PWMU.CO – Din Syamsuddin di Universitas Al Zahar Kairo menjelaskan peran ormas-ormas Islam Indonesia dalam pembaruan pemikiran Islam. Peran itu sangat nyata pada perumusan Pancasila dan UUD 45.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Prof Din Syamsuddin sejak 26 Januari berada di Kairo, Mesir untuk berbicara pada konferensi yang diadakan Al-Azhar tentang ‘Pembaruan Pemikiran Islam’.
Kepada PWMU.CO Senin (27/1/20) pukul 22.55 WIB, Din Syamsuddin menjelaskan, konferensi diselenggarakan atas arahan Presiden Mesir Abdul Fattah Asisi dan Syaikh Al-Azhar Prof Dr Ahmad Thoyyib.
Konferensi dihadiri sekitar 300 tokoh ulama dan cendekiawan Muslim dari 41 negara. Dari Indonesia hadir Anggota Majelis Hukama Islam Dunia Prof Quraish Shihab.
Juga hadir Ketua Asosiasi Alumni Al-Azhar Dr TGB Zainul Majdi, Direktur Museum al-Quran Dr Mukhlis Hanafi, dan Pimpinan Pondok Modern Tazakka, Batang, Jateng, KH Anizar Masyhadi.
Din Syamsuddin mendapat giliran berbicara pada sesi pertama setelah pembukaan yang dipimpin oleh mantan Sekjen OKI dari Turki Prof Akmal Ehsanoglu, Senin (27/1/20)
Selain Din Syamsuddin, pembicara pada sesi ini adalah Presiden Dewan Islam Bahrain Syaikh Abd Rahman al-Khalifa dan Rektor Universitas Al-Azhar Prof Mohammad Al-Mahrasawy.
Peran Ormas Islam Indonesia
Din Syamsuddin di Kairo dalam ceramahnya menjelaskan peran ormas-ormas Islam di Indonesia dalam pembaruan pemikiran Islam.
Menurut Din Syamsuddin, peran itu sangat nyata pada perumusan nilai-nilai dasar kebangsaan dan kenegaraan yang menghasilkan Dasar Negara Pancasila dan Konstitusi Negara UUD 1945.
Keduanya, menurut Din Syamsuddin, mengandung dan merupakan kristitalisasi nilai-nilai Islam.
Pandangan ini pernah juga dinyatakan oleh Syaikh Al-Azhar Prof Ahmad Thoyib pada Pembukaan Pertemuan Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim di Bogor tentang Wasatiyyat Islam, di Bogor, Mei 2018.
Menurut Syaikh Al-Azhar yang menjadi pembicara kunci waktu itu bahwa Pancasila bersifat Islami karena mengandung nilai-nilai Islam.
Tentang keislaman Pancasila dan UUD 1945, Din Syamsuddin menjelaskan, nilai ketuhanan, kemanusiaan, persaudaraan atau persatuan, permusyawaratan, dan keadilan merupakan nilai-nilai Islam utama.
“Begitu pula, arsitektur ketatanegaraan dan pemerintahan Indonesia merupakan manifestasi pemikiran politik dalam paradigma Sunni,” ujarnya.
Baik Pancasila maupun UUD 1945, tegas Din Syamsuddin, menampilkan prinsip Jalan Tengah Islam (Wasatiyyat Islam).
Sebagai contoh, lanut Din Syamsuddin, prinsip perekonomian konstitusional dalam Pasal 33 UUD 1945 merupakan jalan tengah. Karena tidak condong kepada kapitalisme dan juga sosialisme.
“Prinsip tersebut menekankan kegotongroyongan dan kekuargaan, dua ajaran Islam yang sentral,” tegas Din Syamsuddin.
“Itulah antara lain yang mendorong dua ormas Islam besar, yaitu NU dan Muhammadiyah, menegaskan Negara Pancasila adalah ideal dan final (NU). Dan bagi Muhammadiyah Negara Pancasila merupakan Darul ‘Ahdi was Syahadah atau negara kesepakatan dan negara pembuktian,” ungkapnya.
Negara Indonesa: Ijtihad Politik Tokos Islam
Guru Besar Politik Islam Global itu mengatakan kepada para ulama dan cendekiawan Muslim yang hadir soal rancang bangun negara kebangsaan Indonesia. Bahwa itu merupakan ijtihad politik para pendiri bangsa yang di dalamnya terdapat sejumlah tokoh Islam.
Pembaruan pemikiran Islam, menurut Din Syamsuddin, perlu bersifat kontekstual dan mempertimbangkan latar sosio-historis dan dan sosial-budaya umat Islam.
Khusus konteks Indonesia, Din menambahkan satu pertimbangan penting yakni faktor kemajemukan bangsa.
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah 205-2015 itu, di Indonesia hubungan agama dan negara bersifat simbiotis-mutualistis.
“Maka seyogyanya tidak terdapat ketegangan antara negara dan Islam atau umat Islam. Harmoni hubungan akan tetap terpelihara jika semua pihak mengamalkan Pancasila secara konsekuen dan konsisten,” kata Din Syamsuddin.
Ceramah Din Syamsuddin tentang ijtihad Indonesiawi tentang hubungan Islam dan negara, dikaitkan dengan prinsip Jalan Tengah Islam mengundang komentar positif dari beberapa peserta. Termasuk dari moderator Prof Ekmal Ehsanoglu, mantan Sekjen Organisasi Kerja Sama Islam itu. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.