PWMU.CO – Kebiasaan umat Islam Indonesia yang menyiapkan makanan ketupat setiap bulan Syawal ternyata mengandung filosofi yang dalam. Setidaknya ada 4 makna yang bisa diambil dari ketupat.
“Pertama, tidak banyak orang yang bisa membuat ketupat. Seringkali mereka mencoba tetapi sering lupa cara bikinnya, akhirnya salah dan gagal. Artinya, pembutan kupat mengandung filosofi bahwa manusia itu tak lepas dari salah. Dan Islam menjunjung tinggi orang yang memberi maaf,” ungkap dr Tjatur Prijambodo, MKes dalam Pengajian Ahad Pagi di Masjid Attaqwa WSI, Menganti, Gresik, Ahad (7/8).
(Baca: Mitos Mandi Malam Upaya Menjauhkan Muslim dari Tahajud dan Banyak Mitos di Seputar Menstruasi)
Tjatur mengatakan, memberi maaf itu lebih mulia dari meminta maaf. Bahkan meminta maaf adalah salah satu ciri orang bertakwa. “Itu penjelasan Allah dalam surat Ali Imran ayat 134, bahwa salah satu ciri orang bertakwa adalah memaafkan (kesalahan) orang lain.”
Kedua, ketupat itu terdiri dari dua helai janur. Kalau hanya dari satu janur itu namanya lepet. “Apa maknanya?” tanya Tjatur pada jamaah. “Ternyata dua janur itu menunjukkan kebersamaan. Artinya, kupat memberi pelajaran pentingnya bersilaturahim.”
Direktur Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan daerah (BPJKD) ini menjelaskan, manfaat silaturahmi sangat penting bagi kesehatan sebagaimana diisyaratkan oleh Rasulullah saw, bahwa orang yang banyak bersilaturahmi itu akan panjang usianya.
(Baca juga: Tujuh Penyakit Ini Bisa Disembuhkan dengan Puasa dan Ini Penjelasan Dokter tentang Pentingnya Siswa Membawa Bekal Makanan dari Rumah)
Dalam menjelaskan makna ketiga dari ketupat, pengasuh rubrik kesehatan Majalah Matan ini bertanya pada hadirin bagaimana jika ketupat itu dibelah. “Apakah warnanya pink atau biru?” tanya dia. Jamaah pun menjawab serempak, “Bukan… warnanya putih.” Tjatur lalu menjelaskan bahwa warna putih isi ketupat melambangkan kesucian. “Artinya, setelah berpuasa Ramadhan, hati dan pikiran kita harusnya putih bersih seperti isi kupat ini,” kata Tjatur sambil menjelaskan bahwa 80 persen penyakit yang beredar di masyarakat disebabkan oleh pikiran dan hati yang tidak bersih.
Keempat, ketupat itu harus dibuat sebaik mungkin. Jika bocor maka akan menghasilkan ketupat yang jelek. Itu artinya, manusia, kata Tjatur, meskipun tidak akan pernah sempurna tetapi harus terus berbuat baik mencapai kesempurnaan.
Takwa sebagai capain puasa Ramadhan, menurut Tjatur, adalah proses menuju kesempurnaan itu. Maka sebelum dan sesudah Ramadhan harusnya ada peningkatan, setidaknya seperti ciri orang bertakwa seperti surat Ali Imran 134. “Jika sebelum Ramadhan kita medit (kikir), maka harusnya menjadi suka berinfak, baik dalam kondisi sempit maupun longgar. Kita juga harus mampu menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain,” kata Tjatur. (Nurfatoni)