PWMU.CO – Jika berjalan normal, sesungguhnya rombongan ini sudah keluar dari pesawat yang mendarat di Bandara Blimbingsari, Banyuwangi. Pesawat Wings Air yang di dalamnya tercatat rombongan Pimpinan Pusat dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, juga tidak mengalami keterlambatan, tepat pukul 12.45 wib. Tapi hingga semua penumpang sudah turun, 4 tamu yang ditunggu tidak juga muncul.
Padahal, saat itu Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM) sudah membuat barikade. Berbekal izin dari pengelola Bandara, ratusan anggota KOKAM itu sudah siap menyambut kedatangan 4 tamu istimewa. Yaitu Ketua Umum PP Muhammadiyah DR Haedar Nashir, Ketua Umum PP Aisyiyah Siti Noordjannah Djohantini MSi MM, Sekretaris PWM Jatim Ir Tamhid Masyhudi, dan Ketua PW Aisyiyah Jatim Siti Dalilah Candrawati MAg.
(Baca: Perjalanan Dakwah Off Road ke Lamongan dan Dengan Kursi Roda, Sesepuh Ini Hadiri Konsolidasi Aisyiyah untuk Beri Motivasi)
Raut muka kecewa pun bermunculan di ratusan pasukan yang sebelumnya begitu bersemangat. Sebab, kabar “insiden” tidak terangkutnya 4 tamu itu memang baru dikabarkan 5 menit sebelum pesawat mendarat. Karena kondisi di lapangan yang terpisah-pisah, kabar itu baru tersampaikan secara terbatas pada kalangan KOKAM yang di bandara. “Saya baru mengabarkan insiden kami ke Banyuwangi 5 menitan sebelum pesawat mendarat,” jelas Tamhid Masyhudi. Keterlambatan mengabarkan ke Banyuwangi ini pun terjadi karena “kepanikan” yang terjadi di Juanda.
Lantas apa sebenarnya yang terjadi? Pada pukul 10.10 wib, Haedar Nashir dan Siti Noordjannah Djohantini sudah mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Pasangan suami istri ini memang harus transit untuk melanjutkan penerbangan ke Banyuwangi. Tamhid sudah berada di ruang tunggu (boarding room), sementara Candra sudah bersiap masuk boarding room. Artinya, keempatnya sudah melakukan check in dan sudah siap terbang ke Banyuwangi.
(Baca: Din Syamsuddin: Ada Corporate Asing Ancam Akan Hancurkan Muhammadiyah dan RSI Fatimah Miliki Dokter Spesialis Radiologi)
Pada saat yang sama, Haedar dan istri juga sudah bersiap masuk boarding room. “Karena memang saat itu boarding room penuh, dan tepatnya penuh sesak, Pak Haedar telephon mengajak saya keluar dari boarding room,” urai Tamhid memulai cerita tentang asal-muasal rombongan ini tidak terangkut pesawat.
Maka Tamhid pun keluar menemui Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum PP Aisyiyah di deretan kursi luar pintu masuk boarding room yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari boarding room. Keempatnya pun terlibat dalam diskusi serius tentang berbagai kondisi kekinian. Mulai dari masalah Muhammadiyah, Indonesia, hingga gonjang-ganjing politik yang terjadi di Turki.
(Baca: Kata Din Syamsuddin tentang WhatApps Hasanah dan Dlalalah dan Seperti Membangun Kantor RT tapi Mengundang Presiden)
Di tengah-tengah perbincangan, sekitar pukul 11.50-an, Candra sudah mengingatkan tentang jam penerbangan yang akan segera tiba. “Tidak tahu kok saya tiba-tiba nyelutuk, nanti kan juga ada panggilan lewat pengeras suara kalau sudah waktunya mau terbang,” jelas Tamhid merujuk pada kebiasaan di Bandara Indonesia yang memang mengumumkan ke penumpang jika sebuah pesawat akan mulai terbang.
Ketiga tokoh ini tampaknya mengamini apa yang dikatakan oleh Tamhid Masyhudi, hingga mereka kembali terlibat perbicaraan serius. Entah tidak diumumkan atau tidak mendengar karena “seriusnya” berdiskusi, saking asyiknya perbincangan, jam sudah menunjukkan 12.23 wib. “Ketika saya masuk ruang tunggu bertanya tentang pesawat ke Banyuwangi, para penumpang di di ruang tunggu menjawab kompak, sudah berangkat dari tadi,” urai Tamhid.
(Baca: Bukti Kemandirian Muhammadiyah, Sukses tanpa Sokongan Dana Pemerintah dan Di Muhammadiyah Ada PRIA yang Bukan Laki-laki)
Merasa sebagai “pangkal masalah”, Tamhid pun berupaya untuk menyelesaikan masalah itu. Termasuk mengontak maskapai Garuda yang terbang pada pukul 13.05 wib. “Namun, jawaban dari Garuda: tidak bisa karena semuanya full booked. Tidak ada tersisa,” lanjut Tamhid.
“Kepanikan” pun mulai melanda karena satu-satunya yang tersisa untuk bisa datang ke Banyuwangi hanyalah jalur darat. Butuh waktu sekitar 8 jam untuk sampai Banyuwangi, itu pun jika jalan normal. Jika macet, tentu lebih lama lagi. Apalagi pada hari Ahad, tentu sulit untuk menemukan jalan Pantura itu tidak macet dari iring-iringan truck.
Sementara jam sudah menunjukkan pukul 12.55-an, undangan acara di Banyuwangi dimulai pukul 19.00 wib. Sesuatu yang rasanya tidak mungkin dilakukan, mungkinkah hanya 6 jam 5 menit sudah bisa sampai di Banyuwangi lewat perjalanan darat?
(Baca: 3 Cerita Jatuh-Bangun Kyai Dahlan Mendirikan dan Pertahankan Sekolahan dan Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
“Ternyata sikap Pak Haedar dan Bu Noordjannah di luar dugaan yang saya bayangkan. Meski perjalanan udara sudah tidak ada, keduanya masih ngotot untuk datang ke Banyuwangi,” cerita Tamhid tentang komitmen Ketum PP terhadap umat ini. “Kami merasa bangga dan haru melihat beliau berdua masih yang ingin memenuhi janjinya datang ke Banyuwangi, meski harus ditempuh dengan bersusah payah.”
Bahkan usul pertama perjalanan darat ini juga muncul dari Noordjannah. “Bagaimana kalau kita naik travel saja?” begitu usulnya kepada 3 rekannya. “Kalau naik travel malah lebih lambat dan tidak akan sampai-sampai. Kalau tetap berangkat, harus pakai mobil sendiri,” jawab Tamhid atas usulan itu. Selanjutnya halaman 2…