PWMU.CO – Ruang IT SMP Muhammadiyah 4 Kebomas (Spemupat), yang terletak di basement Kompleks Perguruan Muhammadiyah Giri, Jalan Sunan Prapen I/17 Giri Kebomas Gresik, Selasa (12/9/19), bak panggung stand up comedi. Gelak tawa mewarnai lebih dari separuh waktu yang digunakan dalam pertemuan 13 guru dan karyawan Spemupat.
Padahal dalam pertemuan yang digelar setiap Selasa dua pekan sekali itu, tema yang dibahas kali ini cukup serius, Menggiatkan Literasi di Kalangan Guru: Latihan Menulis Berita. Tapi nara sumber yang dihadirkan, yakni Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni, mampu mengubah yang serius jadi serba ngakak.
“Saya ini bisa disebut mualaf Muhammadiyah, karena aktif di persyarikatan tanpa melalui proses pengkaderan di ortom (organisasi otonom). Tidak pernah di IMM, Pemuda Muhammadiyah, apalagi Nasyiah,” ujarnya yang disambur gerrr peserta. Nasyiah adalah sebutan populer untuk ortom perempuan muda Nasyiatul Aisyiyah.
Bukan hanya itu. Saat membahas hasil praktik foto jurnalistik, Fatoni, sapaan akrabnya, membuat suasana pelatihan jadi cair penuh canda. “Hasil gambarnya kok gelap. Wah, Jenengan harus ganti HP baru Pak,” ujarnya mengomentari karya foto Dimas Hasbi Assiddiqi, yang fotonya gelap padahal dari sudut pengambilan yang sama dihasilkan foto cerah oleh peserta lain, Lendra Aditya Wardhana.
Pria kelahiran Lamongan 22 Januari 1969 itu memang tampil santai di Spemupat. Meski menyiapkan materi dalam beberapa slide, tapi dia tidak menggunakannya secara penuh. “Saya tidak akan banyak menyampaikan teori ya, langsung praktik saja,” ucapnya mengawali pelatihan.
Saat itulah dia menunjukkan sebuah foto salah satu kegiatan di Spemupat. Ini saja sudah bikin kaget peserta. “Loh, kok punya foto itu,” ucap beberapa peserta, hampir serentak.
“Namanya wartawan, ya harus bisa mendapatkan informasi eksklusif dong,” ujarnya. Dia mengaku meminta foto itu ke salah satu guru, dua jam sebelum mengisi acara.
Dari foto itulah dia mengajak peserta praktik menulis. “Bapak-Ibu pasti mengetahui peristiwa apa yang ada dalam foto ini. Sekarang tulislah sesuatu dari foto tersebut,” ajaknya sambil memandu peserta dengan empat pertanyaan: apa nama peristiwanya; di mana kejadiannya, kapan dilakukan, dan siapa yang jadi aktor penting dalam momen itu.
Semua peserta, termasuk Kepala Spemupat Nung Muawanah MPd, ikut menjawab pertanyaan itu dan mengirimkannya pada nomor WhatsApp Fatoni. “Jawaban atas pertanyaan ini jika dirangkai akan menjadi berita. Tapi beritanya ini baru tahap pamflet. Berita pengumuman,” ujarnya yang disambar ketawa peserta. Fatoni pun memeriksa satu per satu kiriman peserta dan memberi catatan perbaikan.
Dengan catatan-catatan itulah lulusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Surabaya itu memasukkan teori-teori menulis yang baik secara ‘diam-diam’. Misalnya bagaimana menulis yang benar tentang singkatan dan akronim, ketika mengoreksi kiriman peserta tertua Sugeng Santoso, guru Kemuhamadiyahan, yang menulis akronim Spemupat dengan huruf kapital SPEMUPAT.
Agar tidak sekadar pamflet, sambungnya, maka berita yang sudah memenuhi unsur apa (what), siapa (who), kapan (when), dan di mana (where) itu harus diperdalam dengan pertanyaan mengapa (why) dan bagaimana (how). Yakni dengan memberikan deskripsi peristiwa dan konfirmasi alias wawancara pada nara sumber.
Usai menjelaskan beda berita pamflet dengan berita mendalam, ayah lima anak itu meminta peserta untuk menulis ‘bukan berita pamlet’ dan mengirimkannya pada HP pribadinya. Dari situ Fatoni kembali memberikan catatan yang juga langsung dikaitkan dengan teori. Misalnya ketidakbolehan menulis opini dalam berita.
“Cantik itu opini atau fakta?” tanyanya pada peserta yang dalam tulisannya memasukkan kata cantik. Menurut Fatoni cantik itu subjektif. Karena itu kata cantik itu masuk kategori opini. “Sebaiknya dideskripsikan, misalnya kulitnya putih atau wajahnya tirus. Sebab ada loh hidung pesek tapi cantik,” kata dia yang disambut tawa peserta karena ulah salah seorang yang mengaku cantik tapi hidungnya tidak mancung.
Yang juga banyak menjadi catatan, adalah tulisan bergaya proposal yang diawali dengan latar belakang atau tujuan kegiatan. “Cirinya, tulisan itu diawali dengan frase ‘dalam rangka’,” ujarnya.
Dengan gaya pemberian materi seperti itu Direktur Cakrawala Print Sidoarjo itu ingin menekankan bahwa menulis berita itu gampang. “Ternyata semua bisa menulis kan?” tucapnya. Hanya, sambungnya, perlu rajin praktik. Sebab, sebenarnya menulis itu cuma perlu tiga hal: menulis, menulis, dan menulis. “Jadi, menulis itu hanya soal motivasi, soal niat. Penulis top pun kalau males nulis ya gak akan punya karya lagi,” ujarnya.
Fatoni memotivasi peserta agar tak perlu takut menulis berita. “Toh nanti ada redaktur yang mengeditnya,” ucapnya sambil membeberkan teori belajar menulis berita ala stabilo.Dia mejelaskan, di PWMU.CO ada mekanisme belajar dengan stabilo. Kontributor yang beritanya dimuat, naskah sebelum dan sesudah terbit harus diprint dan diberi stabilo pada perubahan-perubahnnya. “Cara belaja seperti ini efektif. Beberapa kontributror terbaik PWMU.CO belajar dengan cara seperti ini,” ujar Anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik itu..
Praktik ketiga dalam pelatihan itu adalah menulis berita kegiatan ini. Sebelum menulis, Fatoni mewanti-wanti agar menyiapkan perangkat pendukung berita, yaitu foto. “Di media online, tanpa foto, berita itu seperti tubuh tanpa wajah,” kata dia.
Dia lalu meminta peserta mempraktikkan cara memotret yang sesuai kaidah jurnalistik, yaitu membuat foto yang berbicara. “Karena sebenarnya foto itu bisa mewakili seribu kata,” terangnya. “Jangan lupa juga komposisi dan pencahaan foto. Dan jangan mometret degan poisisi potrait, karena template web landscape.”
Saat praktik foto inilah suasana jadi gaduh baik oleh gerakan maupun tawa peserta. Kegiatan peserta yang saling mencari sudut pengambilan yang terbaik menimbulkan kelucuan.
Ada yang ke depan, ke samping kanan- samping kiri. Ada yang sambil berbaring atau berongkok. Ada pula yang mengatur-atur posisi nara sumber. Ada yang menyalakan lampu tambahan agar suasana lebih terang. Ada yang mematikan layar LCD untuk menghilangkan backligth.
Yang juga bikin heboh, Fatoni terlihat seperti foto model saat semua guru mengarahkan kamera HP-nya untuk mengambil gambar terbaik. Sebab, dia selalu mengingatkan ketika pengambilan gambar jangan berdiam tempat. “Seorang jurnalis harus berani saat mengambil gambar, jangan berdiam diri di tempat duduk kemudian ambil gambar. Kecuali kameranya ada tele lensa-nya,” katanya sembari dia menunjukkan gambar-gambar foto melalui slide power point.
Sayangnya, sebelum tugas menulis ketiga selesai, waktu sudah menunjukkan pukul 17.15. Acara yang dimulai pukul 15.00 itu harus segera diakhiri. Karena itu setelah membahas hasil foto, Fatoni meminta peserta menuliskan berita dari rumah. “Tulisan terbaik akan dimuat di PWMU.CO,” ujarnya.
Nung Muawanah mengatakan, dengan hadirnya Pemimpin Redaksi PWMU.CO, diharapkan bisa memacu semangat guru untuk menulis. Menurut dia kegiatan ini termotivasi dari pernyataan Ketua Majelis Dikdasmen PDM Gresik Dodik Priyambada. “Bu Nung, kok berita dari Spemupat sepi,” ujarnya menirukan Dodik.
Nung menjelaskan, peningkatan mutu sudah menjadi program sekolah agar sekolah ini menjadi lebih baik kualitasnya. “Tidak hanya pada sisi siswanya, akan tetapi guru dan karyawan Spemupat ada nilai plusnya,” katanya. Kegiatan ini, lanjutnya, sekaligus sebagai aktualisasi peningkatan mutu SDM guru dan karyawan dalam hal penulisan jurnalistik.
Dia bersyukur pelatihan kali ini disambut antusias oleh peserta. Menurut Nung, ini kali ketiga dia mendatangkan wartawan, tapi tidak ada yang seantusias ini. “Kali ini pembicara memberi bimbingan awal menulis sangat mudah,” ucapnya. (*)
Kontributor Dimas Hasbi Assiddiqi, Makhbub Zunaidi, Erna Hidayati, dan Fristy Novida.