Mengenang Ustadz Yun Ulama Moderat Kanan ditulis oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta).
PWMU.CO – Prof Dr Yunahar Ilyas—-Ketua PP Muhammadiyah dan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat—telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya pada 20 Januari 2020.
Muhammadiyah tentu sangat kehilangan atas meninggalnya Ustadz Yun—sapaan akrabnya. Saya juga merasa sangat kehilangan. Pertama, Ustadz Yun termasuk ulama yang alim, ilmu agamanya tak diragukan lagi.
Kedua, termasuk ulama yang mempunyai integritas moral. Ulama yang tak suka menghamba kepada penguasa dan kekuasaan. Konteks saat ini, ulama model Ustadz Yun termasuk ‘makhluk langka’ yang nyaris musnah.
Relasi saya dengan Ustaz Yun secara fisik terbilang tidak dekat. Sepertinya jaraklah yang memisahkan relasi fisik saya menjadi terbatas.
Ustadz Yun tinggal di Yogyakarta dan saya tentu lebih banyak beraktivitas di Jakarta. Sesekali bertemu kalau bertepatan ada kegiatan Muhammadiyah di Jakarta atau Yogyakarta.
Kedekatan saya lebih banyak bersifat emosional, di mana saya dan Ustadz Yun sama-sama alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Selebihnya saya mengenal Ustaz Yun dari banyak tulisannya.
Ustaz Yun adalah representasi ulama mainstream yang moderat (tawasuth). Meski repesentasi ulama moderat, dalam tulisan ini saya lebih suka menyebut moderat-kanan. Untuk menyebut positioning yang moderat, tapi condong kekanan-kananan, konservatif atau radikal.
Sebutan moderat-kanan karena sejatinya sulit menemukan pemikiran siapapun yang benar-benar berada pada posisi moderat. Sama sulitnya juga menemukan penganut ideologi ekstrem seperti kapitalisme atau komunisme yang benar-benar kapitalis atau komunis.
Kebanyakan ulama juga diposisikan sebagai moderat. Ada yang cenderung mengambil posisi moderat-kiri, untuk menyebut mereka yang mengambil posisi moderat, tapi cenderung bergerak ke arah kekiri-kirian, liberal atau sekular.
Dua positioning moderat, baik moderat-kanan maupun moderat-kiri hadir dan hinggap di kebanyakan ulama atau pemikir yang berinduk pada organisasi keislaman, termasuk Muhammadiyah. Dua kecenderungan ini terepresentasikan oleh empat tokoh Muhammadiyah: Syafii Maarif, Haedar Nashir, Din Syamsuddin, dan Yunahar Ilyas.
Apresiatif terhadap Perda Syariat
Dalam konteks moderat-kanan dan moderat-kiri, dua nama yang disebut pertama merepresentasikan moderat-kiri dan dua nama terakhir merepresentasikan moderat-kanan.
Meski untuk Din Syamsuddin dan Haedar Nashir sebenarnya bisa juga disebut sebagai moderat-eklektif, sebutan untuk kaum moderat yang senantiasa mencoba untuk memilih yang terbaik dalam konteks tindakan maupun pemikirannya, sehingga terkadang bergerak ke arah moderat-kanan namun ada kalanya bergerak ke arah moderat-kiri.
Bergerak ke kiri maupun kanannya kedua tokoh ini tak lebih sebagai upaya untuk bereklektif, memilih positioning yang terbaik dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi (wasathiyah) Islam.
Kembali ke soal moderat-kanan dan moderat-kiri. Perbedaan dua kutub pemikiran dari keempat tokoh papan atas Muhammadiyah terlihat dalam menyikapi relasi Islam dengan politik atau negara. Termasuk dalam menyikapi penerapan Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa agama atau terkenal dengan sebuatan Perda Syariat.
Saat menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam berbagai kesempatan, Syafii Maarif menyatakan ketaksetujuannya kepada mereka yang hendak menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
Syafii menyebut mereka yang hendak menggantungkan penerapan Syariat Islam ke pundak negara mencerminkan ketakberdayaannya.
Dalam pandangan Syafii Maarif, dengan formalisasi Syariat Islam melalui negara yang begitu parsial justru akan melemahkan posisi Islam sebagai agama rahmatan li al-âlamîna.
Pada kesempatan lain Syafii Maarif mengatakan bahwa “Perda Syariat sebetulnya tak perlu, karena telah ada KUHP. Yang penting pelaksanaannya sesuai undang-undang yang ada. Jangan hanya aturannya saja yang ada, namun tidak dilaksanakan.”
Begitu juga Haedar Nashir. Saat masih menjabat sebagai salah satu Ketua PP Muhammadiyah, secara terpisah dia menegaskan kembali penolakannya terhadap negara Islam.
Munculnya desakan atas kembalinya Piagam Jakarta dan penegakan Syariat Islam menunjukkan Indonesia tengah mengalami persoalan mendasar kenegaraan.
Haedar Nashir juga mengungkapkan bahwa ada banyak kebijakan yang tertuang dalam bentuk perda-perda Syariat yang mengandung unsur-unsur diskriminatif bahkan mendorong terciptanya kekerasan di wilayah publik.
Berbeda dengan Syafii Maarif dan Haedar Nashir, Ustadz Yun justru cenderung menyikapi positif lahirnya Perda Syariat. Tergambar saat Ustaz Yun ‘protes’ atas Rekomendasi Komnas HAM Johny Nelson Simajuntak yang meminta Kemendagri untuk meninjau Perda Syariat yang diterapkan di sejumlah daerah.
Ustadz Yun menilai pernyataan Johny yang menyebut Perda Syariat, termasuk pelarangan miras, berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat sangat mengada-ada. Ustadz Yun berpendapat bahwa pernyataan tersebut tak pantas keluar dari seorang Komisioner Komnas HAM.
Din Syamsuddin senada dengan Ustadz Yun. Din mencoba bersikap hati-hati dalam menyikapi maraknya tuntutan penerapan Perda Syariat. Kehati-hatiannya tergambar dari sikapnya yang enggan mengomentari urgensi munculnya Perda Syariat.
Din Syamsuddin menyatakan: “Kami belum membahas soal itu. Saat ini ada tarikan ke kiri dan ke kanan yang begitu rupa.” Pernyataan ini merupakan respon Din Syamsuddin dalam menyikapi maraknya tuntutan penerapan Perda Syariat di banyak daerah.
Menolak Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme
Sikap Ustadz Yun yang moderat-kanan juga tergambar dari penolakan terhadap sekularisme, pluralism, dan liberalisme. Bahkan Ustadz Yun bisa dibilang sebagai tokoh Muhammadiyah yang istikamah menentang ketiga isme asal Barat tersebut.
Dalam beberapa kesempatan, Ustadz Yun kerap menegaskan penolaknnya akan ketiga isu tersebut. Menariknya, Ustadz Yun menyampaikan ketaksepakatannya dengan cara santun dan rasional, sehingga tak terlihat sebagai sosok penolak ketiga ideologi tersebut.
Meski paham tersebut belum banyak berpengaruh di Muhamamdiyah, namun warga Muhammadiyah tak boleh meremehkannya.
Ustadz Yun menegaskan bahwa faktanya paham tersebut banyak pengikutnya. Jangan bilang paham itu tak mungkin masuk di Muhammadiyah karena jauh dengan keyakinan Muhammadiyah.
Gejala pemikiran itu ada, tapi belum menjadi mainstream di Persyarikatan. Majelis Tabligh sudah memberi penjelasan-penjelasan terhadap kekeliruan ketiga paham tersebut.
Menteri Agama Bukan Ulil Amri
Mengenang Ustadz Yun Ulama Moderat Kanan juga bisa dibaca dari dari pandangannya tentang ulî al-amr (an-Nisa: 59). Merujuk pada al-Mâidah: 55, “Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah),” Ustadz Yun menyebut ulî al-amr adalah pemimpin umat yang menggantikan kepemimpinan Rasul.
Menurut Ustadz Yun, ayat di atas menjelaskan tiga hirarki kepemimpinan: Allah, Rasul, dan orang-orang yang beriman. Secara operasional kepemimpinan dilaksanakan oleh Rasulullah, dan sepeninggal beliau dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman.
Sebagai Rasul, Muhammad SAW tak bisa digantikan. Tapi sebagai kepala negara, ulî al-amr, tugasnya dapat digantikan. Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau minimal harus memenuhi empat kriteria di atas: beriman kepada Allah, mendirikan salat, membayarkan zakat, dan seraya tunduk pada Allah.
Dengan memakai definisi Abduh, ulî al-amr mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas.
Ulî al-amr juga mencakup para ulama, baik perorangan atau kelembagaan, seperti lembaga fatwa dan semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing-masing.
Batas kewenangan ulî al-amr menurut sebagian ulama, karena kata al-amr yang berbentuk ma’rifah, maka wewenang pemilik kekuasaan terbatas hanya pada persoalan kemasyarakatan semata, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Untuk persoalan akidah dan keagamaan murni harus dikembalikan kepada nash-nash agama.
Menurut Abduh, perbedaan pendapat sangat mungkin terjadi dalam memahami nash, tapi bukan dalam mematuhi nash. Dalam masalah hadits tentang tata cara mengetahui awal Ramadhan dan Syawal, persoalannya bukan pada masalah patuh atau tidak patuh pada petunjuk Rasul tersebut, tetapi tentang bagaimana memahami hadits tersebut.
Menurut Muhammadiyah, hadits itu ada ilat-nya, yaitu karena umat pada masa itu belum mempunyai cara lain untuk mengetahui awal bulan kecuali dengan melihat hilal. Kalau gagal melihat hilal karena mendung, maka bulan yang sedang berjalan digenapkan menjadi 30 hari.
Sekarang, ilmu astronomi sudah demikian maju, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui awal bulan. Oleh sebab itu Muhammadiyah yakin tidak melanggar sunnah tatkala menggunakan hisab hakiki untuk menentukan awal bulan.
Sebagian memahami, yang bersifat ta‘abbudi itu puasa Ramadan dimulai 1 Ramadan dan shalat ‘Id al-Fitr tanggal 1 Syawal. Sedangkan bagaimana cara menentukan awal Ramadan dan awal Syawal adalah hal yang bersifat ta‘aqquli dan bersifat teknis.
Jika terjadi beda pendapat dalam memahami nash diselesaikan dengan memakai kaidah-kaidah perbedaan pendapat yang sudah ada dan biasa dalam sejarah pemikiran hukum Islam.
Pemerintah tak dapat mengintervensi dalam hal pemahaman nash, karena bukan wewenangnya. Tapi jika terjadi beda pendapat dalam soal kemasyarakatan yang bersifat ijtihadiyah. Pemerintah dapat memutuskan pendapat mana yang akan diikuti.
Perbedaan pendapat dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal serta pelaksanaan ibadah puasa dan shalat ‘Id, maka penyelesaiannya diserahkan kepada para pemimpin agama. Tetapi urusan libur ‘Id al-Fitr dan hal-hal lain di luar urusan keagamaan murni diputuskan oleh pemerintah.
Lalu siapa yang dapat disebut sebagai ulî al-amr dalam penentuan awal Syawal di Indonesia? Ustadz Yun menjelaskan satu pihak menyatakan bahwa ulî al-amr itu pemerintah. Konteks urusan penetapan awal Syawal ialah Menteri Agama.
Dengan demikian, bila Menteri Agama sudah menetapkan awal Syawal, semua harus mematuhi. Dalam relasinya dengan Muhammadiyah, jika Muhammadiyah mengumumkan berbeda dengan pemerintah, berarti Muhammadiyah dinilai tidak taat dengan ulî al-amr. Berarti juga tidak melaksanakan perintah Allah dalam ayat di atas.
Padahal Muhammadiyah tidak menolak kewajiban patuh dalam ayat di atas. Tetapi yang dipertanyakan, apakah Menteri Agama itu sah disebut ulî al-amr? Untuk urusan keagamaan, apalagi terkait ibadah mahḍah, harusnya diputuskan oleh lembaga yang kompeten dan otoritatif. Sementara Menteri Agama adalah jabatan politik, ditunjuk oleh Presiden berdasarkan pertimbangan politik bukan pertimbangan keulamaan.
Indonesia tidak mempunyai Mufti atau Grand Mufti. Selama ini fatwa-fatwa keagamaan dikeluarkan oleh lembaga-lembaga fatwa yang ada pada ormas-ormas Islam seperti Majlis Tarjih dan Tajdid (Muhammadiyah), Lajnah Bahtsul Masail (Nadhlatul Ulama) atau Komisi Fatwa (Majelis Ulama Indonesia).
Dalam konteks penentuan awal Idul Fitri, dengan tegas dan berani, Ustaz Yun mengatakan bahwa posisi pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama sebagai bukan ulî al-amr.
Soal Kepemimpinan Perempuan
Mengenang Ustadz Yun Ulama Moderat Kanan dengan membaca karya-karya Ustadz Yun terkait dengan perempuan, saya sangat mengapresiasi. Ternyata ulama yang saya kategorikan moderat-kanan ini cara pandangnya terhadap perempuan sangat positif.
Dalam karya-karyanya, ada apresiasi yang luar biasa terkait posisi perempuan. Dalam pandangan Ustadz Yun, Islam tak membatasi peran perempuan, temasuk perannya di sektor publik atau bahkan politik sekalipun.
Untuk memperkuat pandangannya, Ustadz Yun mengutip empat ayat dalam al-Quran, yaitu An-Naml: 20-44 yang menceritakan tentang Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, yang memimpin Kerajaan Saba.
Kemudian al-Qashash: 23, disebutkan kisah Nabi Musa dengan dua orang putri Nabi Syuaib di Madyan, yang tengah menunggu giliran menimba air untuk minuman ternak mereka. Memelihara dan memberi minum ternak termasuk pekerjaan publik dalam rangka mencari nafkah.
Dalam at-Taubah: 71, disebutkan perempuan beriman, tolong menolong, bahu membahu, pimpin memimpin dengan laki-laki beriman dalam rangka amar makruf nahi mungkar.
Tugas dakwah amar makruf nahi mungkar sekalipun dapat dilakukan di rumah, tapi tidak terbatas dalam rumah tangga semata, juga peran publik. Dalam an-Nahl: 97, lebih jelas lagi Allah memberi peluang dan menghargai sama laki-laki dan perempuan untuk melakukan amal shaleh, yang tentu tidak hanya terbatas pada amal yang bersifat domestik, tapi menyangkut juga amal yang bersifat publik.
Demikianlah beberapa ayat al-Quran yang menjelaskan perempuan memiliki peluang melakukan peran publik sama dengan peluang yang diberikan kepada laki-laki. Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik, bahkan dalam masalah kepemimpinan.
Semoga tulisan Mengenang Ustadz Yun Ulama Moderat Kanan ini bermanfaat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.