PWMU.CO– Merdeka belajar yang digagas Mendikbud Nadiem Makarim pada dasarnya mencoba meninggalkan paradigma behavioristik yaitu bebas intervensi pemerintah pusat.
Hal itu diungkapkan oleh anggota DPR Prof Dr Zainuddin Maliki saat mengisi seminar nasional pendidikan yang digelar SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo dengan topik merdeka belajar, Sabtu (7/3/2020). Diskusi ini juga menghadirkan Ketua BNSP (Badan Nasional Standardisasi Pendidikan) Dr Abdul Mu’ti.
”Paradigma behavioristik adalah paradigma dimana semua tindakan orang itu adalah hasil intervensi. Dulu pendidikan itu selalu diintervensi. Siapa yang mengintervensi, yang mengintervensi ya pemerintah pusat,” jelas Zainuddin di diskusi Smamda Sidoarjo.
”Nah Mas Menteri (sebutan Mendikbud Nadiem Makarim ) ingin meninggalkan paradigma itu dengan memberi kemerdekaan kepada siswa, kepada guru, kepada orangtua, kepada lembaga pendidikan dan bergeser kepada paradigma baru yakni konstruktivistik,” tambahnya.
Anggota DPR Komisi X ini menambahkan, Mendikbud berdiskusi dengannya untuk belajar tentang paradigma konstruktivistik.
”Ini menarik karena menteri yang memiliki rasa percaya diri tinggi masih ingin belajar tentang paradigma baru yaitu konstruktivistik meskipun sebenarnya itu sudah menjadi beberapa kebijakannya,” katanya.
Sekarang ada perubahan perubahan pemangku pendidikan diberi kemerdekaan. Salah satunya, sambung dia, USBN atau Ujian Sekolan Berstandar Nasional dihapus. Lalu yang diberi kesempatan untuk menentukan lulus tidaknya adalah guru di sekolah.
”Kemudian Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ini juga oleh Mas Menteri diserahkan kepada kepala sekolah disalurkan untuk apa karena kepala sekolah lebih tahu rinciannya. Ini diberi kebebasan tidak seperti sebelumnya yang diatur secara rinci dari pusat,” tuturnya
Ujian Nasional Berubah ke Kompetensi
Dia menekankan, paling krusial adalah dihentikannya oleh Ujian Nasional. ”Saya menyebut UN ini rezim. UN tahun 2020 adalah ujian terakhir dan tahun 2021 tidak akan ada lagi UN, diganti dengan Assessmen Kompetensi Minimum,” kata mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya ini
Menurut dia, Menteri Nadiem ingin menggeser orientasi pendidikan kita dari prestasi ke kompetensi. Yang dikejar bukan prestasi tapi kompetensi. Namun yang dimaksud prestasi dalam hal ini adalah skor test Ujian Nasional.
Di kebijakan zonasi, kata dia, ada rekrutmen di luar zonasi masih dipertimbangkan dasar pertimbangan prestasi. Kini perbandingannya diubah dari 50 persen menjadi 30 persen. Itu prestasi konotasinya adalah nilai ujian nasional maka menteri mengubahnya ke kompetensi.
”Sejauh ini saya setujui dengan Mas Menteri kalau prestasi hanya didasarkan pada post test. Post test tidak menjamin orang sukses. Hanya saya ingin mengingatkan bahwa perubahan yang secara konsep dasarnya bagus tetapi mengubah paradigma dari behavioristik ke konstruktivistik itu adalah mengubah yang sangat radikal,” tandasnya.
Ia menggambarkan metamorfosa pendidikan itu seperti binatang komodo. ”Karena saya kebetulan pulang dari Pulau Komodo. Saya melihat ternyata komodo itu kelihatannya kecil tapi kalau tahu ada mangsa di depan, komodo berubah menjadi sebuah binatang yang besar mengejar mangsa dengat kecepatan 20 km per jam. Kalau kita dikejar oleh komodo jangan lari lurus tapi kita harus lari zigzag karena komodo tidak bisa belok dengan cepat. Butuh waktu bagi komodo untuk berbelok,” tuturnya.
Zainuddin mengingatkan Mendikbud bahwa dunia pendidikan itu jauh lebih besar dari komodo. ”Kalau anda putar atau belok itu butuh waktu. Kalau anda tidak mempersiapkan perubahan dan melakukan transisi yang bagus bisa jadi anda akan frustrasi,” katanya.
Jangankan mengubah paradigma, kata dia, mengubah kebiasaan saja susah. Orang yang biasa terlambat, tidak disiplin kemudian disuruh tepat waktu pasti susah. Orang yang biasa antre kayak lebah, disuruh antre kayak semut itu susah. (*)
Penulis Wahyu Murti Editor Sugeng Purwanto