PWMU.CO – Salah satu unsur penting dalam membangun kebersamaan dalam perbedaan adalah menghindari penilaian terhadap pihak yang berbeda secara sepihak. Dalam beberapa waktu terakhir, ukhuwwah antara warga Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) lumayan terganggu dengan “temuan” buku fiqih yang diklaim sebagai karya KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Konon dalam kitab yang diterbitkan setahun setelah Kyai Dahlan wafat itu memuat berbagai ajaran, yang intinya amaliyyah Muhammadiyah itu sama dengan NU.
Bagi Muhammadiyah, penemuan buku itu (yang sampai sekarang keasliannya juga masih meragukan) sebenarnya tidak masalah. Toh, perkembangan paham keagamaan dalam Muhammadiyah bersifat dinamis (berkemajuan) dari masa ke masa. Apalagi dalam masalah fiqhiyyah, yang dalam sejarah Islam sejak lahir pun sangat membuka terjadinya perbedaan/perubahan pikiran seiring dengan perubahan ruang dan waktu.
(Baca: Mengkafirkan dan Mencaci Pelaku Bid’ah Bukanlah Ajaran Muhammadiyah dan Redaksi Takbiran: Allahu Akbar 2 atau 3 Kali?)
Yang menjadi masalah adalah, “buku kuning” itu ternyata dijadikan alat untuk menyudutkan Muhammadiyah sebagai “pembangkang” dan “pengkhianat” terhadap ajaran Kyai Dahlan. Bangunan logika yang dipakai bukan berdasarkan logika dalam Muhammadiyah, tapi berdasarkan logika golongan mereka.
Berikut adalah tulisan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020 yang juga mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof Muhadjir Effendy. Semoga keberadaan tulisan ini membuat umat Islam lebih waras dalam membaca dan menilai kelompok yang berbeda.
(Baca: Mantan Rektor UMM Tersukses Ini Berbagi 5 Jurus Membesarkan Perguruan Tinggi)
Semoga bermanfaat!
***
Soal kitab kumal yang diklaim karya KH Ahmad Dahlan oleh Yang Terhormat teman-teman NU itu, sudah lama menjadi perbincangan dan bahan pengajian di kalangan NU. Tentu misinya menyuduntukan untuk Muhammadiyah.
Di Malang yang saya tahu, yang paling getol “mengkaji” kitab kuning itu adalah Marzuki Mustamar (banyak rekamannya yang beredar di Youtube, red). Dia memakai logika sederhana. Bahwa yang paling pintar di organisasi itu, ya pendirinya. Kalau NU mbah Hasyim Asyari, kalau Muhammadiyah Kyai Dahlan. Karena itu, itu para pengikutnya harus taat mengikuti ajarannya.
(Baca: Ketika Imam Masjid Muhammadiyah Membaca Qunut dan Putra Tokoh NU Itu Pimpin Pemuda Muhammadiyah)
Atas dasar kitab yang ditemukan itu, Marzuki Mustamar berkesimpulan Muhammadiyah itu sudah melenceng dari ajaran kyai Dahlan. Sebab, di kitab itu misalnya, Kyai Dahlan memakai qunut dalam shalat Subuh, tarawih 23 rakaat, dan seterusnya.
Jelas mereka memakai logika yang (barangkali) seperti itu berlaku di NU. Dan, logika semacam itu ternyata digunakan untuk “membaca” Muhammadiyah. Padahal Muhammadiyah itu dibangun atas dasar logika yang berbeda.
(Baca: Kisah Terusirnya Tokoh Muhammadiyah Yungyang dari Mushala, tapi Akhirnya Dapat ‘Hadiah’ Masjid)
Itu pun, kalau teman-teman NU 100 persen taat kepada ajaran Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, ternyata juga tidak 100 persen benar. Misalnya, mbah Hasyim mengharamkan haul, tapi mereka malah mengamalkan haul. Bahkan Pondok Pesantren Tebu Ireng yang secara tradisional hingga kepemimpinan Pak Ud (KH. Muhammad Yusuf Hasyim, red) tidak pernah menyelenggarakan upacara haul, sekarang digelar haul untuk Gus Dur (Abdurrahman Wahid, red).
Mbah Hasyim juga pernah berfatwa bahwa hukumnya haram ada partai Islam selain Masyumi. Justru sepeninggal mbah Hasyim NU, pada tahun 1953 NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri. Justru Muhammadiyah yang taat pada fatwa itu. Hingga Masyumi membubarkan diri, Muhamnadiyah tetap menjadi anggota istimewa Masyumi.
(Baca: Dirobohkannya Masjid Kami, Sebuah Kisah Nyata Intoleransi Mayoritas pada Minoritas)
Tulisan ini sekedar menambah tulisan tanggapan Pak Din Syamsuddin (versi lengkapnya: Dalam Fiqih, Muhammadiyah Itu Bukan NU), yang menurut saya sudah cukup memadai untuk merespons isu kitab “kuning”. Sebuah kitab yang isinya memang penting untuk dibaca, tetapi bukan lagi waktunya untuk dijadikan pegangan.
Saya sebetulnya berusaha menahan diri sepanjang ada perbedaan NU dan Muhammadiyah. Karena bagi saya, ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat adalah segala-galanya.
(Baca: Ketika MU dan NU Tidak Saling Bertanding … Fenomena Jepara)
Kalau Muhammadiyah dan NU terjalin ukhuwah yang kokoh bersatu dan menjadi satu kesatuan, maka untuk membereskan persoalan bangsa ini, alangkah dahsyatnya. Tetapi itu nyaris menjadi sebuah ilusi. Terlalu banyak pihak yang ketakutan kalau NU dan Muhammadiyah bersatu. Karena itu, pihak-pihak ini berusaha menjauhkan NU dan Muhammadiyah, bahkan menabrakkan satu sama lain.
Disamping itu, harus diakui bahwa dalam dua organisasi ini memang ada yang yang semangat ashabiyahnya (jiwa kegolongan) berlebihan. (*)