PWMU.CO – Almarhum Kiai Muskanan, Pejuang Muhammadiyah Banyutengah yang wafat pada Jumat (6/3/2020) meninggalkan banyak kesan di mata sahabat-sahabatnya.
Salah satunya adalah Kepala MTs Muhammadiyah 6 Banyutengah Panceng Anshori SThI. Pria yang juga kontributor PWMU.CO ini cukup lama mendampingi almarhum di Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Panceng.
“Almarhum Kiai Muskanan pernah menjadi Ketua Majelis Dikdasmen PCM Panceng hingga dua periode, yaitu periode 2005-2009 dan 2009-2013. Selama itu saya diminta untuk mendampingi beliau sebagai sekretaris,” ungkapnya.
Salah satu keinginan almarhum yang sering diutarakan pada Anshori adalah ingin ada tulisan atau buku yang menceritakan sejarah perjuangannya dalam membesarkan perguruan Muhammadiyah Banyutengah.
Maka inilah penuturan Anshori tentang jejak perjuangan membesarkan Perguruan Muhammadiyah Banyutengah sebagaimana diamanatkan oleh almarhum.
Mengisi Kolam Mandi dan Wudhu Pondok
KH Muskanan SAg atau biasa dipanggil Kiai Muskanan lahir di Gresik 9 Pebruari 1954. Ia asli anak desa Banyutengah Kecamatan Panceng yang menghabiskan masa pendidikan dasarnya di desa tetangga, Campurejo Kecamatan Panceng.
Selesai dari pendidikan dasar, tahun 1969 dia hijrah ke Pondok Pesantren (Ponpes) Karangasem Paciran Lamongan hingga menjadi salah satu santri kesayangan Pengasuh Ponpes KH Abdurrohman atau yang biasa panggil Kiai Man.
Dulu saat di pondok, Muskanan adalah santri yang langganan diberi tugas oleh Kiai Man mengisi kolam untuk mandi dan wudhu para guru dan santri.
Dan kegiatan itu dilakukan setiap tengah malam di waktu shalat tahajut sampai menjelang subuh tanpa mengeluh bahkan protes pada yang memberi perintah.
Didoakan Jadi Kiai dan Punya Pondok
Hingga pada satu kesempatan Kiai Man mendoakan santrinya ini mudah-mudahan menjadi kiai dan mendirikan pondok pesantren di desanya sendiri.
Selesai belajar dari pondok pesantren, semangat muda Muskanan sangat kentara. Ia sering kali berada di depan setiap ada kegiatan atau persoalan yang menyangkut keorganisasian.
Di awal-awal kepulangannya dari ponpes, kondisi persaingan keorganisasian antara Muhammadiyah dengan NU di desa cukup panas kala itu.
Setiap kali bermain sepak bola di lapangan desa mesti terjadi perebutan lahan hingga baku hantam biasa terjadi. Layaknya gladiator masing-masing kelompok menyiapkan petarungnya secara berpasangan.
Tidak hanya itu, ketika masing-masing kelompok mengadakan kegiatan yang menggunakan sound system, maka mereka saling berlomba ‘keras-kerasan’ hingga menghadapkan pengerasnya langsung ke arah lawan kelompoknya.
Bahkan suatu ketika, karena masjid di desa saat itu masih satu alias bergabung maka terjadi perebutan tongkat khatib Jumat, sampai pernah disembunyikan oleh kelompok Muskanan.
Penjuangan Mendirikan AUM
Sebelum mendirikan lembaga pendidikan tingkat lanjutan, di Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Banyutengah sudah berdiri TK ABA 04 dan MI Muhammadiyah 05.
Muskanan muda tidak puas dengan kondisi itu, ia mencoba merayu pengurus ranting untuk mendirikan jenjang lanjutan MTs Muhammadiyah dan MA Muhammadiyah.
Tidak mendapatkan restu, bahkan sebaliknya mendapatkan tantangan. “Mus, pengurus menggaji guru-guru TK dan MI saja sudah habis-habisan. Terus kamu kok ingin mendirikan MTs dan MA. Terus gurunya dibayar apa?” kenang Kiai Muskanan menirukan ‘omelan’ pengurus kala itu.
Tidak putus asa, dengan mengajak Dhimam sebagai teman seperjuangan, Muskanan mengajukan proses pendirian jenjang MTs. Akhirnya di tahun 1982 resmi berdiri MTs Muhammadiyah 06 Banyutengah dan dua tahun selanjutnya berdiri MA Muhammadiyah 02 Banyutengah.
Menjawab tantangan pengurus yang demikian itu, Kiai Muskanan mengenang perjuangannya.
“Dulu, awal-awal berdirinya MTs dan MA, para guru yang mengajar dijemput dengan memakai sepeda ontel, karena punyanya ya itu,” tuturnya.
Di tahun 1984, atas ketokohan ‘Tiga Serangkai Kiai Muhammadiyah Banyutengah’—Kiai Muskanan, Kiai Misbahuddin, dan Kiai Dhimam—berdirilah Pondok Pesantren Al Azhar.
Keberadaan Ponpes Al Azhar dan kekompakan Tiga Serangkai Kiai waktu itu membawa kejayaan Perguruan Muhammadiyah Banyutengah. Hingga dikenal sampai lintas kecamatan bahkan lintas kabupaten.
Masjid Potong Jari
Proses perjuangan mendirikan masjid Muhammadiyah pun juga tidak lepas dari cemoohan. Hal itu datang dari salah satu oknum organisasi sebelah.
“Seng kate’ Muskanan iso bangun masjid e Muhammadiyah dewe, iki lho, ketok’en drijiku. (Kalau Muskanan bisa mendirikan masjid Muhammadiyah, ini potong jari saya),” kenangnya.
Tanpa menanggapi serius cemoohan itu, sebaliknya Kiai Muskanan semakin bersemangat menggerakkan warga Muhammadiyah Banyutengah mewujudkan bangunan masjid sendiri yang sudah dicita-citakan.
Siang-malam semua warga bersemangat mengumpulkan batu kali meskipun alat pengangkut kala itu baru cikar (gerobak yang ditarik sapi). Batu-batu cadas itu dibagikan ke rumah-rumah warga untuk dijadikan krecak.
Saat pembangunan pun warga sak eyek sak eko proyo semangat gotong-royong membawa timba berisi adukan semen dengan berjajar, baris mengular hingga terwujud masjid yang diimpikan pada tahun 1988 yakni Masjid Al Hijroh.
Peran di Muhammadiyah
Selain mengabdi di PCM Panceng, Kiai Muskanan juga lama mengabdi menjadi Kepala MTsM 06 Banyutengah sejak berdiri hingga tahun 2000. Kemudian beralih menjadi Kepala MAM 02 Banyutengah selama satu periode.
Dalam ketakmiran masjid beliau juga menjabat sebagai Ketua Takmir Masjid Al Hijroh dari 2005 hingga 2016. Tidak berbeda dengan di PCM, Anshori juga berkesempatan diminta membantunya sebagai sekretaris takmir
Sosok KH Muskanan
Kiai Muskanan merupakan sosok ulama, kyai, tokoh agama dan masyarakat. Juga ustadz atau guru yang berwibawa dan disegani. Baik oleh kawan atau lawan, baik yang tua atau muda. Bicaranya memberikan kekuatan serta menyentuh hati bagi yang mendengarnya.
Salah satu keistikamahannya yang sulit ditiru banyak orang adalah ia selalu mengumandangkan adzan untuk membangunkan shalat tahajut tepat pukul 03:00, tidak kurang dan tidak lebih.
Ia merupakan sosok panutan yang layak ditiru. Dalam hal kecil di lingkungan madrasah, meskipun ia seorang kiai, sesepuh, guru senior, ketika masuk gerbang ia menyempatkan turun dan mematikan mesin sepeda motor untuk bersalaman dengan guru piket di depan gerbang.
Di kala banyak guru yang terlambat, ia sosok yang selalu datang di awal waktu. Di kala banyak guru tidak menyampaikan ijin karena tidak masuk, ia selalu menyampaikan ijin, melalui telepon atau WA
Semoga almarhum Kiai Muskanan husnul khatimah, seluruh amal ibadahnya diterima dan segala dosanya diampuni.
Dan yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan ketabahan serta diberikan kekuatan untuk meneruskan perjuangannya. Aamiin. (*)
Penulis Anshori. Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.