PWMU.CO – Makna larangan meninggalkan generasi yang lemah dijelaskan Dr Mahsun Jayadi MAg dalam Kajian Ahad Pagi di Wringinanom Gresik.
“Jangan sampai kita meninggalkan warisan berupa generasi (anak cucu) yang lemah,” ujarnya dalam kajian yang digelar Pimpinan Cabang Wringinanom di halaman SD Muhammadiyah 1 Wringinanom, Ahad (9/2/20).
Dia menyitir firman Allah dalam Surat an-Nisa Ayat 9 yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Mahsun berpendapat bahwa ayat tersebut bersifat umum. Bukan hanya lemah dalam sisi materi. Hal lain yang sangat penting untuk dikhawatirkan adalah meninggalkan generasi yang lemah dalam akidah dan ilmu pengetahuan.
“Tidak meninggalkan keturunan yang lemah ekonomi itu penting, tapi tidak lemah akidah jauh lebih penting,” ungkapnya.
Akhir-akhir ini, sambungnya, yang sangat mengkhawatirkan adalah kelemahan akidah atau ideologi.
Lemah Akidah, Contoh Kasus Surabaya
Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya ini mengatakan, di daerah perkotaan seperti Surabaya yang merupakan kota metropolis, kelemahan iman atau ideologi menjadi gejala yang merata.
“Mereka mengabaikan urusan agama karena mementingkan urusan dunia. Kelemahan akidah itu bisa berbahaya, bisa saja orang menjual agamanya untuk kepentingan kehidupan,” jelasnya.
Dia mencontohkan, di Surabaya ada kristenisasi dengan cara pemberian beasiswa kepada anak-anak orang Islam yang tidak mampu.
Menuru dia, teknis pemberian beasiswa tersebut dengan cara orangtua anak tersebut mengambil sendiri ke gereja di saat mereka sedang melakukan kebaktian.
Sebagian mereka yang menerima biasiswa mengatakan, “Gak popo mlebu gerejo, seng penting anakku iso sekolah (tidak apa-apa masuk gereja asal anakku bisa sekolah),” ucap Mahsun menirukan.
Mahsun mengatakan, dua kelemahan tersebut (ekonomi dan akidah) harus dihadapi. Dia memberi conoh kehidupan sSahabat Jafar bin Abi Thalib yang mempunyai daya juang tinggi untuk mengamalkan agama meskipun hidup miskin.
“Bukan berarti lemah ekonomi (fakir) menghalangi seseorang untuk tidak berdakwah,” ucap Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.
Tak Tinggalkan Generasi Lemah Ilmu
Mahsun juga mengkritisi terhadap orang yang berpandangan rezeki itu hanya dinilai berupa uang (materi). “Tetapi rezeki itu juga bisa kesehatan. Suatu kebanggaan yang luar biasa ketika kita ditakdirkan oleh Allah bisa menghadiri pengajian seperti ini (karena sehta),” ucapnya.
Dia melanjutkan ada orang yang mengeluh karena tetap melarat meskipun sudah taat beribadah. “Aku iki wes shalat, ndungo yo gak kurang-kurang, nekani pengajian tapi rejeki sek pas-pasan, seret terus. Onok wong seng gak tau shalat gak tau sembarang, tapi rejekine ngumpul,” ucapnya menirukan ucapan orang yang putus asa dengan kefakirannya.
Makna larangan meninggalkan generasi yang lemah menrut Maksun juga, tidak meninggalkan keturunan yang lemah ilmu pengetahuan. Karena itu dia merasa bersyukur, di Wringinanom ini ada lembaga pendidikan milik Muhammadiyah dari kelompok bermain, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar.
“Ini untuk menjawab firman Allah dalam Surat an-Nisa Ayat 9 tersebut,” ujarnya.
Mahsun mengatakan, Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun karena rata-rata rakyatnya miskin dan bodoh. Miskan karena tidak ada pengetahuan, bodoh karena tidak ada sekolahan. “Dulu, kalau bukan anaknya lurah ya tidak bisa sekolah. Itupun sekolah di sekolahan Belanda,” ungkapnya.
Beda Orang Jepang
Mahsun menegaskan, tiga kelemahan tersebut saling menguatkan dan di setiap tempat pasti ada. “Kadang-kadang orang pinter jadi males beragama, karena tidak tahu kepentingan agama itu untuk apa,” imbuhnya.
Dia berharap tiga persoalan ini dijadikan perhatian untuk mengantisipasi, jangan sampai meninggalkan warisan anak cucu (generasi) yang lemah.
Dia mencontohkan, di negara Jepang itu rakyatnya hidup bersih dan disiplin meskipun mereka tidak beragama. “Memang agama resmi di Jepang adalah Sinto, tapi setelah lulus SMA agama itu tidak dianggap begitu penting. Karena nilai-nilai agama sudah mereka lakukan,” kata dia.
Dia melanjutkan, saking disiplinnya orang Jepang, ketika mempunyai noda kesalahan sedikit saja mereka rela bunuh diri. “Inilah perbedaan orang berilmu tapi tak beragama dengan orang berilmu tapi beragama, yang berkeyakinan masih ada kehidupan setelah mati,” ujarnya sambil mengutip Surat az-Zumar Ayat 38:
“Dan sungguh, jika engkau tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Niscaya mereka menjawab, “Allah.”
Menurut Maksun, dalam situasi kepepet, orang atheis akan mengakui akan adanya Tuhan. (*)
Kontributor Heri Siswanto. Editor Mohammad Nurfatoni.