Problematika Kebangsaan
Kehidupan bangsa sejak kemerdekaan memang telah menunjukkan berbagai macam perubahan dan kemajuan.
Harus diakui bahwa kesejahteraan rakyat meningkat, banyak desa baru terbentuk dan banyak desa lama menjadi kota. Ibu kota negara dan banyak kota lain menjadi metropolitan bahkan kosmopolitan.
Banyak sarana dan prasarana umum dapat terbangun, dari jalan raya hingga jalan bebas hambatan, dari pasar hingga pasar raya (mall), dari pelabuhan hingga bandara.
Begitu pula, dunia pendidikan berkembang dan tingkat buta aksara berkurang. Banyak anak bangsa bisa melanjutkan studi ke luar negeri, dan banyak pelajar dari mancanegara datang belajar ke negeri dalam.
Tidak sedikit anak bangsa yang mengukir prestasi di luar negeri, menjadi juara dalam berbagai lomba. Ini hanyalah sekelumit bukti kemajuan yang patut disyukuri.
Namun, tidak dapat pula dipungkiri, bahwa masih banyak masalah di depan mata. Pembangunan nasional Indonesia selama ini berlangsung mengikuti arus modernisasi yang berorientasi pada developmentalisme yang lebih berwajah fisikal-material.
Tolok ukur kemajuan diletakkan pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) dengan indikator-indikator kapitalistik. Parameter non-fisik kurang diperhatikan. Pembangunan infrastruktur lebih bersifat fisikal, sementara aspek mental-spiritual menjadi terpental.
Perekonomian nasional menghadapi masalah serius antara lain adanya paradigma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi yang dualistik, kebijakan fiskal yang tidak mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal.
Pembangunan ekonomi demikian tidak akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perekonomian yang timpang seperti itu akan membawa hasil pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang, melebarnya kesenjangan sosial, dan melemahnya fondamen ekonomi itu sendiri.
Dalam keadaan demikian, seyogyanya politik dapat menjadi instrumen penyelesaian masalah. Politik nasional sesungguhnya merupakan menejemen nasional untuk mengelola sumber daya nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional
Demokrasi yang dijadikan sarana politik seharusnya bersifat fungsional dan instrumental dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Namun, perpolitikan nasional menghadapi masalah baik yang bersifat struktural maupun kultural.
Pada tingkat struktur, kita masih menghadapi masalah kerancuan sistem ketatanegaran dan pemerintahan, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, sistem pemilihan yang liberal, dan budaya politik yang pragmatis -oportunistik.
Dalam keadaan demikian, demokrasi berubah menjadi oligarki (yaitu kekuasaan oleh segelintir orang) bahkan kleptokrasi (yakni kekuasaan oleh orang-orang yang bermaksud jahat), sehingga bangsa mengalami deficit of democracy, kalau tidak democracy bancrupty. Semua hal tersebut menjadikan politik lebih sebagai bagian dari masalah (a part of the problem) tinimbang pemecah masalah (problem solver) bangsa.
Dalam bidang budaya juga terdapat masalah, yaitu ketika sebagian anak-anak bangsa terjebak ke dalam budaya hedonisme dan pragmatisme dalam menghadapi masalah. Nilai-nilai keutamaan bangsa yang membentuk jati diri utama seperti keramahtamahan, kegotongroyongan, kesopanan dan kesantunan, serta adanya daya juang tergerus oleh zaman. Sebagian generasi bangsa terpapar permisifisme budaya dan kedenderungan membanggakan budaya luar.
Aneka masalah bangsa tadi adalah juga masalahmasalah umat Islam. Maka selain harus mengatasi masalahintrinsik dalam dirinya, umat Islam harus juga menanggulangi masalah nasional yang keduanya berkelit berkelindan dan memerlukan penyelesaian simultan.
Baca sambungan di halaman 4: “Problematika Umat”