PWMU.CO – Begini orang NU menilai Muhammadiyah: Saya tidak tahu jika tidak ada Muhammadiyah di Indonesia. Muhammadiyah terlalu banyak memberikan hal pembaharuan untuk Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Prof Dr Masdar Hilmy SAg MA saat menjadi pemateri pada Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah 2020 di Hall Lantai 9 GKB-4 UMM, Sabtu (8/2/2020).
Masdar Hilmy mengaku dirinya sebagai NU yang ter-Muhammadiyahkan. “Saya sekolah di Barat, tepatnya di Australia. Jadi saya NU yang ter-Muhammadiyahkan. Kalau Prof Syamsul Arifin kan transformasi dari NU ke Muhammadiyah,” candanya disambut tawa peserta.
Sebagai orang NU, maka ketika menjadi pemateri di forum Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah boleh dianggap sebagai second opinion.
“Materi yang saya sampaikan boleh didengarkan, boleh dipakai, bahkan boleh juga gak dipakai. Terserah Anda semua,” ujarnya kembali disambut tawa hadirin.
Pembaharuan Muhammadiyah Diikuti NU
Masdar Hilmy kemudian memberikan contoh pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah. “Khotbah dengan bahasa nasional atau bahasa lokal sudah dimulai oleh Muhammadiyah sekitar 1920. Baru kemudian NU mengikuti. Dan sekarang semuanya mengikuti,” ungkapnya.
Dulu orang pesantren identik dengan sarung, sementara Muhammadiyah identik dengan jas. “Sekarang sama saja. Yang NU juga pakai jas. Itu harus diakui hasil pembaharuan Muhammadiyah,” jelasnya.”Saya tidak membayangkan betapa ribet ke mana-mana memakai sarung. Meskipun itu pakaian yang serbaguna dan isis. Dan masih banyak hal lain yang tidak terasa diawali oleh Muhammadiyah,” kembali tawa hadirin bergemuruh.
Agar Muhammadiyah-NU Tak seperti Minyak dan Air
Persoalannya, lanjutnya, ketika memanfaatkan lembaga Tarjih Muhammadiyah dalam purifikasi dan modernitas. Ini sesuatu yang kadang sulit bertemu. Bagaikan air dengan minyak.
“Purifikasi untuk kembali kepada al-Quran dan Sunnah. NU juga klaim dan banyak organisasi lainnya juga klaim,” paparnya.
Ada yang hanya mengikuti teksnya atau literal. Bisa juga disebut regress. Tetapi ada juga yang progress. “Regress misalkan ayat perbudakan tidak boleh dihapus, termasuk ayat poligami,” terangnya.
Menurut Masdar Hilmy itu komplikasi. Ada kontradiksi atau bertentangan diri sendiri. Kalau tidak bisa membuat pagar maka akan rancu. Memahami al-Quran bukan secara literal.
“Gamis belum tentu lebih islami dibandingkan batik. Begitu juga dengan kurma, bukan lebih islami dibandingkan dengan salak,” urainya.
Beberapa hal, sambungnya, yang layak dipertimbangkan sebagai upaya mainstreaming manhaj Islam Berkemajuan. “Pertama mengurangi dosis elemen purifikasi pada gerakan tajdid Muhammadiyah dan menambah porsi rasionalisasi atau modernisasi,” ujarnya.
Itu cara untuk bisa kompromi dalam masyarakat. Kadang purifikasi butuh kompromi dengan masyarakat. “Sehingga tidak terjadi konflik. Kalau disadari sebenarnya pelan-pelan purifikasi Muhammadiyah selalu diikuti,” tuturnya.
Kedua jembatan epistemologis menuju Quran Sunnah. Jangan ditelan mentah-mentah atau literal. “Perlu syarat tambahan yang bersifat intelektual akademis terhadap kajian lintas disiplin. Seperti ilmu-ilmu tafsir, ilmu-ilmu hadits, sejarah sosial dan semacamnya,” terangnyanya.
Artinya, lanjutnya, sebelum seseorang merujuk kepada kedua sumber teks suci, maka dia perlu juga mendalami ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya. “Seperti ilmu sabab al-nuzul dan sabab al-wurud, ilmu riwayat dan dirayat hadith, ilmu kebahasaan bahasa Arab, dan lain sebagainya,” tegasnya.
Syria lebur karena beda sedikit disembelih. “Muhammadiyah sudah membuktikan sebagai rahmatan lil alamin. Banyak orang luar yang sekolah di sekolah Muhammadiyah,” jelasnya.
Begini jika orang NU menilai Muhammadiyah! (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.