PWMU.CO – Gedung Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), penuh sesak oleh tokoh-tokoh nasional, Kamis (12/12/19) pagi. Mulai dari menteri, pimpinan parpol, pimpinan ormas, pimpinan universitas, anggota legislatif, dan tokoh lainnya, termasuk mantan Wapres 2014 M. Jusuf Kalla. Semua tumplek blek di aula berkapasitas 7 ribu orang tersebut.
Mereka menjadi saksi atas pengukuhan Dr Haedar Nashir MSi, sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Sosiologi UMY. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, itu diangkat sebagai guru besar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 35528/M/KP/2019 tentang Kenaikan Jabatan Akademik Dosen tertanggal 16 Oktober 2019, dengan angka kredit sebesar 894,50.
Penyerahan SK dilakukan oleh Kepala L2Dikti Wilayah V, Yogyakarta kepada Rektor UMY Dr Ir Gunawan Budiyanto. Untuk selanjutnya, diserahkan kepada Haedar Nashir.
Rektor UMY Gunawan Budiyanto mengatakan, Haedar menjadi guru besar ke-18 UMY. “Dengan bertambahnya guru besar di lingkungan UMY bisa memperkuat institusi Pascasarjana,” tandasnya.
Diharapkan, sambung dia, pengangkatan ini menjadi motivasi para akademisi Persyarikatan di tengah kesibukan memimpin Muhammadiyah untuk mengurus kepangkatan ini.
Dalam orasi berjudul “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”, Haedar menyatakan Indonesia dalam kurun terakhir seakan berada dalam darurat radikal dan radikalisme.
“Radikalisme, khususnya terorisme menjadi isu dan agenda penanggulangan utama,” ungkap mantan Wakil Ketua PP IPM periode 1984-1986 itu.
Lebih lanjut ia menyebut, narasi waspada terhadap kaum jihadis, khilafah, wahabi, dan lain-lain disertai berbagai kebijakan deradikasasi, meluas di ruang publik.
Ditambahkan, isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme, demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional.
Menurut Haedar, jika konsep radikal dikaitkan dengan apa yang oleh Taspinar (2015) disebut “violent movements” (gerakan kekerasan) seperti dalam berbagai kasus bom teror, penyerangan fisik, dan segala aksi atau tindakan kekerasan di Indonesia, maka dapat dipahami sebagai pandangan dan kenyataan yang objektif.
“Radikalisme agama, termasuk di sebagian kecil kelompok umat Islam pun tentu merupakan fakta sosial yang nyata,” ungkapnya.
Dalam posisi demikian, imbuhnya, baik pemerintah maupun banyak komponen bangsa berkomitmen untuk bersama menolak segala bentuk paham dan tindakan radikal atau radikalisme yang bermuara pada kekerasan, makar, dan merusak kehidupan manusia dan lingkungannya yang Tuhan sendiri melarang tegas karena masuk tindakan “fasad fil-ardl” atau merusak di muka bumi.
Diakui, radikalisme agama memang terjadi dalam kehidupan, sebagaimana radikalisme lainnya di belahan bumi mana pun. “Stigma radikalisme Islam itu begitu kuat dan kadang bersentuhan dengan Islamophobia, yang akarnya kompleks.”
Bagi dia, konsep dan aspek tentang radikalisme baik dalam pemikiran maupun kenyataan itu sesungguhnya bersifat universal atau berlaku umum, apakah di tingkat global atau internasional maupun domestik di Indonesia. Peristiwa teror di Masjid Christchurch Selandia Baru yang menewaskan 49 orang di dunia internasional, tidak dilakukan orang Islam, bahkan sasarannya jamaah di masjid.
Demikian pula, menurut dia, kejadian di tanah air seperti pembakaran masjid di Tolikara, penyerangan kelompok bersenjata di Wamena yang menewaskan 33 korban jiwa dan ratusan luka-luka diiringi ribuan warga eksodus dari bumi Papua, pembunuhan 31 pekerja pembangunan jalan di Distrik Yigi-Nduga Papua, dan gerakan separatis yang mengancam keamanan rakyat dan negara.
“Semuanya menunjukkan fakta sosial tentang radikalisme, lebih khusus ekstremisme dan terorisme yang tidak sederhana dan bermuara pada satu golongan,” simpulnya.
Orasi Haedar mendapatkan apresiasi dari pelbagai pihak. Di antaranya, Ali Taher Parasong. “Beliau tekun dalam berbagai bidang, termasuk dalam pengembangan pemikiran tentang sosiologi agama Islam, terkait dengan inklusifitas dalam kehidupan sosial,” ujar Ketua Fraksi PAN MPR RI itu.
Sejak muda Haedar dikenal sebagai aktivis yang tekun membaca, dan menulis. “Beliau akademisi, sekaligus organisator yang moderat,” kesan Ketua PWM DKI Jakarta, KH Sun’an Miskan.
“Beliau konsisten mengawal ideologi Muhammadiyah,” kata rektor universitas Muhammadiyah Malang, Dr Fauzan. (*)
Kontributor Nadjib Hamid. Editor Mohammad Nurfatoni.