PWMU.CO-Masjid Sholeh. Anda bisa menemukannya di balik gedung Tunjungan Plaza. Masuk dari gang kecil Kaliasin Pompa lurus ke barat Anda akan menjumpai bangunan kuno. Itulah Masjid Sholeh. Lokasinya di gang sempit Kaliasin VIII/9 RT 14 RW 11 Kedungdoro, Kec. Tegalsari Surabaya.
Sepeda motor harus dituntun untuk melewati gang ini. Meskipun berada di gang kecil tapi Masjid Sholeh punya sejarah besar untuk bangsa ini. Namun sayangnya sejarah yang sudah terlupakan oleh generasi sekarang.
Sekarang masjid ini sedang direnovasi bagian depan dan belakangnya sejak 2018. Bangunan utama masjid masih dipertahankan sesuai aslinya. Melihat arsitekturnya yang model gedung Barat, sepintas bangunan itu bukan tampak masjid. Hanya kubah kecil dari steinless yang muncul di atapnya bersama corong menandai itu masjid.
Bangunan asli masjid ini terasa sangat megah di zamannya. Terdiri dua lantai. Lantai pertama dari tembok. Lantai kedua dibangun dari kayu. Dek lantai dua juga terbuat dari kayu tebal.
Di lantai bawah dipasang beberapa pilar besi untuk menopang kekuatan balok kayu yang menjadi tumpuan dek lantai dua. Balok kayu besar yang umurnya sudah 99 tahun itu dikhawatirkan tak kuat lagi menahan beban di atasnya.
Dikelola PRM Kedungdoro
Masjid ini dikelola oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kedungdoro PCM Tegalsari. Di atas pintu masuk tertera plakat pengelolaan aset amal usaha ini. Masyarakat setempat masih meramaikan masjid ini untuk shalat. Suara adzannya masih mengalun mengundang umat waktunya untuk menghadap Allah.
Sesepuh kampung Kaliasin Mukti Hari (75) ditemui di rumahnya menceritakan masjid ini dibangun kakeknya Kiai Usman pada awal Ramadhan 1921. Dalam setahun pembangunan selesai lantas diadakan peresmian pada 1922.
”Setelah masjid itu selesai dibangun banyak tokoh-tokoh yang datang ke sini. Seperti KH Mas Mansur, Kiai Sujak yang diutus KH Ahmad Dahlan mengunjungi masjid ini. Di zaman kemerdekaan Bung Tomo dan Prof Dr Baroroh Barid pernah juga shalat di sini,” cerita Mukti Hari.
Dia menjelaskan, Kiai Usman itu wakil ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya tahun 1921. Ketuanya KH Mas Mansur. Karena itu tak heran masjid yang dibangunnya menjadi tempat penting yang dikunjungi tokoh dakwah dan nasional.
Mukti Hari menerangkan, tanah yang digunakan masjid milik saudagar Arab dari marga Bajubair yang diwakafkan kepada Bu Sinto. Kemudian Bu Sinto menyerahkan urusan tanah wakaf ini kepada kemenakannya, Kiai Usman.
Masjid Muhammadiyah
Kiai Usman membangunnya untuk masjid Muhammadiyah yang tahun itu baru berdiri cabangnya di Surabaya. Mas Mansur sendiri sebelumnya sudah membangun masjid dan sekolah di Kalimas Udik.
”Kiai Usman dan para pembangun masjid memberi nama Masjid Sholeh, agar orang-orang yang shalat di masjid menjadi sosok yang saleh,” ungkap Hari, panggilan Mukti Hari.
Hari meskipun sudah lanjut usia bicaranya masih runtut, kronologis, dan setiap perkataannya dibuktikan beberapa foto lama. Dia menjelaskan, mendapat cerita sejarah Masjid Sholeh dari Mat Yasin Wisatmo, ayahnya, yang menjadi menantu Kiai Usman dengan menikahi Bu Dewi.
”Masjid Sholeh tidak sekadar sebagai tempat ibadah, Juga untuk belajar pencak silat. Kiai Usman yang melatih pemuda-pemuda kampung agar menjadi pemberani,” tambahnya menjelaskan.
Tahun 1926, di sebelah masjid dibangun Sekolah Rakyat (SR) untuk warga yang berbasis pelajaran Islam berpaham Muhammadiyah. Muridnya anak-anak kampung Kaliasin dan sekitarnya.
Memasuki zaman Jepang, Masjid Sholeh kejatuhan bom dari pesawat tempur. Bom itu, kata Hari, menghancurkan bagian serambi jadi luluh lantak. Untungnya tak ada korban jiwa.
Menurut cerita Hari, tahun 1943 Bung Karno datang ke Masjid Sholeh lalu memberikan bantuan.Saat itu Bung Karno dan KH Mas Mansur menjadi pimpinan Putera (Pusat Tenaga Rakyat).
”Bung Karno dan ayah saya, Mat Yasin Wisatmo, juga berteman sesama aktivis Muhammadiyah, Bung Karno menyumbang 40 ribu gulden untuk merenovasi masjid ini,” ujarnya. Soal sumbangan 40 ribu gulden itu Hari menjelaskan bersumber dari cerita ayahnya. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto