PWMU.CO-Fatwa Tarjih hukum shalat fardhu kondisi wabah Covid 19 seperti sekarang yang mengharuskan at-tabāʻud al-ijtimāʻī atau social distancing, maka hukum shalat lima waktu dilaksanakan di rumah masing-masing.
Hukum shalat fardhu tidak perlu dilaksanakan di masjid, mushala, dan sejenisnya yang melibatkan konsentrasi banyak orang. Tujuannya agar terhindar dari mudarat penularan Covid 19.
Fatwa Tarjih hukum shalat fardhu ini termuat dalam Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid 19 yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan disiarkan Kamis (26/3/2020).
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi saw
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari Ibn ‘Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan (HR Mālik dan Aḥmad, dan ini lafal Aḥmad).
Nabi saw juga menegaskan, orang boleh tidak mendatangi salat jamaah, meskipun sangat dianjurkan, apabila ada uzur berupa keadaan menakutkan dan adanya penyakit:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنَ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ ” . قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ ” لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلاَةُ الَّتِي صَلَّى. قَالَ أَبُو دَاوُدَ رَوَى عَنْ مَغْرَاءٍ أَبُو إِسْحَاقَ
Dari Ibn Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mendengar azan, lalu tidak ada uzur baginya untuk menghadiri jamaah –para Sahabat bertanya: Apa uzurnya? Beliau menjawab: keadaan takut dan penyakit– maka tidak diterima salat yang dilakukannya (HR Abū Dāwūd).
Shalat Dikerjakan sesuai Kesanggupan
Selain itu agama dijalankan dengan mudah dan sederhana, tidak boleh secara memberat-beratkan sesuai dengan tuntunan Nabi saw
عليكم هديا قاصدا، ثلاث مرات، فإنه من يشاد الدين يغلبه
Dari Abū Barzah al-Aslamī (diriwayatkan bahwa) ia berkata: …. Rasulullah saw bersabda: Hendaklah kamu menjalankan takarub kepada Allah secara sederhana– beliau mengulanginya tiga kali–karena barangsiapa mempersulit agama, ia akan dipersulitnya. (HR Aḥmad).
Nabi saw juga menuntunkan bahwa perintah agama dijalankan sesuai kesanggupan masing-masing,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ سُؤَالُهُمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ، فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ، فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Dari Abū Hurairah, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: … maka apabila aku melarang kamu dari sesuatu, tinggalkanlah, dan apabila aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakan sesuai kemampuanmu. (HR al-Bukhārī dan Muslim).
Shalat bagi yang Bertugas
Adapun orang yang karena profesinya dituntut untuk berada di luar rumah, maka pelaksanaan shalatnya tetap memperhatikan jarak aman dan kebersihan sesuai dengan protokol kesehatan.
Hal ini karena shalat wajib dilaksanakan dalam setiap keadaan. Juga harus menghindari sumber-sumber kemudaratan. Hal ini sesuai dengan nas-nas berikut
Sabda Nabi saw
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ وصححه الألباني في صحيح أبي داود
Dari ‘Ubādah Ibn aṣ-Ṣāmit (diriwayatkan bahwa) ia berkata: … Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: lima salat diwajibkan oleh Allah atas hamba-Nya. Barangsiapa melakukannya tanpa melalaikan sedikit pun karena menganggap enteng, maka dia mendapat janji dari Allah untuk dimasukkan ke dalam surga, dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka ia tidak mendapat janji dari Allah. Jika Allah menghendaki untuk mengazabnya, Dia akan melakukannya, dan jika Dia menghendaki untuk memasukkannya ke dalam surga, Dia melakukannya (HR Abū Dāwūd, al-Nasā’ī, dan Aḥmad).
Sabda Nabi saw
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلاةِ ، فَقَالَ: صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ روى البخاري
Dari ‘Imrān Ibn Ḥuṣain ra (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi saw tentang cara salatnya. Beliau saw lalu menjawab: Salatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah. (HR al-Bukhārī).
Tenaga Medis Boleh Shalat Jamak
Apabila keadaan amat menuntut karena tugasnya yang mengharuskan bekerja terus menerus memberikan layanan medis yang sangat mendesak, petugas kesehatan dapat menjamak salatnya (tetapi tidak mengqasar apabila tidak musafir), sesuai dengan hadis Nabi saw.
عن ابن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عنه، قال: ((جمَعَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بين الظُّهرِ والعَصرِ والمغربِ والعِشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مَطرٍ. فقيل لابن عَبَّاسٍ: ما أرادَ إلى ذلك؟ قال: أرادَ أنْ لا يُحرِجَ أُمَّتَه))
Dari Ibn Abbās (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw pernah menjamak shalat Duhur dan Asar dan shalat Magrib dan Isya di Madinah tanpa keadaan takut dan tanpa hujan. Dalam hadits Wakīʻ dikatakatan: Aku (Saʻīd ibn Jubair) bertanya kepada Ibn Abbās mengapa Rasulullah saw melakukan demikian? Ibn Abbās menjawab: Agar tidak menyulitkan umatnya. (HR Muslim).
Dalam hadits ini diterangkan bahwa Rasulullah saw pernah menjamak shalat di Madinah (artinya tanpa safar), tanpa takut, dan tanpa hujan. Dalam mensyarah hadis ini Imam an-Nawawī (w.676/1277) menjelaskan berbagai tafsir tentang maksud hadits ini, di antaranya beliau mengatakan
Sejumlah imam berpendapat bolehnya menjamak shalat di tempat (tidak dalam safar) karena adanya keperluan. Untuk itu asal tidak dijadikan kebiasaan.
Ini adalah pendapat Ibn Sīrīn dan Asyhab dari pengikut Mālik. Al-Khaṭṭābī meriwayatkan pendapat ini dari al-Qaffāl asy-Syāsyī al-Kabīr pengikut asy- Syāfiʻī dari Isḥāq al-Marważī bahwa ini adalah pendapat sejumlah ahli hadis.
Pendapat ini juga dianut oleh Ibn al-Munżir dan didukung oleh zahir pernyataan Ibn Abbās bahwa Rasulullah saw ingin untuk tidak menyulitkan umatnya (An-Nawawī, Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim, V: 305).
Tetap Adzan dengan Pengubahan Shallu fi Rihalikum
Adzan sebagai penanda masuknya waktu shalat tetap dikumandangkan pada setiap awal waktu shalat wajib dengan mengganti kalimat Hayya alaṣh-ṣhalah” dengan Shallū fī riḥālikum atau lainnya sesuai dengan tuntunan syariat.
Hal ini sesuai dengan hadits-hadits Nabi saw sebagai berikut
أذَّن ابنُ عمرَ في ليلةٍ باردةٍ بضجنانَ، ثم قال: صلُّوا في رحالِكم، فأخبَرَنا: أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يأمُرُ مؤذِّنًا يؤذِّن، ثم يقول على إثرِه: ألَا صلُّوا في الرِّحالِ. في الليلةِ الباردةِ، أو المطيرةِ في السَّفرِ
Dari Nāfi’ (ia meriwayatkan): Ibn Umar pernah mengumandangkan adzan di malam yang dingin di Dajnan, lalu ia mengumandangkan: ṣhallū fī riḥālikum (shalatlah di kendaraan kalian). Ia mengabarkan kepada kami bahwa Rasulullah saw pernah menyuruh muadzin mengumandangkan adzan lalu di akhir adzan disebutkan: Shalatlah di kendaraan kalian. Ini terjadi pada malam yang dingin atau pada saat hujan ketika safar. (HR al-Bukhārī).
Hadits Adzan Berubah Lafal Lainnya
عن عبدالله بن عباس -رضي الله عنه- «أنَّهُ قالَ لِمُؤَذِّنِهِ في يَومٍ مَطِيرٍ: إذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسولُ اللهِ، فلا تَقُلْ: حَيَّ علَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا في بُيُوتِكُمْ، قالَ: فَكَأنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ. فَقالَ: أَتَعْجَبُونَ مِن ذَا، قدْ فَعَلَ ذَا مَن هو خَيْرٌ مِنِّي، إنَّ الجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وإنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا في الطِّينِ والدَّحْضِ. [صحيح مسلم]
Dari Abdullāh Ibn Abbās (diriwayatkan) bahwa ia mengatakan kepada muadzinnya di suatu hari yang penuh hujan: Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an lā ilāha illallāh (aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah), asyhadu anna muḥammadan rasūlullāh (aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah), maka jangan ucapkan ḥayya ‘alaṣh-ṣhalāh (kemarilah untuk shalat), namun ucapkan ṣhallū fī buyūtikum (shalatlah kalian di rumah masing-masing). Rawi melanjutkan: Seolah-olah orang-orang pada waktu itu mengingkari hal tersebut. Lalu Ibn Abbās mengakatan: Apakah kalian merasa aneh dengan ini? Sesungguhnya hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (maksudnya Rasulullah saw). Sesungguhnya shalat Jumat itu adalah hal yang wajib, namun aku tidak suka memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan becek dan jalan licin. (HR Muslim)
Fatwa Tarjih hukum shalat fardhu kondisi wabah Covid 19 diharapkan menjadi pegangan warga Muhammadiyah dan kaum muslim. (*)
Editor Sugeng Purwanto