PWMU.CO – Ashabul Ukhdud diceritakan dalam surat al-Buruj, surat ke-85 al-Quran terjadi di Najran, sekitar tahun 523 M. Di zaman itu negeri Yaman dikuasai Kabilah Himyar dengan raja terakhirnya Zur’ah Dzu Nuwas. Bani Himyar penganut agama Yahudi.
Dzu Nuwas meluaskan ekspansi wilayahnya dengan menyerang kota Najran, di sebelah utara. Kota Najran didiami kaum Faimiyun yaitu penganut ajaran tauhid Nabi Isa. Ketika menjumpai penduduk negeri Najran pengikut ajaran Nabi Isa, Dzu Nuwas menyuruh warganya untuk memilih masuk ajaran Yahudi atau mati dibunuh.
Bangsa Yahudi membenci Nabi Isa walaupun sesama satu bangsa. Sebab ajaran Nabi Isa yang makin banyak pengikutnya itu bisa membahayakan kedudukan dan kemapanan hidup rahib-rahib Yahudi yang tunduk pada penguasa Rumawi.
Rahid-rahib Yahudi menghasut warga Palestina dan penguasa Rumawi untuk memusuhi Nabi Isa dengan tuduhan makar ingin menjadi Raja Bangsa Israil. Maka Nabi Isa dan pengikutnya dikejar-kejar hingga hidup dalam persembunyian atau lari ke penjuru dunia lain.
Apalagi dalam Konsili Nicea tahun 325 M, kelompok Trinitas pimpinan pendeta Arius menguasai forum membungkam kelompok tauhid pimpinan pendeta Anatasius. Keputusan konsili ini membawa akibat pemusnahan ajaran tauhid versi Nabi Isa.
Rupanya dendam politik dan sejarah ini menjadi turun temurun ratusan tahun hingga ke diri Dzu Nuwas. Dia memaksa warga Najran masuk agama Yahudi. Jika menolak mereka ditangkapi dengan tuduhan makar. Membangkang perintah raja.
Dibakar Hidup-hidup dalam Parit
Dalam buku Sirah Ibnu Hisyam diceritakan, warga Najran lebih memilih mati daripada meninggalkan ajaran tauhid Nabi Isa lantas menjadi Yahudi. Terjadilah penangkapan besar-besaran terhadap rakyat. Mereka yang melawan langsung dibunuh dan dicincang.
Penduduk yang ditangkap hidup-hidup menjadi tawanan. Kemudian Dzu Nuwas memerintahkan pasukannya menggali parit panjang diisi dengan api menyala-nyala. Para tawanan terdiri lelaki, perempuan, dewasa, dan anak-anak dibariskan di pinggir parit berapi itu.
Mereka yang menolak agama Yahudi didorong ke dalam parit yang membakarnya hidup-hidup. Jumlah orang Najran yang dibantai dalam peristiwa ini mencapai 20.000 jiwa.
Diceritakan dalam ayat 4 – 7 surat al-Buruj, penguasa dholim Dzu Nuwas dan para pejabatnya menikmati kedholimannya dengan menyaksikan siksaan orang-orang beriman yang dibakar dalam parit. Raja dan pejabatnya menonton penyiksaan itu dengan duduk di atasnya.
Dalam ayat 10 dijelaskan, jika penguasa dholim ini makin sombong dan tidak segera taubat maka falahum adzabun jahanam walahum adzabun hariq. Penguasa itu mendapat siksa di dunia dan akhirat. Adzab jahanam itu ada yang mengartikan siksa akhirat, sedangkan adzab hariq dimaknai siksa dunia.
Siksa dunia macam-macam bentuknya. Bisa berupa kekuasaannya hancur, penguasa itu ganti ditangkap dan dipenjara oleh penggantinya, atau mengidap penyakit yang menyiksa.
Belajar dari Kisah Ashabul Ukhdud
Belajar dari kisah ashabul ukhdud ini maka berhati-hatilah jika menjadi penguasa. Jangan suka menuduh rakyatnya makar ketika mengkritik dan menangkapinya. Sebab kedholiman politik itu kelak bisa menceburkan diri ke parit yang digali sendiri.
Seperti kedholiman Dzu Nuwas akhirnya hancur di tangan orang hitam dari Abesinia.Seperti dikisahkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, di antara warga Najran ada yang berhasil meloloskan diri. Namanya Daus Dzu Tsa’labah.
Dia memacu kudanya keluar negeri menuju Syam meminta bantuan penguasa Rumawi. Bantuan itu dipenuhi dengan cara meminta bantuan Raja Abesinia di ujung tanduk Afrika untuk membantu Daus mengusir Dzu Nuwas.
”Negerimu jauh dari negeri kami. Namun aku akan menulis surat kepada Raja Abesinia yang seagama denganmu dan sangat dekat dengan negerimu,” kata penguasa Rumawi di Syam.
Daus Dzu Tsa’labah membawa surat itu kemudian menyeberangi laut menuju Abesinia. Raja Najasyi menyanggupi permintaan bantuan ini. Setelah persiapan matang berangkatlah 70.000 tentara di bawah komando Panglima Aryath dan wakilnya Abraha al-Asyram menuju Yaman.
Dua pasukan Abesinia dan Himyar bertemu lalu bertempur. Pasukan Dzu Nuwas kalah hingga mundur ke tepi laut. Yaman akhirnya dikuasai bangsa Abesinia dengan Aryath sebagai gubernurnya hingga beberapa tahun.
Kemudian terjadi pertikaian kekuasaan antara Aryath dan wakilnya, Abraha al-Asyram. Aryath akhirnya berhasil dibunuh oleh Abraha dalam suatu perkelahian. Maka tampillah Abraha menjadi gubernur baru Yaman. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto