PWMU.CO – Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal. Perlu alternatif strategi yang sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi tengah, dan karakter moderat bangsa Indonesia.
Inti dari pidato pengukuhan Dr Haedar Nashir MSi, sebagai guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), pada 12 Desember 2019, itu dipahami audiens untuk mengoreksi strategi kebijakan pemerintah, terutama Menteri Agama, dalam menghadapi gerakan radikal di Indonesia. Sampai-sampai harus mengeluarkan Peraturan Menteri untuk mengawasi aktivitas Majelis Taklim.
Dalam orasi bertajuk “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologi”, Ketua Umum PP Muhammadiyah itu tidak sekadar mengritik. Tapi juga menawarkan alternatif strategi yang dinilai lebih sesuai, yaitu moderasi. Ia uraikan konsepnya dalam buku setebal 84 halaman.
Haedar juga mengingatkan bahwa radikalisme sebenarnya netral dalam dunia pemikiran. “Makna radikalisme menjadi keliru ketika diidentikkan dengan kekerasan bahkan terorisme,” tegasnya, yang diamini oleh mantan Wapres M. Jusuf Kalla.
Sangat jarang akademisi bisa mengoreksi kebijakan pemerintah, tembak langsung di hadapan sang pengambil kebijakan dalam forum terbuka. Haedar melakukannya di hadapan Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki, dan Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy, yang hadir di tengah ribuan audiens lainnya.
Menteri Agama Fachrul Razi, mengapresiasi. “Bagus sekali, pidato pengukuhan beliau tentang moderasi,” katanya dengan berkelit, moderasi seperti itulah yang selama ini dikampanyekannya.
Apresiasi serupa datang dari Menteri Sekretaris Negara dan Menteri PMK. Keduanya menilai Prof Haedar sebagai sosok pemimpin sekaligus ilmuwan yang komplit. Proses perkembangan keilmuan dan kepemimpinan itu beriringan dan saling memperkuat dalam kepribadiannya.
“Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sekaligus gelar profesor yang didapat kemaren, adalah puncaknya,” Prof Muhadjir Effendy memberikan pengakuan.
“Capaian puncak perjalanan akademis Prof Haedar ini menjadi bagian penting proyeksi kebangsaan, khususnya oleh Muhammadiyah. Mabruk Prof!,” komentar Dr Saad Ibrahim, Ketua PWM Jatim.
“Pidato Pak Haedar tajam dan kontekstual, untuk memikirkan kembali strategi penguatan moderasi Islam dalam menyikapi masalah kebangsaan,” komentar Wakil Rektor UMY Dr Hilman Latif seraya menyebutnya sebagai aktivis sekaligus akademisi teladan.
Dalam pandangan Dr Sukadiono, beliau bukan saja ingin meluruskan diksi radikalisme yang salah makna. “Tapi sekaligus ingin memberikan solusi terhadap permasalahan radikalisme di Indonesia,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya tersebut.
Penilian senada dari rektor Unversitas Muhammadiyah Surakarta Prof Sofyan Anif. “Pak Haedar ingin mengakhiri pemaknaan radikal yang salah itu dengan konsep moderasi yang sesuai ideologi Pancasila. Pidato pengukuhan yang sungguh luar biasa, mencerahkan semua pihak dan menawarkan solusi yang implementatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.”
Wakil Ketua PWM Jatim Prof Achmad Jainuri sepakat bahwa radikalisme tidak bisa diatasi dengan cara-cara radikal. Karena akan menimbulkan radikalisme baru. “Moderasi penanganan merupakan alternatif tepat yang mendatangkan kedamaian untuk semua pihak,” tuturnya.
“Konsep moderasi merupakan alternatif tepat dalam menjawab berbagai masalah radikalisme di Indonesia,” ujar Dr Abdul Mukti.
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah itu, radikalisme tidak hanya terdapat di dalam agama. Tapi juga terdapat dalam politik, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Seharusnya pemerintah menyelesaikan masalah radikalisme dengan moderasi yang memiliki akar kuat di dalam budaya Indonesia dan sesuai Pancasila.
Lebih lanjut dikatakan, kritik keras atas program deradikalisasi seharusnya menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan. “Bahwa radikalisme tidak dapat dihapuskan dengan deradikalisasi yang sejatinya merupakan bentuk radikalisme juga. Penguasaan ekonomi oleh segelintir elit merupakan bentuk radikalisme yang harus juga diselesaikan.”
Diakui Prof Bambang Setiaji, terdapat radikalisasi agama, politik, dan ekonomi, yang perlu moderasi bukan kontra radikal. “Pidato pengukuhan yang sangat diperlukan untuk menjadi perhatian seluruh anak bangsa,” tukas Retor UMKT Samarinda itu.
Sekretaris Partai Perindo Ahmad Rofiq sepakat, isi pidatonya sangat kontekstual di saat negeri mengalami kegaduhan tentang isu radikalisasi. “Beliau seperti sedang meluruskan ‘kiblat’ sosiologis, memberikan pemahaman dan narasi baru agar bangsa ini memilih jalan baru, moderasi,” tuturnya.
“Para politisi perlu mempelajari isi pidato tersebut, agar ke depan bangsa ini tidak salah arah dan tidak terpecah belah,” saran mantan ketua umum DPP IMM itu.
“Konsep moderasinya bisa dielaborasi lebih lanjut dan dijadikan rujukan oleh pemerintah dalam program penanganan radikalisme. Sebagai ganti dari program deradikalisasi,” kata Azaki Khoirudin, mantan Sekretaris Umum PP IPM.
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristanto, juga merespon masukan Haedar yang mengajukan moderasi sebagai suatu metode mengatasi masalah dengan mengedepankan cara persuasif dan komunikasi interaktif, sesuai tata budaya Indonesia.
“Dengan moderasi, penangganan berbagai bentuk ekstremisme di ranah agama, politik, dan ekonomi dilakukan dalam perspektif lebih luas. Moderasi bertopang pada kemanusiaan dan keadilan. Pancasila berdiri di tengah, dimaknakan sebagai komitmen kebangsaan. Agar Indonesia tidak terombang-ambing pada tarik-menarik kepentingan ekstrem kiri dan kanan,” jelasnya.
Atas pengukuhan Haedar sebagai guru besar, Ketua PP Muhammadiyah Dahlan Rais mengaku bangga. “Beliau kader terbaik Muhammadiyah. Kami tahu persis, beliau memimpin Muhammadiyah tidak kenal waktu. Pidato pengukuhannya amat bagus. Logis, lugas dan berbeda dengan yang lain karena benar-benar up to date. Menjadi penjelasan dan solusi untuk penyelesaian masalah yang kita hadapi saat ini,” ungkapnya.
Meski menurut Diyah Puspitarini, pengukuhan ini tergolong terlambat. “Dilihat dari gagasan besar beliau tentang pentingnya moderasi, yang sudah lama tersebar luas melalui tulisan-tulisannya di berbagai media, semestinya gelar ini sudah didapatkan 2 tahun lalu. Tapi beliau memilih jalan sulit dan mendaki,” ucap Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah itu.
“Isi pidatonya inspiratif. Kalau pemerintah mau berhasil, radikal ganti dengan pendekatan moderasi. Insyaallah Indonesia damai dan maju,” kata Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan sembari memberikan tahniah: Selamat untuk Prof Dr Haedar Nashir.
Berkali-kali mendapatkan aplaus dari ribuan audien, suami dari Siti Noordjannah Djohantini itu tetap rendah hati. “Ini bukti komitmen dan Integritas seorang akademisi tulen dan bernas. Beliau kader sejati yang menyelami perjalanan kehidupan dengan sangat tawadlu dan Istiqamah,” rektor Universitas Muhammadiyah Bandung, Prof Suyatno memberikan kesaksian.
Saat mengucapkan terimakasih kepada banyak kalangan, beberapa kali suara Haedar tersekat dan menetekan air mata. Antara lain ketika menyebut nama Prof Yunahar Ilyar yang lagi terbaring di rumah sakit, dan Prof Bahtiar Efendy yang barusan wafat.
Terlebih ketika menyebut kedua orangtua tercinta almarhum Ajengan Bahruddin dan ibunda Hj Jubaidah binti Tahim (alm). Juga kedua mertua, Ardani Zainal (alm) dan ibunda Siti Djuwariyah (alm). Tak pelak, para hadirin pun larut dalam keharuan.
Sebagai istri, Noordjannah mengaku bersyukur atas nikmat dan anugerah Allah ini. “Matur nuwun atas semua spirit dari para sesepuh dan dukungan semua pimpinan Persyarikatan. Semoga Allah senantiasa meridhai langkah kita. Amin.” (*)
Penulis Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.