Din soal Pancasila di era globalisasi. Menurutnya sebuah bangsa tidak bisa bertahan dengan monolistisme kultural. Untk itu dia usulkan 3 langkah strategis.
PWMU.CO – Prof Din Syamsuddin mengatakan, di era globalisasi seperti sekarang ini, bangsa-bangsa di dunia akan menjadi bangsa plural atau multikultural.
“Tidak ada satu bangsa yang boleh berpretensi dan dapat bertahan dengan singularitas dan monolitisme kultural. Termasuk bangsa yang ditakdirkan majemuk akan semakin majemuk baik dari faktor internal maupun eksternal,” ujarnya.
Din Syamsuddin menyampaikan hal itu dalam Seminar Pra Muktamar Ke-48 Muhammadiyah bertema ‘Dar al-Ahdi wa as-Syahadah Model Hubungan Idela Negara dan Agama’, di Auditorium KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Selasa (3/3/2020) pagi.
Menurut Din Syamsuddin, adalah suatu keniscayaan sejarah dan budaya bagi sebuah bangsa majemuk untuk memiliki alat pemersatu atau kalimatun sawa atau a common platform.
“Di sinilah letak signifikansi Pancasila. Maka sebagai negara kesepakatan, Negara Pancasila harus dipertahankan dan kesepakatan yang ada harus menyejarah,” ujarnya.
Tiga Langkah Strategis Usulan Din
Dalam rangka itu, sambungnya, hal terpenting adalah penerapan atau implementasi. Untuk itu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 2005-2015 itu mengusulkan langkah-langkah strategis.
Berikut Din soal Pancasila: Pertama, menjauhkan Pancasila dari upaya monopoli kepemilikan dan penafsiran. Menurut Din Syamsuddin, upaya kepemilikan dan penafsiran sepihak tidak hanya bertentangan dengan esensi Pancasila itu sendiri sebagai kesepakatan, tapi juga dapat membuyarkan kesepakatan itu sendiri.
“Walaupun Pancasila boleh ditafsirkan oleh kelompok atau lembaga tertentu asalkan tidak menyimpang dari tafsir umum, namun tafsir resmi haruslah berasal dari tafsir kolektif dari lembaga kesepakatan,” ujarnya.
Dalam kaitan ini, kata Din Syamsuddin, Pancasila harus dijauhkan dari praktik instrumentalis, seperti menggunakan Pancasila sebagai alat untuk mengenyahkan lawan politik untuk menguasai Negara Pancasila padahal dengan cara melanggar nilai-nilai Pancasila.
Kedua, mendekatkan Pancasila dan Negara Pancasila dengan akar kelahirannya, khususnya agama dan budaya. “Jelas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa berpangkal pada agama. Maka agama dan Pancasila adalah setali dua uang. Keduanya bersahabat dekat, dan oleh karena itu Pancasila harus didekatkan dengan agama dan agama harus didekatkan dengan Pancasila,” ungkapnya.
Maka, lanjutnya, wacana kebangsaan perlu bercorak dialogis-harmonis, bukan dialektik-antagonistik. Menurut Din Syamsuddin, dengan agama Pancasila akan tegak, tanpa agama Negara Pancasila menjadi retak.
Pancasila Tak Sekadar Diperbincangkan
Ketiga, sebagai ideologi negara, Pancasila perlu diperbuatkan, tidak sekadar diperkatakan. “Maka nilai-nilai Pancasila perlu disenyawakan ke dalam proses pembangunan nasional dalam berbagai aspeknya,” kata dia.
Din Syamsuddn menegaskan, suatu agenda mendesak adalah membangun sistem nasional, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi yang disesuaikan dengan imperatif Sila-Sila Pancasila.
“Dalam kaitan inilah, Negara Pancasila sebagai Darus Syahadah harus menjelma dan dijelmakan. Rakyat sebagai warga negara perlu secara bertanggung jawab memberi kesaksian atau pembuktian (syahadah) baik secara individual maupun kolektif.
Sebagai Darus Syahadah, kata Din Syamsuddin, Negara Pancasila adalah ajang pembuktian dan perlombaan kebaikan segenap rakyat warga negara. “Masing-masing mendapatkan sesuai dengan apa yang diberikannya,” ucapnya.
Di atas semua itu, sambungnya, dalam Darul ‘Ahdi was Syahadah, pemerintah sebagai pemangku amanat tetap menempati posisi penting dalam mewujudkan kemaslahatan bersama.
Menurut Din, merupakan bagian dari kesepakatan dan wujud dari pembuktian atau kesaksian, penyelenggara negara dalam Darul ‘Ahdi was Syahadah dituntut secara bertanggung jawab mengemban misi dan fungsinya.
Empat Tanggung Jawab Pemerintah
Din Syamsuddn mengatakan, dalam perspektif Konstitusi, pemerintah memiliki empat misi suci dan fungsi penting. Yaitu sebagai pemimpin yang selalu hadir memimpinkan kehidupan bangsa ke arah kemajuan. Kedua, sebagai pelayan yang cenderung melayani rakyat ( abdi rakyat) dalam perkhidmatan yang tulus dan serius.
Ketiga sebagai pelindung yang senantiasa melindungi segenap rakyat dan tumpah darah Indonesia.
Keempat, sebagai pengayom yang mengayomi seluruh rakyat, dengan berada di atas dan untuk semua golongan.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI itu menegaskan, Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi was Syahadah merupakan bentuk ideal kenegaraan dan kebangsaan Indonesia dan dapat menjadi model ideal untuk bangsa-bangsa di dunia.
“Namun, realisasinya sangat tergantung pada konsistensi dan konsekwensi bangsa di dalam memperlakukan Pancasila sebagai dasar negara, falsafah bangsa, dan kesepakatan bersama,” ujarnya.
Namun, tuturnya, kesepakatan hanya akan menjadi kesepakatan jika tanpa pembuktian dari seluruh rakyat warga negara. (*)
Penulis/Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post