Tragedi Karbala menjadi nestapa sejarah Islam yang kelam. Ketika nafsu kekuasaan merajalela, rasa hormat terhadap keturunan Nabi jadi hilang.
PWMU.CO-Di tahun 680 M, Yazid yang berusia 33 tahun naik tahta menjadi khalifah Bani Umayah di Damaskus. Dia menggantikan ayahnya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, yang meninggal.
Namun pelantikan Khalifah Yazid kurang mulus. Penduduk negeri Hijaz dan Kufah bergejolak. Di Madinah masih ada tokoh-tokoh ahlul bait yang menjadi panutan penduduk negeri itu. Seperti Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Abbas, dan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang menolak baiat kepadanya.
Mengutip sejarawan ath-Thabari, Prof Dr Ahmad Syalabi dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Islam menceritakan, Yazid minta Gubernur Madinah Al Walid bin Utbah bin Abi Sufyan menangkap mereka. Ibnu Zubair dan Ibnu Abbas bisa ditaklukkan dan dipaksa baiat. Husain berhasil lari ke Mekkah bersama pengikutnya.
Di Mekkah, Husain menerima surat-surat dari tokoh Kufah yang mengabarkan ribuan penduduk Kufah bersedia membaiat dia menjadi khalifah. Mereka mengundang Husain datang ke kota itu.
Lantas Husain mengirim sepupunya Muslim bin Uqail bin Abi Thalib ke Kufah untuk konfirmasi berita itu. Di negeri itu Muslim menerima baiat sebanyak 30.000 penduduk negeri yang setia dan memilih Husain.
Kabar ini mendorong Husain berangkat ke Kufah. Dia diiringi istri, anaknya, Ali Zainal Abidin, dan pasukan besar pengawal. Banyak orang mencegahnya seperti Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Zubair.
Dijelaskan, dalam masa transisi situasi politik cepat sekali berubah. Ibnu Abbas menyarankan pergi saja ke Yaman yang sudah jelas penduduknya berpihak dan fanatik kepada Ali bin Abi Thalib serta kondisi politiknya stabil. Tapi Husain lebih suka menuju tahta Kufah.
Untuk mengamankan situasi politik Khalifah Yazid memecat Gubernur Basrah Nukman bin Basyir yang dinilai lemah menyikapi pendukung Husain. Wilayah ini digabungkan dengan Parsi di bawah pimpinan Gubernur Ubaidullah bin Zayyad bin Abu Sufyan.
Pengendalian Situasi Politik
Ubaidullah bin Zayyad cepat bertindak mengirim pasukan menuju Kufah untuk mengamankan situasi politik sebelum Husain tiba. Ditangkapinya para penentang Yazid termasuk utusan Muslim bin Uqail. Para pemberontak disiksa dan dibunuh. Akibatnya tokoh dan penduduk Kufah takut dan segera berbalik menyatakan baiat dan setia kepada Yazid.
Setelah situasi politik aman dan terkendali, Gubernur Ubaidullah bin Zayyad memerintahkan pasukan pimpinan Al Hur bin Yazid Attamimi menghadang rombongan Husain.
Kabar perubahan situasi politik di Kufah sampai juga ke Husain dari para kafilah yang bertemu di perjalanan. Termasuk pembunuhan Muslim bin Uqail. Mereka menyarankan Husain balik ke Mekkah karena situasi sudah berubah.
Tapi Husain bergeming, tetap menuju Kufah. ”Siapa memilih balik, silakan balik. Saya tetap ke Kufah,” kata Husain kepada pasukannya. Ternyata sebagian besar pasukan memilih balik ke Mekkah. Hanya tinggal 31 pasukan berkuda dan 40 pasukan berjalan kaki yang setia mengawal Husain, istri dan anaknya.
Di padang Zu Husum, bertemulah pasukan kecil Husain ini dengan pasukan besar pimpinan Al Hur yang berjumlah dua ribu prajurit.
Al Hur heran melihat pasukan kecil itu padahal di Basrah tersiar kabar Husain datang dengan pasukan besar. Dua pasukan ini sempat istirahat dan shalat bersama. Bahkan Husai diberi waktu berceramah.
Begitu shalat usai ketegangan terjadi. Pasukan Al Hur mengepung Husain.
”Kami datang dengan rombongan kecil ini demi undangan kalian dari Kufah,” kata Husain kepada Al Hur.
”Maafkan kami, situasi politik sudah berubah,” jawab Al Hur.
”Jika kalian sudah berubah kesetiaan maka kami pun akan balik dari sini.”
”Tapi kami dapat perintah mengiringkan tuan ke Kufah menemui Gubernur Abdullah bin Zayyad.”
Kemudian datang pasukan lagi pimpinan Panglima Umar bin Saad bin Abi Waqas bergabung dengan pasukan Al Hur. Posisi Husain makin terjepit.
Terjadinya Tragedi Karbala
Diadakan perundingan. Husain mengajukan tiga penawaran kepada Panglima Umar bin Saad. Pertama, pasukannya balik ke Mekkah dengan aman. Kedua, dia langsung menemui Yazid di Damaskus. Ketiga, perang.Setelah perundingan Husain dan pasukannya bergerak menuju Padang Karbala.
Hasil perundingan dikirimkan ke Gubernur Ubaidullah. Awalnya dia menerima perundingan ini tapi perwiranya Syamir bin Ziljausan mengatakan, membiarkan Husain pergi tanpa menyerah, menunjukkan dia orang kuat dan mulia. Sebaliknya Gubernur Ubaidullah orang lemah.
Kemudian dia mengirim Syamir bin Ziljausan dan pasukannya membawa suratnya. Isinya, bawa Husain kepadanya. Kalau Husain menolak harus dibunuh sampai pasukannya hancur. Jika tak mau melaksanakan perintah ini serahkan pimpinan pasukan kepada Syamir.
Tidak ada pilihan lain bagi Panglima Umar bin Saad kecuali perang. Maka terjadilah tragedy Karbala. Pecahnya pertempuran siang hari di Padang Karbala yang tidak seimbang pada 10 Muharram 61H atau 10 Oktober 680 M.
Pasukan Husain cepat sekali ditumpas. Tapi Panglima Umar dan pasukannya enggan membunuh Husain, cucu Nabi. Maka Syamir dan pasukannya yang bertindak mengepung dan menyerang Husain dengan pedang sehingga luka-luka.
Seorang prajurit Zur’ah bin Syuraik mendekati lalu memukul dengan gadanya. Ketika Husain jatuh tak berdaya tiba-tiba prajurit lainnya Sinan bin Anas menikam Husain dengan tombak.
Ketika Husain terkapar di tanah, Sinan memenggal kepalanya. Kepala itu lalu dibawa dan diserahkan kepada Panglima Umar bin Saad. Umar kaget dan mengatakan, kamu sudah gila. Husain meninggal dalam usia 55 tahun.
Tragedi Karbala memperlihatkan dalam kepentingan politik tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri. Tidak melihat lagi siapa orang yang dihadapi. Walaupun cucu Nabi. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto