PWMU.CO – Menachem Ali mengatakan Allah memberi makna pada tiap-tiap nama surat dalam Alquran. Termasuk surat Ali Imran dan Maryam yang unik dan punya arti khusus.
Dalam 114 surat yang ada di Alquran, hanya surat ke-3 yang mencantumkan nama keluarga. Nama surat tersebut adalah Ali Imran, yang bermakna keluarga Imran. Sementara surat ke-19 satu-satunya yang menggunakan nama perempuan yaitu Maryam.
Demikian yang disampaikan Ustadz Menachem Ali dalam Pengajian Ahad Pagi Masjid An Nur Komplek Perguruan Muhammadiyah Sidoarjo, Ahad (19/1/20).
Menurut Dosen Filologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tersebut, hal itu patut menjadi renungan bersama umat Islam.
Tiga Tokoh dalam Surat Ali Imran
“Karena dalam surat tersebut mengandung informasi penting yang merujuk pada tiga tokoh besar, yaitu Maryam, ibunda Maryam, dan Isa putra Maryam. Kisah utuh mengenai kehidupan Maryam sendiri ada pada surat ke-19, yakni Surat Maryam,” ungkap Menachem.
Dalam 114 surat yang ada dalam Alquran, lanjut dia, tidak ada nama perempuan yang diabadikan sebagai nama surat, kecuali pada Surat Maryam. “Nah, ada apa itu semua? Maka perlu menjadi renungan bersama,” ujarnya.
Menachem lalu menyebut ayat ke-35 dalam surat Ali Imran yang membahas tentang ibunda Maryam. “Memang dalam Alquran tidak disebut namanya siapa, tapi hanya disebut istri Imran. Kita diperingatkan Allah tentang perkataan dari istri Imran, tentang nadzarnya ketika hamil. Jika kelak anaknya lahir akan dijadikan pelayan suci di rumah Allah,” jelas Menachem.
Dalam dokumen-dokumen disebutkan, jika Imran dan istrinya sudah lama berkeluarga tapi belum dikaruniai anak. “Hal tersebut sama dengan saudara misannya: Nabi Zakaria. Jika Zakaria lama tidak diberi momongan sampai usia lanjut. Sementara Imran lama tidak diberi keturunan, tapi tidak sampai usia lanjut,” lanjut dia.
Nadzar Istri Imran
Begitu suka citanya mendapati dirinya hamil, istri Imran lalu menadzarkan anaknya nanti menjadi pelayan suci rumah Allah, yang Alquran menyebutnya sebagai Muharram.
“Namun, setelah lahir, istri Imran merasa sedih karena bayi yang dilahirkan ternyata perempuan. Kalimat kesedihan istri Imran disebutkan dalam Alquran dengan kalimat ‘laki-laki itu tidak sama dengan perempuan’,” ujar Menachem.
Dalam mempelajari Islam dan Alquran, menurutnya, tidak bisa dilepaskan dari Bani Israil. Termasuk keluarga Imran sendiri bukan dari Bani Ismail, tapi dari Bani Israil. Maka, jika dari Bani Israil, dinisbatkan pada Musa. Dengan kitabnya Taurat.
Berbeda dengan Islam, yang anak laki-laki mendapatkan warisan dua, sedangkan perempuan satu. “Dalam kitab Taurat, anak laki-laki pertama mendapat warisan dua kali lipat. Sedangkan anak kedua, ketiga dan seterusnya mendapat setengah dari kakak pertama. Sedangkan anak perempuan tidak mendapat apa-apa,” ungkapnya.
Maka, lanjut Menachem, muncul kalimat kesedihan dari istri Imran mendapati dirinya melahirkan anak perempuan. Apa yang diharapkannya untuk bisa mendapatkan anak laki-laki, justru Allah mengganjarnya dengan anak perempuan.
“Dalam Alquran nama bukan sekadar nama. Nama dalam Alquran mengandung makna. Termasuk ketika istri Imran memberi nama anaknya dengan Maryam. Secara harfiah nama Maryam berarti pahit atau getir,” jelas dia.
Jadi, kata Menachem, ibunda Maryam yang merupakan istri Imran itu tidak tahu jenis kelamin anaknya ketika hamil. Dan merasa sedih ketika tahu anak yang dilahirkannya ternyata perempuan. Bukan laki-laki seperti yang diinginkannya.
Mau Allah dan Keinginan Kita
“Apa pelajaran yang dapat kita petik? Apa yang diharapkan ibunda Maryam tidak nyambung dengan kenyataan. Kisah ibunya Maryam itu mewakili kehidupan kita. Kenapa bisa disebut mewakili? Karena apa yang kita cita-citakan, rencanakan, atau harapkan terkadang tidak nyambung dengan kenyataan,” tutur Menachem.
Maka, lanjut dia, jika itu yang terjadi, bukan berarti Allah telah meninggalkan, membenci, atau menjauhi kita. Atau doa kita sepertinya tidak dikabulkan. “Tapi ternyata memang dikabulkan tapi butuh kesabaran dan orientasinya juga harus benar,” ungkapnya.
Buktinya, lanjut Menachem, ibunda Maryam yang ingin anak laki-laki lalu diberi anak perempuan. “Tapi selang satu generasi, dia melihat sendiri apa yang diinginkannya itu sepertinya tidak terkabul tapi ternyata dikabulkan dan justru dilebihkan. Yakni diganjar cucu laki-laki dengan tiga jabatan: nabi, rasul, dan al masih,” kata Menachem.
Satu generasi, lanjut Menachem, mungkin menurut perhitungan orang awam lama. “Tapi timing itu yang menentukan Allah, bukan menyesuaikan kita. Asal kita mau bersabar dan orientasinya benar, yakni dihubungkan hanya untuk mencari ridha Allah,” ujarnya.
Orientasi Dunia atau Akhirat?
“Sudahkah kita mendidik anak-anak kita orientasinya hanya untuk Allah semata? Sudahkah kita punya planning anak-anak kita agar bisa baca dan paham Alquran?” tanya Menachem.
Karena, kata dia, jika hanya sekadar punya anak itu bisa berbahaya. “Manusia di luar sana pada umumnya, ketika ingin punya anak beralasan agar nanti ketika sudah tua ada yang bisa nuntun, ngopeni, dijadikan sandaran, baik ekonomi dan segalanya. Kita tidak boleh seperti itu,” jelas dia.
Sebagai ‘manusia khusus’, kata Menachem, kita ingin punya keturunan hanya untuk menggapai ridhanya Allah SWT. “Seperti yang dilakukan Ibrahim, sebagaimana dia berdoa memohon pada Allah yang diabadikan dalam Alquran surat ke-37 As-Shaffat ayat 100, ‘Rabbi habli minashalihin, wahai ya Rabb, anugerahkanlah kepadaku anak yang shalih. Bukan sekadar: ya Allah anugerahkanlah kepadaku seorang anak. Tidak. Melainkan juga anak yang shalih,” ungkap Menachem.
Karena jika sekadar minta anak, lanjut dia, maka itu hanya untuk investasi duniawi. “Kalau anak yang shalih itu investasi akhirat. Maka beda. Orang umum investasi dunia, orang khusus investasi akhirat. Nah, jika orientasinya benar, maka Allah berpihak kepadanya. Seperti istri Imran, orientasinya adalah Muharram, kembalinya pada Allah,” jelasnya.
Pelajaran yang bisa dipetik dari istri Imran itu, kata Menachem, adalah kesabaran. “Meskipun seakan-akan menyakitkan tapi dia memandang Allah pasti punya rencana yang lebih besar, meskipun harus menunggu satu generasi,” kata dia. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.