Kolektivisme Digital di Tengah Isolasi Fisik ditulis oleh Nasrullah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
PWMU.CO – Akibat seruan work from home (WFH) banyak pekerjaan harus dilakukan secara remote. Penggunaan teknologi informasi (internet) menjadi pilihan tak terelakkan. Tak bisa dihindari.
Rapat-rapat kantor, pelajaran sekolah, diskusi-diskusi kelompok, bahkan untuk ngerumpi pun kini menggunakan aplikasi-aplikasi digital. Mulai dari grup percakapan WhatsApp, maupun aplikasi telekonferensi, seperti Zoom, Google Meet, Google Classroom, dan lain sebagainya.
Zoom, misalnya, mencatat kenaikan penggunanya lima kali lipat pada masa pandemi Covid-19 ini.
Tengoklah linimasa media sosial akhir-akhir ini. Marak dipenuhi tampilan-tampilan screenshot aksi bertelekonferensi para pekerja kantoran, mahasiswa, murid sekolah, bahkan pejabat tinggi negara.
Remote job dan remote study kini tak lagi sebagai gaya hidup, untuk gagah-gagahan. Melainkan sudah menjadi kebutuhan. Bukan lagi sebagai want tetapi need. Bukan lagi monopoli kelas menengah ke atas, bahkan di rumah tangga-rumah tangga sederhana pun anak-anaknya mulai terbiasa menjalani sekolah secara online.
Bisa dibilang, masyarakat Indonesia kini sedang naik kelas dalam taraf literasi digital. Bagaimana tidak, salah satu ciri dari literasi digital adalah kompetensi menggunakan media digital secara produktif.
Produsen sekaligus Konsumen
Masyarakat tak melulu sebagai konsumen pesan atau informasi. Alih-alih kini pun menjadi produsen. Istilah kerennya, mereka telah menjadi prosumer, produsen sekaligus konsumen digital. Keren kan?
Dalam kondisi normal, kenaikan literasi ini merupakan capaian yang tidak mudah. Apalagi dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari satu bulan. Tak mungkin kita bisa naik kelas tanpa treatment khusus yang sangat ketat.
Wabah Corona telah memaksa masyarakat mengubah pola hidup jauh lebih cepat. Ada lompatan revolusioner menjadi masyarakat digital secara kolektif. Sekali lagi, secara kolektif, karena bukan perubahan yang dilakukan secara individual, tetapi komunal. Bersama-sama dalam waktu bersamaan.
David Holmes (2012) mengatakan perubahan penemuan dan penggunaan media baru akan memunculkan lingkungan komunikasi baru yang berakibat pada perubahan masyarakat secara cepat.
Ketika masih akrab dengan dunia broadcast pada first media age, masyarakat adalah khalayak yang relatif pasif. Namun second media age di mana media lebih bersifat interaktif. Maka penggunaan media lebih integratif yang artinya dalam suatu media terdapat berbagai platform dan bersifat saling terhubung.
Itulah yang kita butuhkan saat ini; kesaling-terhubungan. Di saat kita harus mengisolasi diri dan keluarga untuk tetap tinggal di rumah selama wabah virus ini belum dapat dikendalikan penularannya. Di sisi lain kita harus tetap produktif, tetap bekerja, dan anak-anak kita tetap sekolah.
Ironi di Tengah Perlunya Kohesivitas
Petaka Covid-19 ini telah memunculkan sebuah ironi. Di saat wabah ini memerlukan penanganan bersama, menuntut kohesivitas sosial ekstra tinggi, di sisi lain kita harus tunduk pada anjuran social distancing maupun physical distancing, menghindari kontak fisik. Bila perlu, kita harus bersikap individual. Mengisolasi diri, menjauhi orang lain.
Konsekuensi mobilitas fisik yang dibatasi ternyata linear dengan merajalelanya mobilitas virtual. Hal ini dikarenakan keterbatasan ruang gerak di dalam rumah telah digantikan oleh ruang maya yang jauh lebih luas melalui koneksi internet.
Apalagi beberapa provider membagikan data secara murah bahkan gratis. Aplikasi-aplikasi baru bermunculan. Banjir informasi tak terbendung. Benarlah kata Marshal McLuhan (1964), media telah menjadi the extension of man alias perpanjangan indera manusia. Berkat media, manusia bisa menjangkau wilayah jauh melampaui kemampuan fisiknya.
Kolektivistik Berubah Individualistik?
Lalu akankah social distancing atau physical distancing akan berimplikasi kepada karakter budaya kita yang kolektivistik menjadi individualistik?
Jika merujuk kasus-kasus terbaru memang faktanya sangat miris. Ada jenazah yang ditolak masyarakat untuk dimakamkan di komplek pemakaman umum. Ada perawat yang diusir dari tempat kos gara-gara dia menjadi salah satu tenaga medis Covid-19.
Banyak pula sikap-sikap tak terpuji memborong sembako di gerai-gerai super dan mini market. Penimbunan masker dan hand sanitizer oleh sebagian orang untuk dijadikan bisnis baru yang cepat menguntungkan. Semua mencerminkan sikap asocial, yang tidak dikenal dalam karakter budaya kolektivisme.
Dalam model kategorisasi budaya Harry C Triandis (2001), karakter kolektivisme lebih merujuk kepada pendirian moral, filsafat politik, ideologi, dan pandangan menjunjung kelompok dan kepentingannya.
Masyarakat yang kolektivistik mengagungkan nilai-nilai kelompok, sehingga bermanifes menjadi rasa sungkan, atau sebaliknya menjadi energi untuk lebih percaya diri bagian dari sebuah kelompok. Penganut budaya ini mengikuti standar moral yang berlaku secara umum di masyarakat komunitasnya.
Oposisi biner kolektivisme tentu saja adalah individualisme. Berbeda dengan kolektivisme, individualisme bersentral kepada individu sebagai mahluk merdeka dan cenderung mengabaikan bertanggung jawab kepada orang lain.
Individualisme juga berfokus pada capaian dan keinginan personal. Karakter individualisme lebih gampang beradaptasi dengan kelompok lain karena tidak perlu rasa sungkan. Sesorang hanya membawa identitas dirinya tanpa beban nilai-nilai kelompok.
Kasus Mengurus Jenazah
Mengurus jenazah sebagaimana syariatnya adalah fardlu khifayah, selama ada yang mengurus maka kewajiban orang lain menjadi gugur. Tetapi pada masyarakat kolektivisme, tidaklah cukup dengan menyerahkan jenazah kepada pihak tertentu, misalnya pihak rumah sakit.
Keterlibatan keluarga, sanak famili, tetangga, merupakan suatu bentuk empati. Maka jika keterlibatan mereka dibatasi, itu sudah seperti melukai kolektivisme.
Sebaliknya, pada masyarakat individualistik, lebih simpel. Tak perlu repot ikut memandikan, mengkafani, bahkan turun ke liang lahat untuk mengubur janazah. Bagi meraka, itu urusan teknis yang dapat dilakukan oleh “profesional”.
Mereka yakin ada yang lebih lihai dan safety mengurus jenazah daripada mereka sendiri. Meski terkesan mengabaikan “rasa”, namun yang demikian itulah yang saat ini harus dialami oleh masyarakat kita yang kehilangan keluarganya sebagai korban Covid-19.
Tak Perlu Diratapi
Nah, pengorbanan budaya kolektivisme ini tak perlu diratapi terlalu melankolis. Toh ini semua demi mengatasi wabah terganas sepanjang sejarah Indonesia modern ini.
Menikmati candaan para netizen dengan meme-meme humornya mungkin bisa sedikit menghibur. Misalnya dengan membuat deklarasi bahwa melawan Covid-19 jauh lebih mudah dibandingkan dengan para pahlawan pendahulu kita.
Dulu para pejuang harus berperang mengangkat senjata, saat ini kita berjuang hanya dengan glimbang-glimbung di rumah. Bisa pula dengan mengambil hikmah bahwa work from home adalah eksperimen sosial untuk lebih dekat dengan keluarga. Juga bagaimana kita berempati kepada beratnya guru-guru mendidikan anak-anak di sekolah karena ternyata menjadi guru di rumah itu bukan hal yang mudah.
Lepas dari itu semua sesungguhnya kita masih tetap bisa produktif, tak sekadar glimbang-glimbung. Kita tetap bisa menjadi masyarakat kolektivistik, yakni melalui kolektivisme digital. Inilah saatnya kita dapat memperkuat ekosistem digital, sesuatu yang sulit kita wujudkan saat kondisi normal.
Melalui media online kita tetap bisa membangun optimisme bersama. Tetap bisa bergotong-royong. Sudah terbukti, betapa banyak individu maupun kelompok yang berhasil menggalang dana lewat aplikasi digital (crowdfunding).
Gara-gara Covid-19 ini betapa banyak masyarakat berbagi ilmu, berbagi informasi, berbagi buku, maupun e-paper secara gratis (crowdsourcing).
Tiba-tiba muncul kelompok-kelompok baru hasil dari sebuah seminar online (webinar) yang melakukan joint-project yang produktif, seperti menerbitkan buku, membangun prototype dari sebuah riset bersama, atau melakukan pembinaan masyarakat melalui kampanye digital.
Tak sedikit pula yang dipaksa untuk belajar dan memulai usaha online dengan instruktur-instruktur yang bersedia menjadi inkubator bisnis.
Tidaklah Allah menciptakan sesuatu itu sia-sia. Selalu ada hikmah di balik sebuah musibah. Termasuk lahirnya kolektivisme digital di tengah isolasi fisik . (*)
Kolektivisme Digital di Tengah Isolasi Fisik ditulis oleh Nasrullah. Cendikiawan Muda Muhammadiyah (CMM). Sedang menempuh studi Doktoral Bidang New Media di Universiti Pendidikan Sultan Idris, Malaysia.
Editor Mohammad Nurfatoni.