PWMU.CO-Perobek bendera di Hotel Yamato Tunjungan di zaman kemerdekaan belum sepenuhnya terungkap. Informasi terbaru perobek bendera itu Muhammad Nur Sidik, arek Kaliasin yang aktivis Muhammadiyah.
Selama ini yang populer disebut perobek bendera adalah Hariyono dan Koesno Wibowo. Hariyono adalah pengawal Residen Sudirman dan Koesno Wibowo, aktivis pemuda dari Peneleh Surabaya. Dua orang inilah yang disebut-disebut sebagai perobek bendera Belanda dan pengibar bendera merah putih di atas Hotel Yamato pada 19 September 1945.
Sekarang ada kesaksian lagi disampaikan oleh Mukti Hari (75) sesepuh kampung Kaliasin. Menurut dia, perobek bendera Belanda di Hotel Yamato adalah Muhammad Nur Sidik. Dia aktivis Muhammadiyah di Masjid Sholeh Kaliasin Gang VIII. Pekerjaannya sopir Gubernur Jawa Timur R Soerjo.
”Informasi ini bersumber dari ayah saya, Mat Yasin Wisatmo, aktivis Hizbul Wathan. Ayah saya melihat sendiri yang merobek adalah Muhammad Nur Sidik, warga Kaliasin sini yang saat itu berhasil naik di atas menara Hotel Yamato,” tegas Mukti Hari ditemui di rumahnya pekan lalu.
Dia bercerita, M. Nur Sidik itu sopir Gubernur Suryo. Istri M. Nur Sidik merupakan salah satu pelopor pendiri Aisyiyah di Surabaya, Namanya Mustama.
Mukti Hari sendiri adalah cucu Kiai Usman pendiri Masjid Sholeh Kaliasin VIII. Ayahnya, Mat Yasin Wisatmo, adalah menantu Kiai Usman.
Kesaksian Mat Yasin Wisatmo
Dia menjelaskan, aktivis Muhammadiyah, Hizbul Wathan, Aisyiyah ikut serta dalam peristiwa sebelum dan saat pecah pertempuran 10 November. Salah satunya saat perobekan bendera pada 19 September 1945 beberapa pemuda Kaliasin ikut keluar kampung dan berkumpul di jalan Tunjungan termasuk juga ayahnya dan Muhammad Nur Sidik.
Diterangkan, ayahnya, Mat Yasin Wisatmo, pernah bercerita kepadanya, dia ikut BPRI (Badan Pemberontak Rakyat Indonesia) pimpinan Bung Tomo. Menurut kesaksian ayahnya, satu di antara perobek bendera Belanda itu anggota Muhammadiyah Masjid Sholeh. Namanya Muhammad Nur Sidik, anak Kaliasin.
Anak pertama M. Nur Sidik bernama Sri Soekarti (69) membenarkan cerita Mukti Hari. ”Benar. Bapak dulu yang merobek bendera Belanda. Setelah itu benderanya dilempar dan dipegang oleh pemuda-pemuda di bawahnya,” ujarnya.
Dia mengatakan, ayahnya juga pernah menceritakan peristiwa itu. Tapi tak pernah menyebut sebagai orang yang berjasa dan dicatat namanya dalam sejarah. ”Bahkan ayah saya tak mau didaftar sebagai veteran karena berjuang itu ikhlas. Cukup pensiunan sopir Gubernur Soerjo,” katanya.
Kajian Sejarah Perobekan Bendera
Jika melihat foto dokumen peristiwa Hotel Yamato yang terjadi pada 19 September 1945 itu tampak yang berhasil memanjat ke puncak menara hotel tempat tiang bendera ada empat pemuda.
Ada tiga pemuda menurunan bendera Belanda. Lantas merobek kain warna biru kemudian mengibarkan bendera merah putih. Pengibaran merah putih dilakukan oleh dua pemuda. Bersamaan dengan itu dua pemuda lainnya menuruni tangga.
Di atap gedung di bawahnya beberapa pemuda lainnya menyaksikan peristiwa itu bersamaan dengan massa di jalan depan hotel.
Empat orang di atas menara hotel itu ada kemungkinan mereka adalah Hariyono, Koesno Wibowo, Muhammad Nur Sidik, dan satu lagi yang belum diketahui.
Pertanyaannya, siapakah orang yang benar-benar berperan merobek bendera Belanda dan mengibarkan merah putih? Perlu diteliti lagi di antara kesaksian ini. Dalam peristiwa massal seperti ini menjadi penting memang mengetahui identitas empat pemuda yang nekat memanjat menara hotel itu.
Nama Sidik yang lain tercatat juga dalam peristiwa Hotel Yamato itu. Yaitu Sidik Muljadi, pengawal Residen Soedirman bersama Hariyono.
Sidik Muljadi disebut yang membunuh Mr. WV Ch Ploegman, ketua Indo Europesche Vereniging yang memerintahkan pengibaran bendera Belanda setelah tentara Sekutu bermarkas di hotel itu.
Pembunuhan terhadap Ploegman terjadi ketika orang Belanda itu menodong Residen Soedirman dengan pistol. Sidik langsung bereaksi menyerang Ploegmann. Tapi Sidik juga meninggal dunia akibat tebasan pedang anak buah Ploegman.
Sidik Muljadi memang bukan Muhammad Nur Sidik. Orang lain yang berbeda peran dalam peristiwa sejarah itu. Kalaulah nama Muhammad Nur Sidik tidak tercatat dalam sejarah karena selama ini belum ada orang yang memberikan kesaksian tentang perannya. Informasi dari Mukti Hari ini menambah khasanah sejarah kepahlawanan Kota Surabaya. (*)
Penulis Teguh Imami Editor Sugeng Purwanto