PWMU.CO – Cara penulisan soal berbasis Revised Bloom’s Taxonomy diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen PWM Jatim di Hotel Kampi Surabaya, Jumat-Sabtu (10-11/1/20).
Pada kegiatan tersebut menghadirkan anggota BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Teuku Ramli Zakaria sebagai pemateri tunggal.
Dia berbicara di hadapan 18 peserta yang merupakan tim penyusun soal ujian akhir Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (Ismu) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.
Pentingnya Latihan Membuat Soal
Teuku Ramli Zakaria menyampaikan pentingnya mengasah ketajaman keterampilan menyusun perangkat asesemen pembelajaran berdasarkan pencapaian kompetensi dan kaidah penulisan dengan benar.
Teuku Ramli Zakaria meyakini skill (keterampilan) seseorang akan semakin tajam bila sering dilatihkan.
“Tukang gergaji dan tukang kayu pun, akan semakin ahli dan bagus karyanya bila sering berlatih dan mencoba, begitu pula para tim penulis soal,” lanjut anggota Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan pentingnya melatihkan authentic assesment dan HOTS (higher order thinking skills) kepada siswa sekolah Muhammadiyah.
“Para penulis soal perlu sering latihan menyusun soal yang memfasilitasi semua level kognitif, sehingga siswa juga akan mampu berpikir secara kompleks,” terangnya.
Koordinator Pelaksana Ujian Nasional Puspendik ini menyampaikan pada kaidah penyusunan soal, secara konstruktif pokok soal harus dirumuskan secara jelas dan tegas.
“Soal yang baik juga dituliskan dalam kalimat yang efektif dan efisien. Hilangkan kemubadziran dalam menyusun soal, pikir dan buatlah kalimat yang efektif dan tidak bertele-tele,” kata Teuku Ramli Zakaria.
Ramli kemudian mengingatkan peserta dengan mengutip Alquran Surah Alisra Ayat 27 yang berbunyi ‘Innal mubadzirina kanu ikhwanasy-syayatin, wa kanasy-syaitanu lirabbihi kafura‘. (Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya).
Cara Membuat Soal HOTS
Dosen Uhamka ini menjelaskan cara yang paling mudah dalam pembuatan soal HOTS yakni dengan memberikan stimulus baik berupa kasus, cerita, gambar, peristiwa atau infografis.
Dari stimulus inilah siswa akan mengalami proses berpikir secara bertingkat. Mulai proses menganalisis, mengevaluasi, dan dari stimulus bisa berkreativitas menciptakan ide dan gagasan baru dan itulah yang disebut soal HOTS.
Diharapkan dengan melatihkan secara terus menerus soal berbasis HOTS, siswa Muhammadiyah terbiasa berpikir kristis, holistik, kreatif dan berbasis penyelesai masalah.
“Memang yang paling mudah membuat soal HOTS itu dengan memberikan stimulus, akan tetapi pastikan bahwa stimulus itu berfungsi,” lanjutnya mengevaluasi.
Jangan Boros Bahasa
Anggota BSNP (Badan Standar Nasional pendidikan) ini mengatakan penulis soal selayaknya dapat memahami bahasa dengan baik. Dia menegaskan bahasa merupakan cangkul bagi guru.
“Bila cangkul ini sering digunakan dan diasah, maka makin tajam dan berfungsi secara tepat dan cepat. Begitu sebaliknya bila jarang terasah, tidak hanya akan tumpul tapi berkarat,” katanya.
Kadang, sambung dia, siswa tidak paham ilmu dan menjawab soal bukan karena tidak Paham konsep tapi tidak bisa memahami soal yang dibuat oleh guru yang tidak bisa merangkai kata dengan baik,” jelasnya sambil tersenyum.
Teuku Ramli Zakaria selanjutnya menyampaikan tingkat kesukaran soal tidak selalu identik dengan tingginya level kognitif. Baginya, tingkat kesukaran soal hanya menunjukkan prosentase siswa yang tidak bisa menjawab dengan benar sebuah soal. Dia mencontohkan soal yang level kognitif rendah tapi sangat sulit dijawab.
“Tahun berapakah Siti Fatimah Radhiyaallahu anhuma menikah dengan Ali bin Abi Thalib?” katanya mencontohkan.
“Soal di atas berada pada level kognitif I yaitu remembering (mengingat), tapi ini pertanyaan tergolong sulit tidak banyak yang bisa menjawabnya. Soal ini juga bukan tergolong HOTS. Jadi jangan sering-sering membuat soal seperti ini ya” lanjutnya.
Revised Bloom’s Taxonomy
Teuku Ramli Zakaria kemudian menjelaskan tiga hal yang menjadi pembeda antara taksonomi pengembangan level kognitif yang diprakarsai oleh Benjamin S Bloom dan Krathwohl tahun 1959 dengan Lorin W Anderson dan Krathwohl (Revised Bloom’s Taxonomy) yang terbit tahun 2001.
Pertama, mengubah taksonomi Bloom dalam bentuk kata benda (noun) menjadi kata kerja aktif (verb). Hal ini disebabkan taksonomi Bloom merupakan proses berpikir. Sehingga sangat relevan bila berubah menjadi bentuk verb.
“Seperti pada proses berpikir tingkat rendah, pengetahuan (noun) menjadi mengingat (verb), dan pemahaman (noun) menjadi memahami (verb) dan seterusnya,” katanya.
Kedua, menghilangkan keterampilan sintesis pada ranah kognitif dan menggantinya dengan creation (mencipta).
Ketiga, meletakkan posisi level kognitif tertinggi berupa creation (menciptakan) setelah tahap menilai.
Teuku Ramli Zakaria menegaskan, keenam level kognitif Revised Bloom’s Taxonomy ini meliputi remembering (mengingat), understanding (memahami). Juga applying (menerapkan), analyzing (menganalisis), evaluating (mengevaluasi) dan creating (mencipta).
“Sementara yang tergolong keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS) adalah level kognitif pada tahap menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Maka perkuat soal dengan prosentase sekitar 30-40 persen ke tahap ini,” jelasnya.
Soal Pilihan Ganda Masih Relevan
Lalu, bentuk soal yang manakah yang terbaik untuk mengukur ketercapaian kompetensi siswa, pilihan ganda, isian singkat, menjodohkan, atau uraian?
Merespon hal tersebut, Teuku Ramli Zakaria menyampaikan bentuk soal multiple choice (pilihan ganda) dan uraian yang dapat memfasilitasi semua level kognitip dari proses berpikir.
Mulai LOTS (lower order thinking skills) yang meliputi C1 (mengingat) dan C2 (memahami), MOTS (middle order thinking skills) yang meliputi C3 (memahami), dan HOTS yang meliputi C4-C6 yakni level menganalisis hingga mencipta.
“Siapa bilang soal pilihan ganda tidak bisa HOTS, hanya perlu pandai memilih dan membuat stimulus saja bagi penulis,” jawabnya
“Justru soal isian pendek, menjodohkan, pilihan benar salah (BS) banyak menuntut anak hanya pada proses berpikir level rendah yakni mengingat atau menghafal dengan jawaban yang singkat dan pasti,” lanjutnya.
Oleh karena, Teuku Ramli Zakaria menyarankan bentuk-bentuk soal yang selayaknya disajikan kepada peserta didik tidak menghilangkan model pilihan ganda dan uraian. Apalagi bisa dikombinasi dengan beragam bentuk soal, maka keterampilan berpikir siswa akan beragam dan kompleks.
Megenai ujian nasional, mengapa hanya berbentuk pilihan ganda dan tidak ada uraiannya. Mantan Kepala Bidang Prestasi Akademik BSNP dua periode ini menjelaskan untuk pengukuran pemetaan kompetensi secara luas, yang paling efektif dan efisien adalah pilihan ganda.
“Selain sudah mewadahi proses berpikir dari mulai C1-C6 juga memudahkan proses koreksi. Oleh karena, untuk di Indonesia dengan jumlah penduduk dan peserta didik yang luas ini bentuk pilihan ganda masih menjadi pilihan yang tepat,” terangnya.
Tiga Dimensi Ikhtiar
Pada akhir kegiatan, Teuku Ramli Zakaria menyampaikan tiga dimensi ikhtiar yang bisa dilakukan umat manusia dalam memaksimalkan usahanya.
Pertama, ikhtiar dengan kerja keras. Pada dimensi ini seseorang mengerahkan segala tenaga untuk melaksanakan segala bentuk amanah dan tanggung jawabnya. Baik di hadapan manusia ataupun makhluk lainnya.
Kedua, ikhtiar dengan mengoptimalkan waktu secara efektif. Pada dimensi ini, seseorang tidak pernah membuang waktu secara sia-sia.
“Seseorang dengan ikhtiar ini meyakini, bentuk nikmat berupa waktu harus digunakan secara efektif. Sekecil apapun upaya yang dilakukan akan membawa kebaikan dan kembali kepada dirinya,” katanya.
Ketiga, ikhtiar dengan hal yang produktif. Aktivitas yang dilakukan dengan saling menasehati dalam hal kebaikan dan kesabaran. Dengan cara ini akan semakin menambah teman, dapat membentuk keluarga yang sakinah dan memperluas rezeki.
“Bila istri menasehati suami dengan tutur kata yang baik, dengan penuh kesabaran, pasti hati suami juga akan luluh dan senang. Bayangkan bila sebaliknya,” katanya.
Pria kelahiran Aceh ini menuturkan, guru yang rajin tidak akan pernah melarat. Menurutnya guru yang rajin ikhtiarnya pasti optimal dan produktif. Guru seperti ini tidak akan pernah berhenti, tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan.
“Guru yang rajin tidak akan melarat, tapi bila ada guru yang miskin, pasti dia malas.” katanya mengakhiri pertemuan dan disambut tepuk tangan peserta. (*)
Penulis Anis Shofatun. Editor Mohammad Nurfatoni.