PWMU.CO– Ummu Habibah, nama ini populer di sejarah Islam. Nama aslinya Ramlah, anak perempuan Abu Sufyan. Bapaknya bangsawan Quraisy dan pedagang yang sukses. Ramlah mempunyai anak perempuan bernama Habibah karena itulah dia populer dengan panggilan Ummu Habibah.
Suaminya, Ubaidillah bin Jahsy, termasuk segelintir penduduk Mekkah yang menolak tradisi penyembahan berhala. Begitu mendengar Nabi Muhammad menyerukan Islam, dia termasuk orang Mekkah yang menyambut ajaran ini.
Di Mekkah, Ubaidillah mempunyai komunitas para pencari tuhan. Komunitas ini mendiskusikan tentang agama Ibrahim dan berusaha menggali ajarannya.
Teman Ubaidillah antara lain Waraqah bin Naufal yang paling tua. Waraqah memilih agama Nasrani dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab selama sisa hidupnya di Mekkah.
Lalu ada Utsman bin Al Huwairits yang mengembara ke Damaskus. Bergaul dengan orang-orang Nasrani akhirnya memeluk agama itu dan menjadi pejabat di istana Rumawi.
Kemudian Zaid bin Amr. Pergi ke Syam menemui beberapa rahib Yahudi dan Nasrani mendiskusikan masalah agama. Lalu dia bertemu dengan pendeta di daerah Balqa yang mengatakan, agama Ibrahim yang dicarinya justru muncul di negerinya sendiri dibawa oleh seorang nabi yang kemunculannya dalam waktu dekat. Dia pulang ke Mekkah. Namun dalam perjalanan saat di kota Lakhm, penduduk setempat membunuhnya.
Hijrah ke Abesinia, Suaminya Murtad
Hanya Ubaidillah bin Jahsy yang memilih Islam. Ketika Nabi menyarankan hijrah ke Abesinia (Habasyah), dia menyambut seruan itu. Dia ajak istrinya, Ummu Habibah, dan anaknya, bergabung dengan rombongan hijrah gelombang kedua.
Pemimpin rombongan hijrah ini Ja’far bin Abu Thalib. Keluarga Ummu Habibah berangkat didampingi bekas budak Abu Sufyan yaitu Barakah binti Yasar dan suaminya, Qais bin Abdullah.
Setiba di Abesinia, rombongan ini disambut oleh muhajirin yang lebih dulu tiba. Mereka diberi tempat tinggal bergabung dengan muhajirin sebelumnya.
Di negeri ini Ubaidillah bin Jahsy seperti menemukan teman diskusi saat berkenalan dengan pendeta Nasrani. Dia meneruskan kesukaannya membahas masalah ketuhanan dan isi Alkitab.
Sayangnya, lambat laun, hari demi hari ternyata diskusi dan pergaulannya di negara Abesinia yang mayoritas Nasrani itu memengaruhi keislaman Ubaidillah. Dia tinggalkan Islam menjadi Kristen.
Bisa jadi dia merasakan agama Kristen Abesinia yang lebih sesuai dengan apa yang dicarinya. Setiap kali bertemu dengan muhajirin teman-temannya, Ubaidillah selalu berkata, ”Kami telah melihat, sedang kalian berusaha untuk melihat tapi tidak dapat melihatnya.”
Maksud kalimat itu dapat ditafsirkan, menurut pikiran Ubaidillah, dia sudah menemukan dan melihat agama yang benar di depan matanya sekarang di Abesinia. Sedangkan teman-temannya walaupun melihatnya tapi dianggap tidak bisa menemukan kebenarannya.
Rumah Tangga Ummu Habibah Berantakan
Tentu saja murtadnya Ubaidillah bin Jahsy membuat istrinya nelangsa. Istrinya tetap percaya dengan Islam sesuai niatnya hijrah ke Abesinia ini untuk mempertahankan agama dari tekanan orang Quraisy. Ummu Habibah tidak mau mengikuti pilihan suaminya.
Di negeri pengungsian itu, kegiatan suami istri ini menjadi berbeda. Istri dan anaknya berkumpul bersama muhajirin untuk membaca dan mendalami Alquran yang sudah diturunkan di masa itu.
Sementara suami berkumpul dengan teman-teman barunya di gereja atau di rumah orang Abesinia sambil minum khamr. Kebebasan minum khamr ini mungkin juga yang membuat Ubaidillah memilih Kristen.
Dalam sebuah riwayat, Ummu Habibah menceritakan tentang suaminya. ”Aku melihat dalam tidurku, suamiku dalam gambaran terburuk dan terjelek. Aku ketakutan. Aku berkata, ”Demi Allah, dia telah berubah.”
Pagi harinya, kata dia, suaminya berkata, sudah berpikir dan memutuskan bahwa agama terbaik untuk dimasuki adalah Nasrani. Dia berkata pada suaminya, tidak ada yang lebih baik bagimu kecuali Islam. Lalu dia ceritakan tentang apa yang dilihat dalam mimpinya. Tapi suaminya mengabaikan dan menjadi ketagihan minum-minum.
Suaminya memberi Ummu Habibah pilihan. Minta diceraikan ataukah mengikutinya menjadi Nasrani. Dia minta suaminya kembali ke Islam. Penderitaan batin Ummu Habibah berlangsung hingga ada kabar kaum muslimin dan Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.
Hidup Menjanda di Tanah Hijrah
Beberapa waktu sesudah itu Ubaidillah bin Jahsy sakit dan mati. Maka hilanglah beban batin Ummu Habibah meskipun kini dia menjanda di tanah rantau.
Kondisi Ummu Habibah sampai juga kabarnya ke telinga Nabi Muhammad disampaikan oleh muhajirin yang balik ke jazirah Arab ikut hijrah ke Madinah.
Kemudian Nabi Muhammad mengirim Amr bin Umayah ad Damiri ke Abesinia menemui Najasyi untuk membahas pemulangan muhajirin. Kedatangan Amr bin Umayah ini terjadi setelah perang Khandaq tahun 5 Hijriyah.
Selain membicarakan pemulangan muhajirin, Amr bin Umayah juga menyampaikan pesan khusus Nabi Muhammad kepada Najasyi agar meminangkan Ummu Habibah menjadi istri Nabi serta membayarkan maharnya.
Najasyi kemudian menyuruh pelayan perempuan bernama Abraha ke rumah Ummu Habibah dengan pesan, Nabi Muhammad meminta Najasyi untuk melamarkannya dan menikahkan. Untuk itu Ummu Habibah diminta menunjuk walinya.
Permintaan itu tentu saja sangat mengagetkan Ummu Habibah. Tidak disangka ternyata kabar tentang dirinya sudah sampai kepada Rasulullah dan langsung memperhatikan nasibnya. Perempuan mana yang tidak bergembira hati dilamar oleh Rasulullah? Maka dia segera menunjuk Khalid bin Sa’id, kerabatnya yang juga ikut hijrah, menjadi walinya.
Acara akad nikah dilangsungkan di istana disaksikan pembesar kerajaan dan kaum muhajirin. Najasyi mewakili Rasulullah menyerahkan mahar sebesar 400 dinar kepada Khalid bin Sa’id. Kemudian Khalid bin Sa’id menikahkan Ummu Habibah dengan Rasulullah meskipun Rasul tidak hadir di tempat itu.
Saking gembiranya dengan pernikahan itu, Ummu Habibah begitu menerima maharnya, dia mengambil 50 dinar diberikan kepada Abraha yang melayaninya pada acara itu. Tapi Abraha menolak. Malah esok harinya Abraha membawa kayu gaharu, ambar, dan minyak wangi diberikan kepada Ummu Habibah sebagai bingkisan kepada Rasulullah sewaktu pulang ke Madinah.
Beberapa waktu kemudian muhajirin Abesinia menyiapkan diri menuju Madinah. Rombongan ini diangkut dua kapal. Maka Ummu Habibah jadi bahagia bisa hidup bersanding dengan orang besar seperti Rasulullah. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto