Konon, dalam melihat hilal, dulu Muhammadiyah juga memakai prinsip rukyat. Tetapi belakangan Persyarikatan mengubahnya menjadi metode hisab. Adanya perubahan-perubahan itu dikarenakan pemikiran Muhammadiyah terus berkembang. “Maka tidak heran, jika dalam banyak hal, Tarjih pun sering merevisi keputusan-keputusannya sendiri. Sejauh dan setelah menemukan rujukan-rujukan yang paling kuat.”
(Baca: Gus Ipul: Tak Bisa Dibayangkan jika Indonesia tanpa Muhammadiyah dan Haedar Nashir: Di Muhammadiyah Ada PRIA yang Bukan Laki-laki)
“Pemikiran Muhammadiyah, kan selalu maju dan berkembang. Dalam prinsip ibadah, Muhammadiyah itu merujuk pada Nabi, bukan Kyai Dahlan. Inilah yang sudah dipublikasikan oleh Prof Yunahar Ilyas dan Abdul Mu’ti bahwa Muhammadiyah dalam urusan ibadah tidak Dahlaniyah atau Dahlanisme,” tegas Haedar.
Maka dari itu, lanjut dia, dalam menyikapi berita Menguak Rahasia Muhammadiyah Selalu Nampak Beda dengan NU tersebut, para kader Muhammadiyah tidak perlu resah. Muhammadiyah harus terbuka menerima masukan dan informasi dari berbagai pihak.
“Bagi Muhammadiyah, berita Tempo itu tidak jadi masalah. Karena dalam urusan-urusan ibadah, kita merujuk pada praktik Nabi. Jadi, kita terbuka saja. Saya pikir Tempo juga cukup objektif. Karena sudah mencoba untuk berimbang dengan mewawancarai Pak Abdul Mu’ti. Bahkan melibatkan teman-teman Tarjih pula,” tutur Haedar.
(Baca: Apa yang Terjadi jika Warga Muhammadiyah Jadi Imam Jamaah Nahdhiyin? dan Ketika Dua Ormas Besar Berbagi Tugas: Muhammadiyah Urus Milad dan NU Urus Haul)
Sebenarnya, jelas Haedar, pada tahun 2014 Majalah Suara Muhammadiyah (SM) sudah membahas persoalan ini. “Sejatinya Muhammadiyah sudah lebih dulu ketimbang Tempo. Tapi karena Tempo milik umum, isunya kan menjadi kelihatan begitu rupa. Yang perlu ditekankan, para kader Muhammadiyah harus memperkaya referensi,” jelasnya.
Jika para warga Muhammadiyah membaca banyak referensi, maka ketika membaca berbagai isu, tentu tidak akan gelagapan. Apalagi hanya menanggapi isu murahan yang justru dikeluarkan oleh orang-orang yang tidak memahami logika organisasi Muhammadiyah maupun sejarah Muhammadiyah.
Sebelum Haedar, Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 Prof Din Syamsuddin juga telah memberi tanggapan, yang oleh Redaksi pwmu.co diberi judul Dalam Fiqih, Muhammadiyah Itu Bukan NU. Tanggapan yang lebih menohok juga ditulis oleh Ketua PP Muhammadiyah, Prof Muhadjir Effendy, yang oleh redaksi pwmu.co diberi judul Jangan Paksakan Logika NU untuk Nilai Muhammadiyah! Begitu juga Sebaliknya.
Ayo, perbanyak membaca! Iqra’! (ilmi)