Muhammadiyah-NU: otak kanan kiri NKRI. Dari sekian lintasan sejarah Muhammadiyah-NU, hubungan kedua ormas ini layak dianalogikan seperti itu.
PWMU.CO – Suka atau tidak suka Islam di Indonesia selalu terpolarisasi dalam dua kelompok besar: Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini seringkali disebut mewakili kelompok modern dan tradisional, kota dan desa, maju dan terbelakang, garis keras dan garis toleran; yang sebenarnya sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian.
Tanpa bermaksud mengecilkan peran ormas Islam lainnya, persatuan atau perseteruan kedua ormas ini demikian mempengaruhi kehidupan bangsa. Keberadaan kedua ormas ini secara de facto sudah ada jauh sebelum membentuk ormas secara de jure bernama Muhammadiyah dan NU.
Dari latar belakang pendidikan basis massanya, warga Muhammadiyah identik dengan pendidikan umum. Adapun warga NU mayoritas berlatar pendidikan pesantren salaf. Latar belakang pendidikan yang saat ini tidak bisa dijadikan identitas “resmi” bagi warga Muhammadiyah maupun NU.
Banyak warga Muhammadiyah saat ini yang berlatar belakang pesantren, sebaliknya tidak sedikit warga NU yang berlatar belakang pendidikan non-pesantren.
Jika diruntut kembali pada akar sejarah para pendirinya, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ary dikenal luas sebagai saudara satu perguruan ilmu salaf sejak di Nusantara maupun ketika merantau menuntut ilmu ke Mekah.
Perbedaan keduanya terjadi pada saat mengasuh santri sekembalinya ke tanah air. Kiai Dahlan memiliki kecenderungan mengarahkan santrinya mencicipi sekolah-sekolah umum. Sedangkan Kiai Hasyim lebih mengarahkan santrinya fokus ke ilmu-ilmu salaf.
Pembaharuan NU
Pembaharuan di tubuh NU baru terjadi ketika hadir sosok KH Abdul Wahid Hasyim “putra mahkota” KH Hasyim Asy’ary sendiri. Gus Wahid, demikian biasa disapa, memasukkan pelajaran-pelajaran bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman di pesantren Tebuireng mulai tahun 1920-an.
Sebagaimana tertulis dalam buku biografi Wahid Hasyim untuk Republik dari Tebuireng yang diterbitkan Tempo, Gus Wahid mengusulkan pendirian perpustakaan besar di Tebuireng yang mengoleksi kitab-kitab salaf maupun kontemporer.
Dari inisiatif Gus Wahid lambat laun warga NU mulai membuka wawasan untuk mencicipi ilmu-ilmu umum. Meskipun relatif agak terlambat melakukan pembaharuan ilmu agama dan umum dibandingkan Muhammadiyah, warga NU lambat laun secara budaya dan pemikiran bisa terhubung dengan pikiran Islam modern lainnya.
Puncaknya persatuan visi misi Muhammadiyah dan NU di dalam Masjumi mampu menyatukan potensi efektif bangsa yang besar dalam mewujudkan kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kedaulatan penuh tahun 1949.
Pasang Surut Muhammadiyah NU
Pasang surut hubungan Muhammadiyah dan NU menjadi barometer kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tercatat hubungan Muhammadiyah-NU agak “terpisah” menjelang pemilu 1955 di mana NU menjadi partai sendiri, sedangkan warga Muhammadiyah mayoritas tetap berkhidmad di Masjumi.
Berlanjut pada masa Orde Baru, hubungan Muhammadiyah-NU juga bisa dikatakan tidak seerat masa revolusi 1945.
Reformasi 1998 kembali menjadi momentum bersatunya Muhammadiyah-NU hingga Sidang Umum MPR 1999 dengan duet fenomenal Amien Rais dan Gus Dur.
Kemesraan yang hanya seumur jagung hingga tahun 2001 pada saat Gus Dur lengser dari kursi RI 1. Di mana hingga saat ini belum ada tokoh pemersatu seperti Amien Rais dan Gus Dur tahun 1999.
Otak Kanan dan Kiri NKRI
Dari sekian lintasan sejarah Muhammadiyah dan NU, hubungan kedua ormas ini layak dianalogikan seperti otak kanan dan kiri.
Otak kiri memiliki kecenderungan logika, sedangkan otak kanan mengarahkan pada cara berfikir intuitif dan visual. Otak kanan dan kiri yang bersatu di dalam tempurung kepala, terpisah tetapi saling berhubungan dan ada kalanya berlawanan.
Otak kanan dan kiri yang saling terhubung membran-membran syaraf perlu sering di stimulus dan diformat untuk dapat menghasilkan karya optimal.
Perseteruan keduanya sejauh ini sebagai perseteruan yang sehat sebagai bagian dari fastabiqul khairat. Sebagaimana perseteruan dinasti Abbasiyah di Baghdad dan dinasti Muawiyah di Andalusia yang sama-sama menghasilkan karya besar bagi peradaban dunia.
Otak kanan dan kiri sebagai sumber hikmah dan kebijaksanaan untuk membangun peradaban. Otak kanan dan kiri seperti juga account debet dan kredit yang harus sinergi seimbang atau balance untuk menghasilkan profit dan kinerja perusahaan yang baik.
Muhammadiyah-NU bukan sepasang sandal untuk diinjak dan bisa dipakai atau dilepas bahkan dibuang ketika tidak lagi dibutuhkan.
Muhammadiyah NU adalah otak kanan dan kiri bagian dari denyut kehidupan NKRI.
Wallahu alam bi ashshawab (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto. Editor Mohammad Nurfatoni.