Topeng Cegah Corona dan Gagalnya Dakwah TBC ditulis oleh Aji Damanuri, Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo. Juga Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung.
PWMU.CO – Beberapa hari ini masyarakat Tulungagung dihebohkan dengan fenomena pemasangan bongkok—pangkal dahan daun pohon kelapa—yang dilukis gambar topeng yang disebut “Topeng Tetek Melek”.
Pemasangan Tetek Melek pada tiang teras rumah warga ini dipercaya dapat menangkal Virus Corona penyebab wabah Covid-19.
Perilaku primitif ini tidak hanya menjangkiti rakyat jelata. Bahkan sudah menjalar pada para pamong praja—punggawa pemda yang mestinya diisi kaum intelek aristokrat.
Simplifikasi penyelesaian wabah Covid-19 yang kompleks dan menggegerkan dunia itu hanya dengan pemasangan sebuah benda yang tidak berharga menjadi pertanyaan besar. Di mana akal sehat?
Menyikapi Perilaku Primitif
Sebenarnya, dua abad yang lalu, seorang sosiolog bernama August Comte telah menerangkan tentang fase perkembangan pengetahuan manusia.
Pertama, fase teologis (fiktif). Pada fase ini jiwa atau semangat manusia mencari penyebab dari timbulnya fenomena-fenomena. Baik dengan cara menghubungkannya dengan benda-benda (fetishisme atau memuja benda seperti jimat), menganggap adanya makhluk gaib (politeis). atau dengan satu tuhan saja (monoteisme).
Kedua, tahap metafisik (abstrak) yaitu kekuatan yang adikodrati diganti dengan ketentuan abstrak. Manusia memahami gejala-gejala alam namun belum mendapatkan penjelasan ilmiah.
Ketiga, fase positif. Yakni tahap di mana kepastian-kepastian itu didasarkan atas ilmu dan hukum-hukum positif yang diangkat dari sains. Setiap fase mencerminkan bagaimana mereka menyelesaikan problem kehidupannya.
Mengikuti August Comte, secara dinamis mestinya kini kita berasa pada fase positivisme. Di mana penyelesaian problem didasarkan pada pengetahuan ilmiah. Dalam hal ini wabah Covid-19 berada pada rumpun ilmu kedokteran atau medis.
Faktanya masyarakat modern masih mempercayai hal-hal irrasional dalam menyelesaikan problem kehidupan. Hidup di abad 21 dengan pendidikan tinggi dan harusnya jadi panutan masyarakat, namun berpola pikir zaman pra-sejarah.
Berlawanan dengan Tauhid
Selain primitif, fenomena pemasangan Topeng Tetek Melek secara normatif juga berlawanan dengan prinsip-prinsip tauhid, yang menolak politeisme.
Tauhid Uluhiah menghendaki hanya satu Tuhan yang disembah dan tauhid Rububiyah menyatakan bahwa penguasa dan pengatur alam hanya satu yaitu Allah.
Pemasangan Topeng Tetek Melek dengan motif untuk menolak kemudharatan dengan mengandaikan ada kekuatan lain selain Allah alalah prilaku musyrik yang sangat dibenci oleh Allah.
Lalu apakah vonis kepada pelaku kemusyrikan ini cukup untuk menyelesaikan problem kemusyrikan? Tentu tidak.
Masyarakat dalam situasi ketakutan membutuhkan panutan yang mencerahkan. Dalam hati mereka apapun harus dilakukan agar bisa selamat.
Faktanya mereka adalah umat yang setiap hari juga menjalankan ibadah mahdhah, bersujud kepada Allah SWT. Perilaku sinkretisme ini sekaligus menunjukkan bahwa usaha pemberantasan TBC (tahayul, bid’ah, [c]khurafat) belumlah berhasil. Sebab, “Topeng Tetek Melek” juga menghiasi tiang teras rumah warga Muhammadiyah.
Gerakan Pencerahan TBC
Karenanya perlu tajdid dalam dakwah akidah ini. Konsep pemberantasan TBC tidak cukup dengan pendekatan dokriner yang cenderung memvonis.
Tajdid gerakan pencerahan TBC mestilah diiringi dengan pendekatan sosiologi, antropologi, dan ekonomi.
Fenomena ini menjadi pekerjaan besar bagaimana mengubah pola pikir manusia abad 21 dengan berbagai problem kehidupan harus diselesaikan dengan pendekatan positif saintifik.
Bagaimana menggabungkan antar keyakinan dan fakta ilmiah, yang dalam bahasa agama antara ikhtiar dan tawakal bisa seiring sejalan.
Ikhtiar dilakukan dengan nalar ilmiah berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara tawakal didasarkan pada syariat yang sahih, dengan ketaatan, dzikir, mujahadah, doa dan tentu saja sedekah.
Sayangnya prilaku primitif warga ini hanya berhenti pada gunjingan dan vonis kemusyrikan belaka, yang membelah masyarakat pada posisi pro dan kontra.
Situasi ini akan berbahaya jika sikap pro dan kontra berubah menjadi percekcokan warga masyarakat. Mestinya norma-norma dan ritual agama yang benar dikampanyekan supaya menjadi nalar publik yang aplikatif, sehingga masyarakat tidak terjebak pada sikap animisme dan dinamisme.
Para tokoh agama mestinya tidak membiarkan fenomena ini terus menjalar dan menguasai akal publik. Meskipun mereka melakukan tindakan irrasional, sejatinya bukan musuh yang harus persekusi. Namun orang tersesat yang harus ditunjukkan jalan kembali, jalan yang lurus, shirat al mustaqim.
Topeng cegah Corona dan gagalnya dakwah TBC. Wallahu’alam bishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.