PWMU.CO – Beberapa hari lalu saya pernah menuliskan tentang rencana pemakzulan (impeachment) Donald Trump dari posisinya sebagai Presiden Amerika yang ke-45. Hal itu saya sampaikan setelah mengikuti kesaksian beberapa saksi yang dihadirkan di Komite Intelijen Kongress AS.
Pada tulisan lalu saya sampaikan bahwa hasil temuan melalui berbagai kesaksian di Komisi Intelijen akan dibawa ke Komisi Pengadilan untuk diperdebatkan apakah kesalahan sang Presiden itu layak menjadi dasar pemakzulan atau tidak.
Walhasil setelah melalui perdebatan dengan tambahan saksi-saksi lainnya, Komisi Pengadilan (Judiciary Committee) menyimpulkan bahwa Presiden Donald Trump telah melakukan dua kesalahan fatal yang dianggap sangat layak untuk dijadikan dasar pemakzulan atau articles of impeachment.
Pertama, bahwa Presiden Donald Trump telah melakukan penyalahgunaan jabatan sebagai Presiden (abuse of power) dengan meminta pemimpin negara lain untuk menekan lawan politiknya. Dalam hal ini calon terkuat dari Partai Demokrat, Joe Biden.
Sebagaimana pada tulisan lalu disebutkan bahwa Presiden Donald Trump menahan bantuan militer untuk Ukraine dengan maksud agar pemerintah Ukraine melakukan investigasi ke putra Biden yang pernah menjadi komisaris di sebuah perusahaan Ukraine bernama Barizma. Perusahaan ini dianggap korup sehingga harapannya anak Biden akan dikaitkan dengannya. Donald Trump ingin menjadikan ini sebagai senjata melawan Joe Biden di pilpres mendatang.
Kedua, bahwa Presiden Donald Trump telah melakukan penghalangan kepada salah satu pilar pemerintahan (branch of the US Government). Dalam hal ini Presiden telah dengan sengaja melakukan penghalangan kepada kerja-kerja Kongres dengan menentang perintah pengadilan agar beberapa pejabat tinggi pemerintahan Donald Trump hadir memberikan kesaksian di Kongres.
Article of impeachment kedua ini lebih dikenal dengan nama obstruction of Congresss (menghalangi Kongres). Artinya ada kesengajaan dari pihak Presiden untuk menghalangi kerja-kerja Kongres bagi kepentingan negara. Maka dengan sendirinya sekali lagi Donald Trump telah mementingkan dirinya di atas kepentingan negara.
Dari Komisi Pengadilan kemudian dibawa ke sidang lengkap anggota Kongress (full house) untuk di-vote. Singkatnya setelah melalui perdebatan selama sehari penuh kedua articles of impeachment itu diloloskan oleh Kongres. Maka dengan itu Presiden Amerika Serikat ke 45 secara resmi dimakzulkan oleh Kongress AS.
Proses pemakzulan ini memang menampakkan realita politik Amerika saat ini. Bahwa politik Amerika saat ini begitu terpecah (deeply partisan). Akibatnya dalam proses pemakzulan ini tak seorang pun dari kalangan anggota Partai Republican yang mendukung.
Sejujurnya para pembela Donald Trump dari kalangan Republican ini tidak memiliki argumentasi yang kuat untuk menolak substansi tuduhan Demokrat. Yang mereka selalu ulang-ulangi adalah bahwa memang sejak awal terpilihnya Donald Trump sudah ada kalangan Demokrat yang menyuarakan pemakzulannya.
Selain itu mereka juga mempersoalkan saksi-saksi yang dianggap lebih banyak pilihan Demokrat. Juga waktu dalam proses pemakzulan yang dianggap tergesa-gesa. Karenanya mereka kemudian menuduh Demokrat jika pemakzulan tersebut bertujuan politis. Yaitu melemahkan posisi Trump pada pilpres tahun depan.
Dalam sejarah Amerika baru tiga kali terjadi pemakzulan kepada presiden negara ini. Pertama adalah Presiden Andrew Johson di tahun 1868. Menyusul kemudian Presiden Bill Clinton dengan kasus Monica Lewinski di tahun 1998. Dan yang ketiga adalah pemakzulan Presiden Donald Trump tahun 2019 ini.
Sebenarnya di tahun 1974 Presiden Richard Nixon juga menghadapi tuntutan impeachment. Tapi sebelum kasusnya sampai di Komisi Pengadilan Kongres dia mengundurkan diri. Maka proses impeachment tidak terjadi.
Ada kesalahpahaman yang terjadi di sebagian orang tentang impeachment (pemakzulan) ini. Disangkanya istilah impeachment atau pemakzulan ini adalah “pemecatan” Presiden dari posisinya sebagai Kepala Negara atau Presiden.
Impeachment atau pemakzulan adalah proses penjatuhan dakwaan oleh badan legislatif (Kongres) secara resmi terhadap kepada negara atau Presiden. Jadi bukan pemecatan atau penjatuhan dari posisinya sebagai Presiden.
Dakwaan resmi ini kemudian dibawa ke Senat untuk disidangkan. Senatlah yang kemudian akan menentukan apakah dakwaan itu diterima atau ditolak. Dan untuk menentukan apakah dakwaan itu diterima harus 2/3 anggota senat yang menyetujuinya. Dan disinilah pula titik terberat untuk memecat Presiden karena senat tidak pernah dikuasai oleh partai tertentu 2/3 atau lebih.
Apalagi dalam kasus Donald Trump saat ini Senat memang dikuasai oleh partai Republican. Sehingga sangat mudah diprediksi bahwa Donald Trump akan lolos dan tidak diberhentikan di tengah jalan sebagai preaiden Amerika Serikat.
Bagaimana pun akhirnya nanti, Trump masuk menjadi bagian buram dalam perjalanan sejarah Amerika. Bahwa Trump dicatat sebagai presiden yang pernah dimakzulkan oleh Kongresls Amerika. Sesuatu yang saya yakin menjadi beban berat secara pribadi. Karena Trump adalah sosok yang anti disalahkan. Maka impeachment ini bagi Trump bukan saja isu politik dan hukum. Tapi juga akan menjadi beban psikologis yang berat.
Apapun itu, saya yakin banyak warga Amerika menilai jika kedua dasar pemecatan itu bukan segalanya dalam menilai Donald Trump. Tapi sebagai bangsa besar, negara adi daya, sangat disayangkan dipimpin oleh seorang presiden yang bahkan oleh majalah The Christian milik Evangelicals kemarin disebut “morally unfit”.
Perlu dicatat bahwa kelompok Kristen garis keras Evangelicals pimpinan Billy Graham adalah pendukung fanatik Donald Trump. Dengan krtikan di atas boleh jadi sebauh indikasi baik di pilpres mendatang.
Tentu bagi banyak kalangan di Amerika ungkapan majalah The Christian itu bukan sesuatu yang baru. Semua orang tahu sikap pribadi maupun kebijakan publiknya banyak yang rasis. Pelecehan wanita secara terbuka dan penghinaan wartawan handicap, hingga emosi yang tak terkontrol kepada wartawan White House hanya beberapa gambaran sikap yang sangat unpresidential.
Kasus terbaru bagaimana Donald Trump secara terbuka membangun permusuhan dengan kolega-koleganya dari negara-negara anggota NATO. Lalu bergandengan tangan dengan Rusia dan Korea Utara.
Baru dua hari lalu Donald Trump juga mengolok seorang anggoya Kongres dari Michigan, yang juga janda dari seorang mantan anggota Kongress yang telah meninggal dunia. Dalam pidatonya menyebutkan bahwa suami sang konggreswoman itu ada di neraka menengok ke atas.
Karakter yang tidak menggambarkan sebagai seorang Presiden ini bukan pertama kali. Bahkan mantan Senator Republican dan mantan cawapres John McCain juga pernah diperlakukan sama setelah yang bersangkutan meninggal dunia.
Mungkin tidak salah ketika ada yang menyebutnya sebagai presiden yang “senseless” (tak punya rasa).
Tapi akankah Donald Trump berakhir dengan satu priode? Akankah terkalahkan di pilpres mendatang? Kita lihat saja! (*)
Kolom oleh Shamsi Ali, Imam di Kota New York dan Presiden Nusantara Foundation.