PWMU.CO – Perubahan paradigma pembelajaran menuntut guru untuk mengubah teknik mengajar yang sesuai dengan perkembangan saat ini. Prof Dr Biyanto MAg menjelaskan hal tersebut dengan mengutip pernyataan pakar pendidikan Prof DR H Arief Rachman MPd, Jumat (3/1/20).
Biyanto mengatakan, dulu tujuan pembelajaran itu menuntut siswa untuk menguasai atau menghafal ilmu. Saat ini, siswa dituntut untuk menemukan ilmu baru. “Ini pembelajaran konstruktivistik. Jadi bagaimana anak-anak terlibat untuk menemukan pengetahuan,” ujarnya.
Kepada guru dan karyawan dari SD Muhammadiyah Manyar (SDMM), MI Muhammadiyah 1 Gumeno (Mimsagum), dan MI Muhammadiyah 2 Karangrejo (Mimdaka), Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik itu, Biyanto menjelaskan, proses pembelajaran saat ini tidak lagi teacher centered atau berfokus pada guru, melainkan student centered atau berfokus pada siswa.
Unpredictable Curriculum
Tak hanya itu, Biyanto berharap guru-guru mulai mengubah pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, di mana, dan bagaimana menjadi bagaimana kalau dan bagaimana jika. Menurutnya, ini penting untuk guru-guru saat membuat asesmen, menggeser pertanyaan-pertanyaan multiple choice (pilihan ganda) itu dengan esai.
“Nah ini penting. Bagaimana jika ananda menjadi Bupati Gresik. Apa yang akan ananda lakukan terhadap problem sampah, misalnya,” jelasnya memberi contoh.
Menurut Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu, pertanyaan tersebut melatih anak-anak untuk berimajinasi. Dalam kurikulum, kata dia, dikenal dengan unpredictable curriculum. “Itu luar biasa kalau Bapak Ibu latih anak-anak kita membayangkan dunianya 10-20 tahun yang akan datang. Jika Anda menjadi ini, menjadi itu,” tegasnya.
Biyanto juga menambahkan proses berpikir yang dulu menghafal, mengetahui, dan mengerti, saat ini berubah menjadi kreatif, inovatif, dan imajinasi tinggi.
Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur itu juga menekankan jenis evaluasi belajar yang dulu benar-salah dan pilihan ganda, saat ini harus diperbanyak esai dan jawaban yang bervariasi. “Jadi tidak pernah ada jawaban anak itu salah. Semua jawaban anak itu benar, tinggal tingkatan kebenarannya saja,” kata dia.
Melihat pendidikan saat ini, Biyanto mengusulkan kepada guru-guru Muhammadiyah, Islam berkemajuan itu penting sebagai penyemangat kita. Islam sebagai agama berkemajuan, din al-hadlarah, yang kehadirannya membawa rahmat bagi semesta kehidupan. Agama yang mengajarkan kesantunan dan moderasi.
“Sadar atau tidak Muhammadiyah distigma oleh sebagian orang itu dekat dengan radikalisme, karena mungkin sebagian ada yang tertangkap kasus itu,” ujarnya mengingatkan.
Lima Pondasi Islam Berkemajuan ala Kiai Sujak
Ia kemudian menjelaskan lima pondasi Islam berkemajuan dalam buku Kyai Syuja’ berjudul Islam Berkemajuan yang harus dipahami semua pendidik. “Pertama itu tauhid yang murni. Lalu memahami Alquran dan Assunnah secara mendalam,” ujarnya.
Nah yang ketiga ini, kata dia, Muhammadiyah sudah sangat kredibel, yaitu melembagakan amal salih yang fungsional dan solutif. “Keempat yaitu berorientasi kekinian dan masa depan. Serta bersikap toleran, moderat, dan suka kerja sama,” jelasnya.
Diceritakan, beberapa waktu yang lalu ada SD Muhammadiyah 6 Gadung Surabaya mengundang siswa sekolah Katolik di sekitarnya untuk main bakiak bersama. Menurut Biyanto, hal itu penting supaya Muhammadiyah tidak terkesan eksklusif.
“Bahwa ada orang lain yang perlu disapa, ada orang lain yang perlu di perlakukan secara manusiawi. Kalau di sini ada sekolah Kristen itu menjadi keunikan untuk diajak bersama, supaya tidak ada prasangka, yang membuat mereka saling memberi stigma,” paparnya.
Jangan Jadi Guru Sontoloyo
Biyanto yang Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya itu berharap semua umat Islam, khususnya pendidik Muhammadiyah tidak menjadi “Islam Sontoloyo”, mengutip istilah yang dipopulerkan Soekarno.
Biyanto mengatakan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sontoloyo itu bekerja yang asal-asalan sehingga tidak pernah tuntas, males-malesan. “Kalau ada guru yang males-malesan itu namanya guru sontoloyo,” ujarnya disambut tawa para peserta.
Artinya, kata dia, kita harus benar-benar serius menyiapkan diri supaya tidak sontoloyo. “Cirinya itu antara lain mudah mengkafirkan dan taklid buta,” ujarnya.
Ia menambahkan, ciri lainnya yaitu mengutamakan fikih. “Fikih itu kan pendapat ulama. Karena itu di Muhammadiyah diajarkan. Mengapa Muhammadiyah itu kalau Subuh gak pakai qunut. Itu diajarkan. Pilihan-pilihannya, produk-produk ijtihad ulamanya diajarkan,” jelasnya.
Selain itu, kata Biyanto, ciri lainnya adalah tidak mau belajar dari pengalaman sejarah. “Ini menurut saya (pelajaran) mahal (bagi) kita ya. Yang terakhir, menggunakan hadits lemah sebagai pedoman,” tuturnya. (*)
Kontributor/Penulis Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.