PWMU.CO– Pengguna medsos di kalangan jamaah Muhammadiyah terbagi menjadi tiga golongan. Penggolongan ini berdasarkan isi tulisan di media sosial terutama grup Whatsapp (WA).
Hal itu diungkapkan Sekretaris Majelis Tabligh PDM Tulungagung Dr Aji Damanuri MEI di hadapan 75 peserta Musyawarah Pimpinan (Musypim) II Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Tulungagung, Ahad (16/2/2020).
Aji Damanuri menyebutkan, pengguna medsos golongan pertama, romantisme masa lalu. Tulisan yang di-share berupa cerita perjuangan dan ketokohan Muhammadiyah masa lalu. Zaman penjajahan, masa kemerdekaan, dan pasca kemerdekaan.
”Narasi ini biasanya disertai dengan penyebutan tokoh yang berjasa besar bagi bangsa, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah,” ucap Kang Aji, sapaan akrabnya.
Golongan kedua, kebanggaan. Pada saat kelompok lain berbangga dengan kajian keagamaan berbasis kitab kuning dan tradisinya, maka warga persyarikatan berbangga-bangga dengan amal usaha yang dimiliki.
”Berapa jumlah sekolah, rumah sakit, universitas, lembaga sosial, masjid, dan lainnya,” kata Aji yang dosen ekonomi syariah di STAIN Ponorogo.
Golongan ketiga adalah berkeluh kesah. Ini paling heboh karena banyak mengeluarkan keluhan. Bahkan tak bisa dibedakan mengeluh dan mengkritik. Topiknya mulai perkembangan Muhammadiyah, kapitalisasi AUM, lemahnya pengaderan, infiltrasi salafi, serangan masif tetangga sebelah, merosotnya kualitas pendidikan dan lain-lain.
”Nah, di bagian ini biasanya ada nada salah menyalahkan di kalangan pengguna medsos yang membuat persyarikatan ini justru melemah,” ucapnya.
Jangan Dibiarkan Jadi Kronis
Tiga hal tersebut, lanjut dia, jika dibiarkan bisa menjadi penyakit kronis di tubuh Muhammadiyah yang pada akhirnya menghambat laju gerak persyarikatan.
”Adalah wajar, ketiga hal tadi dilakukan sebagai sebuah kebanggaan, karena berorganisasi perlu ada kebanggaan dalam meningkatkan kepercayaan diri,” ujarnya.
Berorganisasi, sambung dia, juga perlu keluhan sebagai bagian dari kritik. Tapi yang harus dilakukan adalah mengelola kebiasaan tersebut menjadi energi positif dalam perjuangan. Bukan malah melemahkan.
Romantisme masa lalu yang memunculkan tokoh-tokoh bangsa yang berasal dari Yogyakarta seperti KH Ahmad Dahlan, KH Kahar Mudzakir. ”Jadi warga Muhammadiyah mempunyai standardisasi dan integritas tokoh, ada pada diri beliau,” tuturnya.
Tokoh-tokoh kemerdekaan dari Muhammadiyah juga diisi oleh kader-kader dengan integritas ketokohan yang mendunia karena selain berpendidikan tinggi juga memiliki kompetensi bahasa dunia untuk melawan para penjajah di meja perundingan.
”Hal ini mestinya yang menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Bukan sekadar kagum tapi juga meniru jalan yang ditempuh dalam mencapai integritas ketokohan,” tandas dia.
Kebanggaan kesuksesan amal usaha skala nasional, menurut dia, mestinya tidak berhenti pada sebatas kebanggaan tetapi perlu ditiru atau bahkan menjadi induk semang pada AUM yang belum maju atau sekarat.
”Yang belum maju belajar pada yang sudah maju yang maju harus mengajari dengan ikhlas AUM yang belum maju. Kita itu harus memahamkan organisasi ini satu kesatuan yang berfungsi saling menguatkan. Jangan sampai kebanggaan kepada AUM jatuh kepada sikap riya dan sombong,” papar dia.
Diibaratkan badan, lanjut Kang Aji, Muhammadiyah ini pasti mempunyai keluhan-keluhan. Tapi dari keluhan itu harus ada tindak lanjutnya. Jika badan terasa sakit, linu di sana sini, maka langkah yang bijak adalah pergi ke dokter untuk mencari solusi, mendapat nasihat dan obat.
”Begitu pun ber-Muhammadiyah, keluhan keluhan itu jangan dibiarkan bergerak liar sehingga menimbulkan fitnah, ghibah yang akhirnya akan melemahkan organisasi,” katanya.
Langkah Aisyiyah, lanjutnya, mengadakan musyawarah pimpinan ini adalah menanggulangi ketiga hal tersebut di antara pengguna medsos.
”Ngrumpi-ngrumpi organisasi ini tentu berbeda dengan ngrumpi dengan tetangga. Ngrumpi ini bukan saja untuk berbangga-bangga, bernostalgia, berkeluh kesah tetapi harus ada tindak lanjutnya,” tandasnya. (*)
Penulis Hendra Pornama Editor Sugeng Purwanto