PWMU.CO – Pada suatu malam, Abu Nawas merasa perutnya lapar sekali. Maklum sudah waktunya makan malam. Nelangsanya, ia tidak punya uang sepeserpun, kecuali uang recehan yang tidak cukup untuk membeli makan malamnya. Tanpa berpikir panjang, ia keluar rumah. Setelah berjalan beberapa langkah, ia menjumpai seorang penjual sate yang sedang membakar sate. Abu Nawas mendekatinya dan duduk di dekatnya.
Anehnya, ia tidak pesan atau membeli sate. Ia hanya duduk sambil memejamkan matanya. Rupanya, ia sedang menikmati sate dengan menghirup aroma sate yang maknyusss itu. Setelah beberapa menit dirasa cukup, ia pun berdiri dan berucap, “Alhamdulillah, nikmat. Sudah kenyang. Mau pulang.” Berdirilah dan melangkah kabur.
Tiba-tiba si penjual sate itu memanggil Abu Nawas, “Hai Abu Nawas, enak saja kamu lari setelah kenyang. Ayo bayar sate saya yang telah mengenyangkan perut kamu tadi.” Abu Nawas tidak terima, “Aku ndak makan sate. Aku hanya menghirup asap aroma bakarannya.”
(Baca: Meraih Kemabruran Haji dan Filosofi Sujud)
Si penjual sate tetap ngotot mewajibkan Abu Nawas membayarnya. Maka, Abu Nawas pun ingat kalau ada uang recehan di sakunya. Maka dibunyikan krincingan uang recehan itu sambil didekatkan ke telinga di penjual sate. “Kamu dengar krincingan uang tadi?”, tanya Abu Nawas. “Ya”, kata si penjual sate. “Nah, itulah bayarannya untuk aroma satemu itu”, pungkas Abu Nawas.
Kisah ini memang lucu, tetapi memiliki hikmah yang bermakna. Salah satu makna yang dapat diambil adalah bahwa orang menjalankan hidup itu harus total. Tidak hanya satu sisi dengan mengabaikan sisi-sisi yang lainnya. Totalitas inilah yang mengantarkan seseorang bisa merasakan hidup ini secara utuh.
(Baca juga: Kopi Hitam dan Nilai Kebajikan Madura dan Masa dan Manusia)
Tidak hanya sisi kenikmatan dan kebaikan dunia saja, melainkan kenikmatan akhirat yang lebih langgeng pun penting, bahkan teramat penting. Akhirat adalah kehidupan yang sesungguhnya. Aroma sate hanyalah salah satu jalan untuk menikmati sate –meski tidak mengenyangkan. Tetapi, sate atau daging itu sendiri adalah fisik nikmat yang sesungguhnya, tidak fatamorgana atau hanya sekedar baunya saja, serta mengenyangkan.
Kedua, menjalankan aktifitas hidup dan, apalagi, ibadah jangan sampai hanya pada sisi simbolisnya saja. Ia mesti dijalankan dan dirasakan hingga “tembus” pada sisi substansinya. Orang wajib menjalankan ibadah shalat dengan seluruh gerakan dan bacaannya. Tetapi, jangan sampai seseorang berhenti pada keabsahan fikihnya saja, yaitu gerakan dan bacaan. Dan yang mesti diraih adalah bagaimana shalat itu menjiwai seseorang dan bisa mencegah dari perbuatan keji dan munkar, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Ankabut: 45.
(Baca juga: Inilah Peperangan Sepanjang Zaman yang Dihadapi Umat Islam dan Sepasang Kuli Bangunan Umrah Bersama)
Puasa lebih dari sekedar menahan dari makan, minum dan hubungan jasmaniah suami-istri. Puasa mendidik manusia untuk tidak menyakiti, menggunjing kejelekan saudaranya, berkata kotor dan agar lebih peduli sesama manusia.
Begitu juga dengan haji yang memerlukan biaya dan perjalanan panjang dari Indonesia. Haji lebih dari sekedar melaksanakan miqat, ihram, thawaf, sa’i dan seterusnya, melainkan bisa melahirkan kebaikan-kebaikan (mabrur berasal dari kata al-birr), seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 177 dan QS. Ali Imran: 92.
Hampir setiap ibadah ritual itu dimaksudkan untuk mengantarkan manusia pada dua hal, pertama, untuk memenuhi kerinduan manusia kepada Allah sebagai Tuhannya atau yang dalam QS Ali Imran: 112 disebut hablun minallah (tali hubungan dengan Allah). Kedua, untuk memperbaiki akhlak manusia saat beriteraksi sesamanya atau yang disebut hablun minannas (tali hubungan sesama manusia).
Kolom Opini ini ditulis oleh Bahrus Surur-Iyunk, Kepala SMA Muhammadiyah 1 Sumenep