PWMU.CO – Mengikuti Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom (2003) paket demokrasi kebebasan tidak dengan sendirinya terkait dengan kebebasan. Apalagi jika demokrasi hanya diartikan dengan adanya pemilihan umum, bahkan pemilu yang diklaim bebas sekalipun!
Keduanya, kebebasan dan demokrasi, tidak selalu berjalan bersamaan, bahkan di Barat yang mengklaim kampium demokrasi sekalipun.
Tak heran jika demokrasi menjamur, sementara kebebasan tidak. Banyak negara yang melakukan pemilihan umum, tapi tidak menjamin kebebasan. Masyarakat merasakan hilangnya lebih banyak kebebasan, bahkan lebih banyak lagi dari pada sebelumnya.
Negara-negara yang demokratis seringkali menjadi negara demokrasi yang semu, yang hanya menimbulkan kekecewaan, kekerasan, dan tirani dalam bentuk baru.
Lebanon Ibu Kota Buku Dunia
Dalam perspektif ini Lebanon dan dalam batas-batas tertentu juga Tunisia, dua negara Arab yang tidak begitu besar ini, sangatlah menarik: memiliki tingkat kebebasan (freedom dan civil right) yang lebih tinggi daripada negara-negara demokratis di dunia, apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara Arab yang lain.
Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul (berorganisasi), beragama, berekspresi, dan pers di dua negara itu sangatlah tinggi. Memang ada beberapa negara Arab yang memiliki tingkat kebebasan yang cukup baik, seperti Aljazair, Uni Emirat Arab (khususnya Dubai) dan Qatar. Tetapi Lebanon dan juga Tunisia, banyak atau sedikit masih berada di atas negara-negara itu.
Tak heran jika sampai hari ini Beirut tetap menjadi pusat penerbitan buku dan kitab-kitab Arab. Kitab-kitab pemikiran Arab Islam moderen dan Arab klasik (al-turats al-araby atau al-turats al-islamy), betapapun kontroversialnya bisa diterbitkan dengan bebas dan aman di Lebanon. Hal yang sama tidak mungkin diterbitkan di negara-negara Arab lainnya tanpa rIsiko keamanan dan keselamatan.
Beirut telah lama (2009) dinobatkan oleh Unesco menjadi salah satu “Ibukota Buku Dunia” (World Book Capital). Pasalnya, Lebanon memiliki ruang kebebasan berekspresi dan intelektual yang di negara-negara Arab yang lainnya masih merupakan suatu kemewahan.
Faktor Kebebasan di Lebanon
Saya rasa fenomena tingginya kebebasan di Lebanon ini disebabkan oleh banyak faktor, tetapi dua yang utama: pertama, pengaruh penjajahan Perancis. Seperti kita ketahui Lebanon (bersama Syria) seusai Perang Dunia Pertama dan pasca keruntuhan Turki Utsmani (Ottoman Empire) berdasarkan keputusan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) berada di bawah mandat Perancis (kata “mandat” adalah eufemisme belaka dari kata “penjajahan” atau “kolonialisme”).
Memang hanya 23 tahun (1923-1946) Perancis memegang mandat atas Lebanon. Tetapi pengaruhnya luar biasa besar: kebudayaan Perancis menancap sangat kuat dalam hampir seluruh segi kehidupan sosio-budaya rakyat Lebanon. Bukan hanya dalam gaya hidup (style of life), melainkan juga dalam berbudaya (baca: bersikap dan bertutur).
Rakyat Lebanon rata-rata mengusai bahasa Perancis. Bahkan kebanyakan orang Lebanon sekarang bersifat multibahasa, yakni menguasai bahasa Perancis, Inggris, dan tentu saja bahasa Arab. Seperti kita ketahui bahasa adalah unsur utama dan universal dari suatu kebudayaan. Demikian juga dalam pergaulan sosial: Mereka sangat-sangat Barat (weaternized).
Faktor Universitas Barat di Lebanon
Kedua, tingkat kebebasan yang tinggi di Lebanon juga karena pengaruh universitas-universitas Barat di Lebanon, seperti American University of Beirut (AUB), Lebanese American University (LAU), dan St. Josept University (SJU). Universitas-universitas tersebut sangatlah tua yang berdiri sejak zaman pemerintahan Perancis. Tak heran jika bahasa pengantar dalam perkuliahan adalah bahasa Perancis.
Universitas-universitas tersebut berhasil secara gemilang menanamkan budaya Barat yang liberal di Lebanon, bahkan di dunia Arab lainnya, utamanya negara-negara yang termasuk Arab Levant, yaitu Lebanon, Syria, Yordan, dan Palestina.
Begitu kuat dan besarnya peran universitas-universitas tersebut dalam penetrasi budaya Barat yang liberal dan sekuler sampai-sampai ketiga perguruan tinggi itu dituding sebagai agen westernisme dan sekulerisme Barat di dunia Arab.
Tudingan tersebut mungkin saja terlalu dramatis, alias berlebihan. Tetapi kenyataannya memang terasa sekali dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi, alumni-alumni ketiga universitas tersebut memegang posisi-posisi penting dalam masyarakat, bahkan sejak awal kemerdekaan telah menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat, bangsa dan negara Lebanon yang sampai sekarang ini tetap sangat dominan dan belum tergantikan. Mereka memang cenderung sekuler, liberal, dan bergaya hidup bebas.
Ruang Publik Perempuan Lebanon
Demikian juga halnya dengan hak-hak dan kebebasan kaum perempuan. Pada saat di negara Arab lainnya perempuan baru saja mulai menghirup persamaan dan kebebasan, bahkan di Kerajaan Saudi Arabia baru satu atau dua tahun terakhir diperbolehkan menyetir mobil, di Lebanon perempuan sudah meninggalkan jauh di depan.
Kaum perempuan Lebanon tampil di ruang publik di hampir seluruh bidang kehidupan, bahkan di hampir semua profesi-profesi modern. Kaum perempuan Lebanon juga tampil di wilayah publik tanpa hambatan budaya dan psikososial yang berarti. Bahkan dalam beberapa segi, seperti misalnya dalan hal berpakaian, saya melihatnya sebagai cenderung kebablasan.
Menurut beberapa survei, jumlah perempuan yang mengemudikan mobil jauh lebih banyak daripada laki-laki. Jumlah perempuan dalam kabinet dan eselon satu sangatlah representatif.
Ini menarik oleh karena sistem politik Lebanon itu sektarian (al-nidham al-thaify), tetapi bisa begitu liberal dalam kehidupan sosial politik. Saya rasa ini merupakan warisan dari para pemikir bebas yang memang banyak dilahirkan Lebanon. Nama-nama pemikir besar Arab modern kebanyakan didikan universitas-universitas di Lebanon yang saya sebutkan di atas.
Seperti yang dikatakan oleh Samir Kassir, seorang pemikir liberal Lebanon yang mati terbunuh pada tahun 2000 dalam bukunya Being Arab (2000), negara-negara Arab semuanya sedang mengalami krisis demokrasi dan kebebasan, dan Lebanon adalah perkecualian.
Beda Arab Teluk dengan Arab Levant
Tapi Samir Kassir lupa bahwa negara-negara Arab, yang katakanlah konservatif secara politik, seperti misalnya negara-negara Arab Teluk, justru berhasil mewujudkan stabilitas dan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik.
Benar negara-negara tersebut tidak demokratis dalam pengertian demokrasi Barat, juga kurang menjunjung tinggi kebebasan (freedom dan civil right), tetapi negara-negara tersebut secara ekonomi muncul sebagai negara kaya, kesejahteraan rakyatnya juga jauh lebih baik, dan secara kebudayaan jauh lebih berkepribadian.
Lihat saja negara-negara Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain, dan last but not least Arab Saudi! Negara-negara ini lebih kaya secara ekonomi, lebih stabil secara politik, dan lebih berkepribadian dalam kebudayaan.
Kalau mau disebut yang agak minus adalah kedaulatan politik dan pertahanan, tetapi inipun lebih karena faktor eksternal, yaitu intervensi negara-negara besar asing yang memang berebut hegemoni politik secara sangat keras dan vulgar di kawasan itu.
Memang ada paradoks di sana: negara-negara Arab yang memiliki sistem politik tradisional (baca: monarchy) justru kuat secara ekonomi. Orang mengatakan kekayaan itu karena minyak saja, tetapi Dubai yang sangat maju itu tidak memiliki minyak. Toh maju sekali secara ekonomi. Sistem politik negara-negara Arab Teluk adalah monarki absolut, dus tidak demokratis. Demikian juga dengan sistem kemasyarakatannya boleh dikatakan sangat tradisional.
Tapi mereka sangat berkepribadian dalam kebudayaan. Setidaknya demikianlah dalam aspek eksoteriknya. Lihat saja, misalnya, model pakaian rakyat dan pemimpin-pemimpin Arab Teluk: mereka kuat sekali bertahan dengan pakaian tradisonal mereka.
Tidak peduli dalam forum-forum resmi internasional apapun dan sekalipun, pemimpin-pemimpin negara Arab Teluk tetap tampil dengan kepribadian yang mengesankan: tetap mengenakan pakaian tradisional mereka dengan penuh kebanggaan. Mereka sangat percaya diri dengan pakaian Arabnya dan tidak larut dalam budaya pakaian formal Barat yang sangat hegemonik secara global itu.
Kegedan Empyak Kurang Cagak
Hal ini sangat berbeda dengan pemimpin-pemimpin negara-negara Arab lainnya, seperti Arab Levant (Lebanon, Suriah, Yordan, Irak), Mesir, Tunisia, atau Aljazair, antropologi busana atau pakaian nasional mereka sangatlah Barat. Apalagi dalam fora internasional yang bersifat formal: tidak ada identitas kebudayaan Arab lagi. Mereka mengenakan jas dan dasi seperti layaknya pemimpin-pemimpin Eropa atau Barat.
Demikian juga kecenderungan arah dan orientasi budaya rakyatnya. Mereka mengklaim negaranya demokratis dan sistem politiknya menjunjung tinggi nikai-nilai demokrasi, tetapi lihat saja bagaimana tingkat kebebasan rakyatnya untuk menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul, apalagi kebebasan pers. Mungkin Lebanon dan Tunisia lagi-lagi menjadi perkecualian dalam hal demokrasi dan kebebasan.
Negara-negara Arab, selain negara-negara Arab Teluk tersebut di atas, memang sangat bergaya hidup Barat. Pakaian mereka, laki-laki dan perempuan, sangatlah Barat (westernized). Mereka sangat berorientasi ke Barat dalam hampir semua aspek kehidupan. Sayangnya, kebanyakan negara-negara itu menghadapi persoalan ekonomi yang berat yang tidak mampu menopang gaya hidup Barat yang menjadi orientasi kehidupan mereka itu.
Walhasil, maunya menjadi Barat tapi tidak kunjung berhasil mencapainya. Ibarat kegeden empyak kurang cagak!
Bagaimana dengan demokrasi, kebebasan, dan kesejahteraan ekonomi negara kita, Indonesia? Wallahu a’lam. Anda lebih tahu! (*)
Kolom oleh Hajriyanto Y Thohari, Dubes RI untuk Lebanon, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.