PWMU.CO-Dr Abdul Mu’ti MEd, Sekretaris Umum PP Muhamamdiyah, bicara tentang manusia cerdas dalam perspektif Islam dengan membahas sosok ulil albab yang disebut dalam surat Ali Imron ayat 190-191.
Hal itu disampaikan Abdul Mu’ti dalam Kajian Fajar Mubarak yang digelar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Nganjuk, Ahad 912/1/2019).
”Tema yang dipilih dalam pengajian ini mirip seminar. Manusia cerdas dalam perspektif Islam itu seperti digambarkan Allah dalam ayat 190-191 surat Ali Imron,” kata dosen UIN Jakarta ini.
Dia berseloroh, ayat ini dulu populer disebut sebagai ayat ICMI karena dulu populer dikutip sebagai dasar pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia itu.
”Ayat ini diturunkan di Madinah, saat Nabi agak lambat bangun malam, tidak seperti biasanya. Ketika ada sahabat yang mengetuk rumahnya, saat Nabi membuka pintu sahabat terlihat mata Nabi sembab habis menangis karena baru saja menerima wahyu berupa dua ayat tadi,” ujarnya.
Ciri Ulul Albab
Dia menerangkan, ayat ini memaparkan tentang penciptaan langit dan pergantian siang dan malam terdapat tanda-tanda yang hanya bisa dipahami oleh makhluk Allah golongan ulul albab.
”Siapakah ulul albab itu? aladziina yadzkurunallaha qiyaman wa qu’uda wa ala junubihim wa yatafakaruna fii khalqissamaawaati wal ardh,” kata Abdul Mu’ti.
Ulul albab itu, sambungnya, orang orang yang senantiasa berdzikir, mengingat Allah dalam keadaan berdiri, atau, qiyaman, berdiri kokoh. Atau duduk, quudan, karena sakit, atau banyak kendala. Bahkan saat berbaring, ala junubihing.
Ciri kedua ulul albab itu, lanjut dia, orang-orang yang senantiasa berpikir terhadap ayat ayat Allah. ”Jadi ulul albab disebut dalam Alquran itu orang yang senantiasa berdzikir dan berpikir,” tandas ketua Badan Nasional Sertifikasi Pendidikan (BNSP).
Setelah itu Abdul Mu’ti mencontohkan lagi soal qishosh. Menurut dia, hukum qishoshhanya dapat dipahami oleh ulul albab. Sebab pelaksanaan hukum qishosh itu memberi jaminan kehidupan.
Menurut dia, orang yang cerdas itu taat hukum Allah. Sebab ciri pertama orang cerdas itu adalah paham Alquran, baca, pahami, amalkan. ”Dengan membaca, memahami mengamalkan, maka dalam menjalani selalu menurut apa yang diatur dan ditentukan Allah,” ujar Abdul Mu’ti.
Ciri kedua, taat hukum Allah. Ketiga, mempunyai kedalaman ilmu. “Ciri keempat, selalu berdzikir atau senantiasa daring, dalam jaringan, alias online terus dengan Allah,” tegasnya.
Dijelaskan, dzikir itu metakognitif. Yaitu proses berpikir. Berproses aksi dan refleksi, online dengan Allah, proses muhasabah, lihat diri sendiri, ingat apa pun yang ia perbuat, ia rasakan , tidak menyalahkan siapapun ketika dia tidak beruntung.
”Aku ketulo-tulo, mergo opo. Saya seperti ini salah saya sendiri, bukan karena siapa siapa,” ujarnya.
Hukum Mazhab Fulusiyah
Tapi beda dalam hukum Pemilu. Menurut dia, keterpilihan seseorang di parlemen bukan ditentukan kebaikan atau keburukan. ”Orang baik pun kalah dalam Pemilu dengan madzhab fulusiyah,” ucapnya disambut tawa hadirin.
Kembali dia menjelaskan, dalam jiwa ulul albab terdapat pula ulul abshor, dan ulin nuha. Yaitu orang yang tercerahkan akal dan hatinya. Hati yang berakal menjadikan manusia cerdas.
Cerdas itu dekat dengan alam dan memikirkan bagaimana dapat memanfaatkan hujan angin, badai, erupsi dan sebagainya. Contoh, hujan bisa dipindahkan oleh orang cerdas dengan mengikuti sunatullah. Dikembangkan untuk kemaslahatan manusia. Air hujan harus disimpan dalam tanah.
”Orang cerdas itu selalu berinovasi. Hidup lebih mudah. Gunung erupsi bisa dipelajari hingga jadi komoditas, Jepang misalnya,” papar Abdul Mu’ti.
Begitu juga disebutkan, orang cerdas ketika membangun rumah menggunakan akal sehat. Sungai harusnya di depan rumah, bukan di belakang rumah. Sebab kalau di depan rumah pasti dijaga kebersihannya.
”Bangsa cerdas bangsa yang bermartabat. Bangsa bermartabat berkarakter belajar, belajar, dan belajar. Berpikir, berpikir dan berpikir. Membaca, membaca, dan membaca Jadilah manusia pembelajar. Jadi dzikir itu sama seperti berpikir tingkat tinggi atau disebut HOTS,” kata Abdul Mu’ti yang mengundang tawa.
”Nabi adalah orang yang yang cerdas. Buktinya surat Yusuf berjumlah 111 ayat turun semua serentak, Nabi langsung hafal,” dia menerangkan.
”Seharusnya jadi ulama itu cerdas. Jangan diplesetkan usia lanjut makin agresif,” selorohnya yang membuat suara jadi gemuruh tawa.
Ulama, disebutkan, harus terbiasa menggunakan HP pintar. Kalau ke berbagai lokasi tak perlu bingung cukup pakai GPS. ”Tapi bukan GPS, Gunakan Penduduk Setempat,” ucapAbdul Mu’ti yang lagi-lagi membuat geerr jamaah.
Ditegaskan Abdul Mu’ti, orang cerdas harus bisa membedakan sejarah dengan peristiwa. Sejarah itu peristiwanya digambarkan detail sedangkan peristiwa nggak penting kapan terjadi, tapi di balik peristiwa itu ada hikmah. (*)
Penulis Panggih Riyadi Editor Sugeng Purwanto