Lockdown Vs Lockhorn untuk Pilpres? Opini wartawan senior Dhimam Abror Djuraid ini menggambarkan dua model kepemimpinan dalam menghadapi wabah Corona.
PWMU.CO – Di negeri ini apapun bisa dijadikan komoditas politik. Mulai dari banjir sampai wabah penyakit. Apapun, bisa dijadikan bahan debat politik tak berkesudahan.
Kisah Menarik Simbol Lambannya Pemimpin
Alkisah, dalam sebuah pelayaran kapal internasional terjadi badai besar dan kapal nyaris tenggelam. Kapal itu membawa delegasi dari berbagai bangsa. Karena kondisi sudah sedemikian gawat nakhoda memerintahkan pimpinan rombongan segera mengambil keputusan cepat untuk meninggalkan kapal dan menyelamatkan diri melalui sekoci.
Rombongan Amerika butuh waktu lima menit untuk memutuskan membuang semua bagasi yang tidak diperlukan. Rombongan Jepang hanya butuh enam menit untuk memutuskan dan sekaligus melakukan eksekusi membuang semua barang bawaan ke laut. Delegasi China butuh tujuh menit karena minta tambahan waktu semenit untuk konsultasi ke bos di Beijing.
Lockhorn Khas Indonesia
Ditunggu sampai 10 menit rombongan Indonesia masih belum muncul. Lima belas menit masih belum muncul juga. Begitu kamar digedor oleh nakhoda karena kapal sudah tenggelam ternyata delegasi Indonesia masih voting.
Itulah demokrasi yang kebablasan di Indonesia. Tak ada mekanisme pengambilan keputusan yang efektif, dan tidak ada strong leadership, kepemimpinan kuat, untuk memberi arah dan panduan. Semua serba-berdebat, semua serba-berlarut-larut.
China hanya butuh tiga bulan untuk mengendalikan wabah Covid-19 yang sudah menjadi pagebluk internasional. Dalam waktu singkat China melakukan lockdown, mengunci rapat penduduk di satu tempat, dan meniadakan semua kegiatan yang mengumpulkan massa.
Singapura mengambil keputusan cepat dan tegas dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong dengan menyiapkan karantina, menyediakan pemeriksaan gratis secara cepat dan efisien, dan memberikan update secara berkala setiap hari melalui media resmi dan media sosial.
Singapura secara tegas melakukan lockdown dan melarang semua kegiatan yang mengumpulkan massa, termasuk shalat Jumat dan shalat berjamaah dan menggantinya dengan shalat di rumah masing-masing.
Di Indonesia yang terjadi bukan lockdown tapi lockhorn alias saling adu tanduk seperti sapi atau banteng. Lockdown nasional sudah direkomendasikan sebagai cara efektif untuk memotong mata rantai penyebaran virus yang sekarang sudah mencapai alarm merah di Indonesia. Ibarat kapal Indonesia sudah nyungsep hampir tenggelam. Tapi, alih-alih menyiapkan sekoci, malah asyik berkelahi di medsos.
Lockdown dan Politik
Lockdown dipersepsikan sebagai aib yang harus dihindari karena merusak citra politik. Melakukan lockdown nasional berarti menyerah kepada tekanan lawan dan itu adalah aib yang tak tertanggungkan. Di sisi lain, pendukung lockdown menganggap bahwa lockdown nasional adalah kemenangan politik TKO karena membuktikan bahwa kepemimpinan nasional lemah dan tidak efektif.
Dua kubu ini asyik sekali adu kepala sampai berdarah-darah. Alih-alih mengampanyekan satu komando tunggal nasional, malah mengadu domba untuk kepentingan politik pilpres yang masih empat tahun lagi.
Karena lambatnya komando nasional, beberapa kepala daerah mengambil keputusan parsial yang terpecah-pecah. Ada yang memutuskan melakukan lockdown di wilayahnya, tapi wilayah tetangganya masih tetap membiarkan pintu bebas terbuka.
DKI Jakarta sudah lebih dulu melakukan lockdown. Jawa Tengah cepat menyusul. Tapi, Jawa Timur masih relatif tenang-tenang saja dan mengklaim wilayahnya aman dari serbuan pagebluk.
Jawa Timur Belum Lockdown
Alih-alih melakukan tindakan darurat yang cepat Jawa Timur masih sibuk memikirkan pencitraan. Sebuah laporan PMI (Palang Merah Indonesia) Jawa Timur menyebutkan ada 65 orang suspek Covid-19 di Jawa Timur.
Alih-alih bekerja sama dengan PMI untuk mendeteksi dan menemukan para suspek, pemerintah Jatim malah melabrak PMI dan memaksa mencabut laporan itu, seolah-olah kasus itu aib yang mencoreng muka.
Ada pemimpin yang terbuka mengakui beratnya mengatasi kasus ini dan tanpa malu-malu mengumumkan state of emergency, keadaan darurat, meminta bantuan semua pihak untuk mengatasi penyebaran pagebluk ini.
Ada juga pemimpin yang lebih sibuk memikirkan peluang di Pilpres 2024, sehingga menganggap penyebaran kasus ini di wilayahnya sebagai aib yang harus dihindari karena bisa memengaruhi peluangnya di pilpres 2024. Ia malah memanfaatkan kasus ini untuk menyalip di tikungan meninggalkan pesaing-pesaing politik yang lain.
Ada pemimpin yang humble, lembah manah, rendah hati, mengajak rakyat bersama-bersama mengatasi musibah ini, dan tak merasa malu untuk mengambil keputusan lockdown.
Ada pula pemimpin yang merasa sudah kenyang pengalaman di level nasional dan memimpin jaringan organisasi besar. Ia merasa mampu menyelesaikan musibah ini dengan caranya sendiri tanpa harus lokcdown. Ia lebih sibuk lockhorn, adu kepala, dengan kepentingan politiknya di Pilpres 2024.
Ah, politik lockdown vs lockhorn. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.