PWMU.CO-Kader Muhammadiyah yang diberi kesempatan menjadi pemimpin adalah peluang menciptakan sejarah. Karena itu manfaatkan untuk mengadakan perubahan besar meskipun pada awalnya mendapat tentangan.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua PWM Jawa Timur Nadjib Hamid MSi dalam ceramah Milad SMAM 1 di Kompleks Perguruan Muhammadiyah Oro-Oro Dowo Kota Malang, Sabtu (18/1/2020).
Nadjib Hamid mencontohkan keberanian Kiai Ahmad Dahlan mengadakan perubahan shaf Masjid Agung agar persis menghadap kiblat. Ternyata perubahan itu membuat marah orang-orang yang merasa nyaman dan terbiasa dengan arah kiblat itu. Risikonya ada orang membakar Langgar Kidul tempatnya mengajar ngaji santrinya.
”Tapi seabad kemudian, Kementerian Agama dengan anggaran yang cukup besar sekarang punya program menata shaf-shaf masjid,” kata Nadjib.
”Bayangkan, untuk paham terkait shaf saja butuh waktu satu abad. Sama halnya dengan orang tidak percaya hisab tapi hidupnya dalam keseharian memakai kalender,” ujarnya. ”Ini menunjukkan, tidak semua orang mudah memahami gagasan besar Kiai Dahlan,” tandasnya.
Pahami Tiga Kesuksesan
Karena itu ketika kader Muhammadiyah diberi kepercayaan sebagai pucuk pimpinan sebuah sekolah harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk menciptakan sejarah.
“Ayo kita ciptakan sejarah, bila diberi amanah untuk memimpin, baik itu mimpin sekolah, pimpin OSIS atau pimpin apapun,” tegasnya.
Untuk menciptakan sejarah itu harus bersinergi, kata Nadjib. Harus ada perubahan pada siswa, aset, atau auranya. Syarat pertama, pahami manajemen. Dia mencontohkan, saat mengadakan acara, kursi jangan ditata semua, agar tidak berebut duduk di belakang.
Suksesnya kegiatan itu, sambung dia, karena manajemen yang bagus, bukan karena penceramahnya. ”Harus on time, karena itu memberi kepastian waktu,” tuturnya.
Masalah kedua yang harus dipahami adalah kalau mengadakan acara harus menggembirakan. Meskipun kegiatan rutin jangan rutinitas biasa. Harus ada sesuatu yang mengejutkan. Berilah hadiah mereka yang datang lebih awal atau yang duduk di depan.
“Biasanya yang kecil-kecil ini tidak peduli. Yang disiapkan selalu penceramahnya. Suka penceramah yang keras-keras , habis itu pulang meninggalkan masalah bagi jamaah,” paparnya.
Dia menyarankan, materi ceramah harus menyejukkan, menggembirakan. ”Jangan pengajian umum materinya khilafiyah. Masalah khilafiyah itu tidak akan pernah berakhir, harus dibahas pada forum khusus,” ujarnya. Termasuk jangan mengundang penceramah yang suka membid’ahkan dan mengafirkan orang.
Pemahaman ketiga, lanjut dia, kepemimpinan itu keteladanan. Jangan hanya omong berbusa-busa tapi tidak pernah hadir di kegiatan.
“Saya itu sering dalam setiap acara ngawal mulai awal hingga akhir. Ya ngawal saja tidak harus tampil. Karena kalau ada pimpinan yang ngawal itu akan sungkan,” tandasnya.
Sebab ada orang yang datang hanya manggung. Datang memberi sambutan, habis itu pergi. Tidak masuk mengikuti proses. Kita harus berlatih mengikuti dan terlibat dalam proses, karena dengan itulah kita bisa merasakan.
”Ada orang yang tidak pernah punya pengalaman menyiapkan panggung kemudian jadi pemimpin, tentu akan sangat berbeda terutama terkait rasa empati dan kebersamaan,” tegasnya. (*)
Penulis Uzlifah Editor Sugeng Purwanto