Pertikaian politik Islam: jadikan pelajaran, bukan pembenaran. Sejarah politik Islam memang tak pernah lepas dari konflik. Harus jadi ibrah.
PWMU.CO – Baru saja masyarakat disuguhi adegan perang kursi dalam acara kongres partai politik. Partai nasionalis, tetapi selalu dikaitkan dengan persyarikatan Muhammadiyah dan Islam.
Tak pelak masyarakat kemudian mempertanyakan komitmen partai tersebut dengan nilai-nilai Islam.
Pertikaian dan pertarungan antarfaksi-faksi Islam hakekatnya bukan hal baru. Tercatat sejak berakhirnya kekhalifahan sahabat utama yang terakhir yaitu Ali bin Abi Thalib, politik Islam tidak lepas dari ‘perang saudara’.
Bagaimana kemudian Hasan bin Ali sebagai keturunan Ali dan Rasulullah dikudeta Bani Umayah pada tahun 661 M. Bani ‘pemberontak’ ini tidak terlalu buruk, di antaranya dengan catatan briliant periode Umar bin Abdul Azis dan penaklukan Andalusia oleh salah seorang Gubernur Bani Umayah yang gemilang.
Selanjutnya periode Bani Umayah sejak tahun 661 M berakhir setelah dikudeta Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.
Bani Abbasiyah dan Bani Umayah sesungguhnya masih ada hubungan darah dari keturunan Abdul Muthalib, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib dan Umayah bin Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthalib.
Sejak Bani Abbasiyah membangun kekhalifahan di Baghdad mulai tahun 750 M, Bani Umayah membangun hidup baru di Cordoba Andalusia Spanyol mulai tahun 756 M bersama Abdurrahman Ad-Dakhil sebagai sisa-sisa keturunan Bani Umayah.
Selanjutnya sejarah mencatat, Andalusia dan Baghdad bersama-sama menyinari dunia hingga runtuhnya Baghdad tahun 125 8M dan runtuhnya Andalusia tahun 1492 M.
Pertikaian Politik Islam Nusantara
Politik Islam Nusantara tidak luput dari pertikaian dan perang saudara. Bagaimana Mataram Islam harus terpecah belah menjadi Pajang, berlanjut menjadi Surakarta, Mangkunegara dan Yogyakarta sejak Abad 16 hingga hari ini.
Abad 20 yang ditandai lahirnya Partai Syarikat Islam tahun 1912, hanya mampu bertahan utuh sampai tahun 1930 ketika muncul Sarekat Rakyat.
Memasuki awal kemerdekaan, kesadaran politik Islam untuk bersatu terwadahi dalam Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tahun 1945. Muhammadiyah, NU, Sarekat Islam dan lain-lain bersatu dalam satu wadah Masyumi.
Sayang seribu sayang, kemesraan tersebut pecah tahun 1952 tatkala Sarekat Islam dan NU memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri.
Pemilu pertama 1955 umat Islam diwakili empat partai besar: Masyumi, NU, Sarekat Islam, dan Tarbiyatul Islam. Sepanjang masa Orde Lama menjadi masa suram bagi persatuan politik Islam.
Memasuki masa Orde Baru tidak lebih baik dari sebelumnya. Partai-partai Islam enggan bersatu dalam pemilu 1971, NU, Parmusi sebagai reinkarnasi Masyumi, Sarekat Islam dan Tarbiyatul Islam tidak mampu menandingi kesaktian Golongan Karya.
Dipaksa ‘Bersatu’ Orde Baru
Beruntung partai-partai Islam ‘dipaksa’ bersatu melalui kebijakan fusi tahun 1973. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi wadah ‘tunggal’ politik umat Islam sejak pemilu 1977 sampai dengan 1997.
Sejak dilakukan fusi, posisi partai Islam cukup lumayan di posisi dua dibawah Golongan Karya (Golkar) dan di atas Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Reformasi 1998 memunculkan partai-partai Islam dan lainnya bak cendawan di musim hujan. Hasil pemilu 1999 menempatkan partai-partai Islam di bawah PDIP dan Golkar.
Wajah umat Islam sedikit terselamatkan dengan keberhasilan “poros tengah” menguasai Sidang Umum MPR 1999. Tahun 1999 sebagai kenangan terakhir kejayaan dan kesatuan politik Islam.
Selanjutnya hingga hari ini partai-partai Islam pada posisi medioker alias papan tengah. Posisi partai-partai Islam bukan lagi sebagai playmaker atau penentu permainan. Kini partai-partai Islam lebih banyak menjadi cheerleader alias pemandu sorak kekuatan politik besar, susah bersatu di dalam satu visi-misi.
Belum lagi pertikaian di dalam internal partai-partai Islam yang semakin hari semakin menyesakkan hati.
Semoga Allah SWT kembali ‘menyatukan hati’ para politisi Islam meskipun barangkali tidak satu kubu atau satu partai.
Persaingan dan pertikaian sebagai keniscayaan, tapi semoga tidak menjadi kebudayaan apalagi pembenaran.
Harapan ada pada kader-kader persyarikatan masa depan untuk mewarnai panggung politik nasional secara lebih beradab.
Firman Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 140 yang berbunyi, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).”
Semoga ayat tersebut menjadi ibrah untuk kebaikan bersama. Wallahu’alam bi ashshawsb (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto. Editor Mohammad Nurfatoni.