PWMU.CO – Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A. Djalil mengharapkan RUU Pertanahan segera bisa disahkan karena sudah disusun dengan semangat menyejahterakan rakyat dan tidak hanya memikirkan kepentingan korporasi sebagai mesin kemakmuran.
Hal itu disampaikannya dalam seminar yang diselenggarakan dalam rangkaian Muktamar Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB PII) di Yogyakarta, Jumat (15/11/19).
Dari kalangan DPR berpandangan RUU Pertanahan ini memang harus bisa mewujudkan keadilan agraria dan kemakmuran rakyat bahkan sekaligus harus bisa melindungi kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayah kita.
“Jadi RUU Pertanahan ini tidak boleh hanya mementingkan korporasi sebagai mesin kemakmuran,” demikian dikemukakan anggota Baleg DPR RI, Prof Zainuddin Maliki dari Fraksi Partai Amanat Nasional.
Terkait perlindungan atas masyarakat berpenghasilan rendah, RUU ini dinilainya sudah berupaya untuk tidak saja mengatur persediaan tanah untuk kepentingan komersial atau korporasi tetapi juga berupaya memberi jaminan akses dan penyediaan tanah bagi kelompok marjinal.
“Masyarakat berpenghasilan rendah seperti pedagang kaki lima, pedagang informal, dan lain-lain sudah dicoba diberi payung dalam RUU Pertanahan ini,” kata anggota DPR RI dari Dapil X Gresik-Lamongan Jawa Timur itu.
RUU Pertanahan ini antara lain mengatur penyediaan bank tanah. Tujuannya di samping dimaksudkan untuk pemenuhan kepentingan investor dan pembangunan berkelanjutan juga untuk menjamin pemerataan ekonomi.
“Tetapi pengaturan ini membutuhkan konsistensi pemerintah dalam menjalankannya. Jika tidak ada konsistensi, bisa saja atas nama kepentingan pembangunan, bank tanah justru memberikan hak pengelolaan kepada spekulan,” tegasnya.
Dalam RUU Pertanahan juga dibuat pengaturan yang dimaksudkan untuk pemerataan aset maupun akses bagi kelompok marjinal. Antara lain diatur penggunaan HGB (hak guna bangunan) yang tidak diperpanjang, tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai masyarakat, tanah negara bekas tanah terlantar, tanah HGB yang tidak digunakan oleh korporasi dalam waktu yang telah ditentukan, tanah hasil penyelesaian sengketa dan konflik agraria atau juga tanah bekas tambang di luar kawasan hutan.
“Jadi banyak peluang diberikan kepada masyarakat marjinal, tetapi dalam praktik hal itu sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi pemerintah,” ungkap Zainuddin Maliki.
Di samping tidak lepas dari tarik menarik kepentingan, sambungnya, banyak faktor yang harus diselesaikan, juga pemberian akses tanah kepada masyarakat marjinal masih sangat ditentukan seberapa besar kemauan dan pemihakan pemerintah memberi akses mereka.
“Sejauh ini terdapat sejumlah kasus masyarakat berpenghasilan rendah justru dipinggirkan, yang ujungnya adalah untuk memberi persediaan ruang spasial bagi investor untuk melakukan eksploitasi ekonomi,” ujar Zainuddin Maliki memungkasi pembicaraan di arena Muktamar KB PII yang dibuka oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.