PWMU.CO – Kemarin (30/7), salah satu sekolah favorit masyarakat di lingkungan Muhammadiyah Jatim mengalami pergantian pimpinan. Mas’ad Fachir MMT yang 5 tahun terakhir secara resmi menyerahkan estafeta kepemimpinan Sekolah Menengah Atas Muhammadiyah 2 (SMAMDA) Surabaya kepada Astajab MM. Berdasarkan surat Keputusan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim bernomor 296 Tahun 2016, dia dipercaya memimpin SMA Rujukan Nasional ini hingga tahun 2020.
Dalam keseharian, pria ini cukup hangat saat ditemui. Di lingkungan SMAMDA yang berlantai 5, keberadaannya memang sulit ditemukan. Maklum, pria kelahiran 16 Februari 1969 ini selalu “keliling” sekolah berakrab ria menjadi “teman” bagi para siswa. “Character building yang menjadi cirikhas sekolah kami memang mengharuskan semua guru bisa menjadi sahabat para siswa,” jelas Astajab.
“Lebih-lebih personalia yang mendapat tugas khusus untuk mendampingi siswa,” tambah Astajab lagi. Ya, dalam dua periode kepemimpinan kepala sekolah, Fathurrachiem MD (2007-2011) dan Mas’ad Fachir (2011-2016), Astajab dipercaya sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan. Tak urung tugas ini membuatnya akrab dengan banyak siswa.
(Berita terkait: Puisi Berairmata “Apa yang Kau Cari Adinda?” di Pelantikan Kepala SMAMDA)
Siapa sebenarnya Astajab? Bagi SMAMDA, dia bukan orang asing. Selain tercatat sebagai pengajar sejak 19 September 1999, dia ternyata bukan orang lain. “Saya juga alumni sekolah ini tahun 1988,” terangnya tentang hubungan dekatnya dengan sekolah yang pada tahun 2016 ditetapkan sebagai SMA Rujukan Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ini.
Meski orangtuanya sudah lama merantau di Surabaya, Astajab sendiri merupakan kelahiran Lamongan. Lahir dari pasangan Muhammad Thoyyib dan Anifah, dia terlahir sebagai putra pertama dari 9 saudara (1 meninggal). Masa kecilnya hingga tamat SMP banyak dihabiskan di Lamongan, tepatnya Desa Wukir, Kecamatan Glagah.
(Baca: Orientasi 767 Siswa Baru Ini Tempati Gedung Sekolah Senilai Rp 28,8 Miliar dan Yang Lain Masih Buka Pendaftaran, Sekolah Ini Sudah Orientasi 536 Siswa Baru)
Pasangan Thoyyib dan Anifah yang penjual sate di Surabaya itu ternyata punya cerita unik dalam membesarkan anak-anaknya. Yang dimulai sejak Astajab yang lahir sebagai sulung, hingga anak yang terakhir. Setelah lahir, Astajab langsung dibawa orangtuanya merantau ke Surabaya. Barulah saat masuk usia sekolah, dia “dipondokkan” di neneknya. “Ketika masuk usia masuk sekolah, semua anak dititipkan kepada nenek di Lamongan hingga lulus SMP. Barulah ketika masuk usia SMA, ikut pindah ke Surabaya,” jelas Astajab.
Astajab kecil pun menjalani pendidikan sekolah dasar dan menengah pertama di Lamongan yang berlokasi di desa nenek dan juga kelahirannya itu. Lulus MI Muhammadiyah pada 1982, kemudian dilanjutkan ke MTs Muhammadiyah yang diselesaikan pada 1985. “Setelah itu, baru saya diajak ke Surabaya dan masuk di SMAMDA ini,” cerita Astajab.
Meski bukan pimpinan Persyarikatan, orangtua Astajab termasuk simpatisan Muhammadiyah yang militan. Sebab, orangtuanya punya prinsip bahwa semua anaknya harus bersekolah di Muhammadiyah sejak dasar hingga SMA. “Barulah ketika kuliah, orangtua membebaskan anak-anaknya untuk memilih universitas,” jelas Astajab.
(Baca: Sekolah Muhammadiyah Harus Berkualitas untuk Menjawab Tantangan Jaman dan Kunci agar Sekolah Bisa Maju dan Menangkan Persaingan)
Tak heran jika semua 7 adiknya juga tercatat sebagai alumni sekolah Muhammadiyah. “Selain saya, ada juga 2 adik saya yang alumni SMAMDA ini,” jelas Astajab. Sementara 5 lainnya juga dibagi di SMAM 3 Gadung Wonokromo Surabaya dan SMAM 1 Kapasan Surabaya. “Sama dengan saya, semua adik saya juga alumni MI dan MTs Muhammadiyah Glagah.”
Seperti kebanyakan remaja yang baru lulus SMA sebelum tahun 2000, pilihan kuliah jatuh pada perguruan tinggi negeri (PTN). Terlebih Astajab, PTN jadi pilihan juga karena pada faktor biaya yang lebih murah. Hingga diapun diterima di Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Surabaya — sekarang Unibersitas Negeri Surabaya (UNESA)– di Pendidikan Kimia yang diselesaikan pada 1993.
Semasa kuliah, di sela-sela membantu orangtua di rumah, Astajab juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Termasuk menjadi salah satu pendiri IMM UNESA, karena sebelumnya belum pernah ada. “Salah satu pendirinya juga DR Abdurrahim Tualekha, yang sekarang menjadi dosen di UNESA,” jelasnya. Di IMM UNESA, dia pernah didaulat sebagai Sekretarisnya pada 1990.
(Baca: Ada 4 Tipe Guru, Anda Masuk yang Mana? dan Berikut 4 Tipe Sekolah Muhammadiyah. Bagaimana Sekolah Anda?)
Kegiatannya sebagai aktivis memang seperti tidak berlanjut sesaat setelah lulus UNESA pada 1994. Maklum, sebagai anak pertama dari 8 bersaudara, dia juga harus menjalani hidup prihatin agar adik-adiknya juga bisa kuliah. Tak heran jika setelah lulus, hari-harinya lebih dihabiskan untuk ikut memperkuat pondasi ekonomi keluarganya. Pagi hari mengajar di sekolah, sore hari dihabiskan dengan mengajar pelajaran Kimia di beberapa Lembaga Bimbingan Belajar (LBB).
Selain di SMAMDA yang dijalani sejak 1999, Astajab juga tercatat sebagai guru di 2 sekolah lain. Yaitu SMA Darul Islam Gresik (1994-2000) dan SMA Sejahtera Surabaya (1994-2001). “Saya juga pernah dipercaya sebagai Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum di SMA Darul Islam itu pada tahun 1998 hingga 2000,” tambah Astajab.
Sementara untuk LBB yang pernah disinggahinya adalah LBB Carolina (1994-1995), LBB PSC (1995-1996), LBB ASC (1994-2000), LBB Teknos (1996-1998), LBB 10 November (1995-2005), dan LBB IPIEM (1995-1997). Pria yang bermukim di Wisma Tropodo ini tercatat sebagai pengajar di LBB Proaktif Yayasan Wisma Semen Gresik (YWSG) pada 1997-1999.
(Baca: Ini Penjelasan Mengapa Sekolah Muhammadiyah Tak Harus Lahirkan Kader Muhammadiyah dan Jangan Ajarkan Muhammadiyah Hanya soal Tanggal Berdirinya)
Hingga akhirnya pada tahun 2001, dia memutuskan untuk satu sekolah dan LBB. Tercatat sebagai guru SMAMDA pada 19 September 1999, dia melepas semua guru dan jabatan di SMA Darul Islam Gresik maupun SMA Sejahtera 1 Surabaya. Sementara untuk LBB, tempat yang diajarnya adalah Primagama yang telah dijalaninya sejak tahun 1998 lalu. Di sela-sela kegiatan itu, Astajab meneruskan kuliah S-2 di Universitas Islam Malang yang diselesaikan pada 2011.
Menikah dengan Endang Rahmawati SAg, pasangan ini dikaruniai anak yang diberi nama Muhammad Avicenna. Avicenna atau Ibnu Sina adalah seorang tokoh Muslim klasik nama yang tidak jauh dari bidang keilmuan Astajab sebagai guru Kimia. Di sela-sela kegiatannya di sekolah, Astajab juga aktif di Persyarikatan. Pria yang sudah mengikuti 50-an pendidikan dan latihan (Diklat) tentang persekolahan ini tercatat sebagai anggota Majelis Pustaka PWM Jatim 2010-2015 dan 2015-2020.
Selamat mengemban amanah. Semoga SMAMDA semakin maju, produktif, dan berprestasi. (paradis alhaedar)