indonesia negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, namun nyaris nilai-nilai Ketuhanan tak hadir secuil pun di ruang-ruang publik. Abuse of power, korupsi, dan kejahatan hukum, politik, dan ekonomi nyaris terjadi secara sempurna.
Pancasilanya menyatakan bahwa politik Indonesia mendasarkan pada Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah/Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, namun pilpres dan pilkada secara langsung yang mafsadatnya terbukti sangat merusak tetap saja dipertahankan. Politik berbiaya mahal yang terbukti berhasil menyuburkan tingginya angka korupsi juga tetap dipertahankan.
Di peridoe keduanya, Presiden Jokowi harus berusaha secara serius melakukan radikalisasi Pancasila di ruang publik.
Kalau Presiden Jokowi berhasil melakukan radikalisasi Pancasila pada dua hal ini, percayalah, Jokowi akan dikenang sebagai Presiden pemersatu bangsa Indonesia dan radikal dalam membumikan Pancasila. Semoga. (*)
Kuala Terengganu Malaysia, 21 OKTOBER 2019.
Kolom oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ.