PWMU.CO – STIT Muhammadiyah Bojonegoro menggelar Rapat Senat Terbuka Wisuda Sarjana XX di Aula Kompleks Masjid At-taqwa, Jalan Teuku Umar 48 Bojonegoro, Sabtu (26/10/19). Sebanyak 60 Sarjana Pendidikan Agama Islam dengan gelar SPd dikukuhkan dalam acara tersebut.
Mewakili Majelis Dikti Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Achmad Jainuri MA dalam orasinya ilmiahnya menekankan pentingnya kejujuran di era yang diwarnai kebohongan seperti sekarang ini.
Zaman ini, menurut Jainuri sudah diprediksi oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya:
َعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ ، لَا يُضِلُّونَكُمْ وَلَا يَفْتِنُونَكُمْ .
Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Di akhir zaman nanti akan muncul para dajjal, para pendusta. Mereka mendatangi kamu dengan perkataan yang tidak pernah kamu dengar, juga bapak-bapakmu. Hendaklah kamu waspada, jangan sampai mereka menyesatkan kamu dan jangan sampai mereka mendatangkan fitnah bagi kamu.” (HR Muslim)
Era dajjal, menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, itu adalah fenomena akhir zaman. Era ini memiliki ciri umum kepalsuan, yakni aksi menutupi kebenaran dengan kedustaan, tanpa membatasi kebohongannya dengan cara dan model tertentu yang disebut dengan istilah post truth atau pasca kebenaran.
“Kita sering menyaksikan bagaimana kekuasaan bertindak sebagai dajjal, dengan segala kewenangan yang dimilikinya, yaitu penguasaan data dan informasi. Media massa mainstrean yang berkemampuan untuk mengarahkan opini, telah mendistorsi informasi dan menyebarkannya,” ungkap Guru Besar UINSA Surabaya itu.
Dengan biaya unlimited, sambungnya, mereka menggerojok publik dengan informasi yang dikehendaki. Mengendalikan penyebaran informasi sesuai kehendaknya, mana yang ingin dikukuhkan sebagai ‘kebenaran’—meskipun tidak sesuai fakta—dan mana yang dinafikan meskipun merupakan fakta yang sesungguhnya.
Jainuri menegaskan, di zaman ini data yang disajikan, baik kabar, penjelasan, bukti-bukti, dan publikasi yang dilansir media massa, atau temuan-temuan tim pencari fakta, hasil polling atau jajak pendapat yang dilansir lembaga-lembaga penelitian, atau yang terungkap di persidangan dalam sebuah kasus, belum tentu merupakan fakta yang sesungguhnya terjadi.
“Dengan kata lain, banyak pendusta yang berusaha untuk menutupi fakta dengan cara mendistorsi data-data yang disuguhkan sehingga bahan untuk mengambil kesimpulan atas fakta yang sesungguhnya terjadi telah berubah,” urainya.
Kedustaan dan kebohongan, lanjutnnya, dilakukan di hulu, sehingga hilir pengambilan kesimpulan menjadi bias. “Dipastikan kesimpulan tentang fakta yang terjadi tidak menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi,” jelasnya.
Di atas itu, terang Jainuri, masih ada kebohongan yang lebih tinggi: data yang ditemukan dan disajikan sebagai landasan untuk mengambil kesimpulan benar dan objektif, akan tetapi kekuasaan memang menghendaki fakta tersebut demi menutupi fakta lain yang sesungguhnya terjadi.
“Masyarakat awam lebih sering disuguhi sajian seperti itu, sandiwara di persidangan yang berkepanjangan, atau sajian berbagai peristiwa yang menyedot perhatian. Sementara fakta materiil yang terungkap di persidangan bukanlah hakikat yang sebenarnya terjadi. Kebenaran dan keadilan yang tersaji tak lain hanyalah kebenaran dan keadilan formal, standar operational procedure, yang jauh dari rasa keadilan,” terang dia.
Karena itu, menurut Jainuri, pendidikan tidak boleh semata-mata menekankan aspek kognitif yaitu transformasi pengetahuan. Tapi juga afektif yang menekankan karakter atau akhlakul karimah dan psikomotorik yang memberikan bekal ketrampilan.
“Sehingga output anak didik kita adalah sosok yang luas wawasannya, memiliki skill guna mewujudkan teori-teori yang dikuasainya, dan yang paling penting akhlakul karimah, yaitu jujur, tidak suka bohong. (*)
Kontrbutor Syamsuddin. Editor Mohammad Nurfatoni.