Kontekstualisasi Visi Kebangsaan
Peradaban dunia sejak paruhan kedua abad kedua puluh mengalami perubahan cepat. Terjadi perubahan geoekonomi dan geo-politik dunia dengan adanya pergeseran pusat gravitas ekonomi dunia dari Kawasan Atlantik ke Kawasan Pasifik.
Hal ini ditandai oleh kebangkitan Kawasan Asia Timur (the emergence of East Asia), di mana Indonesia berada. Indonesia harus menghadapinya, baik dengan menyiapkan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism) yang berjangka pendek, maupun strategi kebudayaan/peradaban (strategy of culture) yang berjangka panjang.
Sejalan dengan itu maka visi kebangsaan Indonesia memerlukan penyesuaian diri. Maka tidaklah salah kalau visi kebangsaan yang ada dalam Konstitusi, visi yang tidak berjangka waktu, diberi tafsir kontekstual, yang merupakan visi strategis dan tentu bersifat tentatif.
Tafsir itu tidak mengubah dan merupakan kontekstualisasi dari visi kebangsaan konstitusional menjadi “Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat”. Selain adil dan makmur yang menjadi harapan segenap rakyat, visi strategis kontekstual juga menekankan cita kemajuan, kedaulatan, dan kemartabatan.
Sebenarnya cita kemajuan sudah tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, seperti dalam frasa “memajukan kesejahteraan umum”, dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Yang pertama lebih berhubungan dengan kemajuan lahiriah dalam bentuk kesejahteraan jasmaniah terkait dengan pemenuhan sandang, pangan, dan papan. Sedangkan yang kedua berhubungan dengan kemajuan batiniah meliputi derajat rasionalitas, emosionalitas, dan spiritualitas, yang kesemuanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur kebahagiaan lainnya.
Pertautan dinamis kedua alur kemajuan itu merupakan prasyarat bagi terwujudnya Indonesia Maju, yakni Indonesia dengan kebudayaan utama dan peradaban tinggi.
Pembangunan nasional yang diselenggarakan bangsa sejak awal kemerdekaan, sejatinya, adalah proses pemajuan untuk menciptakan masa kini harus lebih baik dari masa lalu, dan masa mendatang harus lebih baik dari masa sekarang.
Itulah dinamika kebudayaan dan peradaban yang harus dilalui bangsa untuk menjadi bangsa terbaik di kalangan bangsa-bangsa, dan pemain utama dalam perlombaan antar bangsa di dunia. Proses pembangunan sebagai proses pemajuan, dengan demikian, perlu menekankan proses pemanusiaan manusia.
Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa manusia adalah subyek kehidupan, dan dirinya sendiri secara bersama-sama yang akan melanjutkan pembangunan itu. Maka terjadilah siklus dinamis pembangunan ke arah keberlanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning).
Perjuangan menuju Indonesia maju adalah long march yang harus terus menerus ditempuh bangsa dari satu generasi ke generasi. Perjuangan itu menuntut persatuan, kebersamaan, dan kekompakan.
Dalam hal ini, kemajemukan bangsa, sebagai anugerah Tuhan, harus dijelmakan sebagai kesatuan yang membawa kekuatan, bukan perpecahan yang mendatangkan kelemahan. Motto Bhineka Tunggal Ika perlu dijelmakan dalam nilai keutamaan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.
Begitu pula, penegakan kedaulatan perlu mendapat perhatian serius. Sejatinya eksistensi sebuah bangsa dan negara meniscayakan tegaknya kedaulatan. Sejarah kebangsaan Indonesia telah menampilkan tonggak-tonggak penegakan kedaulatan yang signifikan.
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 merupakan penegakan kultural (cultural sovereignty) yang penting bagi Indonesia yang majemuk. Proklamasi Kemerdekaan Negara pada 17 Agustus 1945 adalah penegakan kedaulatan politik (political sovereignty) yang menentukan nasib bangsa dan era penjajahan panjang.
Ada satu lagi tonggak penting penegakan kedaulatan namun terlupakan yakni Penegakan Dekrit Perdana Menteri Juanda pada 13 Desember 1957 yang menyatakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari darat dan laut yang mengitarinya.
Inilah penegakan Kedaulatan Teritorial (territorial sovereignty) yang menentukan apa yang disebut NKRI dan Wawasan Nusantara. Sayangnya pemerintah menjadikan 13 Desember hanya sebagai Hari Kelautan dan peringatannya diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pada era globalisasi yang ditandai dengan keharusan persaingan antar bangsa dan negara dewasa ini, maka ada tuntutan bagi Bangsa Indonesia untuk menegakkan kedaulatan yang menyangkut harkat dan martabat diri (dignity sovereignty).
Kedaulatan dan kemartabatan menjadi penting ditegakkannagar bangsa tidak terjerembab ke dalam penjajahan dan penguasaan baru (neo kolonialismeimperialisme) oleh bangsa-bangsa lain, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun budaya.
Di sinilah letak pentingnya kriteria berdaulat dan bermartabat ditambahkan pada visi strategis kebangsaan Indonesia.
Baca sambungan di halaman 3: “Problematka Kebangsaan”