Di Hatiku Ada Kamu adalah kolom menarik. Isinya penuh kejutan. Bikin haru. Ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Di hatiku ada kamu adalah ungkapan cinta yang mendalam. Dan itu pesan penting dari agama. Beragama tanpa memberikan cinta hanyalah omong kosong.
Itulah yang diajarkan dan dicontohkan Rasulullah. “Di Hatiku Ada Kamu” saya jadikan judul buku saya ke 17. Semula akan diluncurkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Prof Haedar Nashir bersamaan acara Kajian Ramadhan di UMM. Namun karena acara itu dibatakan karena wabah Covid-19, maka peluncuran buku juga batal.
Izinkan saya menukil dengan ringkas tiga artikel dari 29 artikel yang ada di buku itu. yaitu, Tangisan Rasulullah, Tidak Semua Laki-Laki, dan Jangan seperti Penjual Besi Tua.
Tangisan Rasulullah
Ibnu Masud bercerita: “Suatu hari Rasulullah bersabda kepadaku: ‘Bacakanlah al-Quran untukku.’ kata beliau. ‘Bagaimana aku membacakan al-Quran untukmu baginda, sementara al-Quran sendiri diturunkan untuk baginda,’ kataku. Beliau mengatakan: ‘Aku ingin mendengarkan bacaan al-Quran dari orang lain.’
Kemudian aku baca surat an-Nisa. Ketika sampai pada ayat: “Maka bagaimana bila kami mendatangkan kepada setiap umat seorang saksi dan engkau dijadikan saksi untuk umat ini? (an-Nisa: 41).
Beliau berkata: ‘Cukup, cukup, cukup sampai di sini.’ Aku menoleh ke beliau. Ternyata kedua matanya bercucuran air mata.” (HR Bukhari, Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Cinta Rasul pada Umatnya
Mengapa Rasulullah menangis dan meminta Ibnu Masud yang besuara merdu itu behenti membaca? Ada apa dengan Surat an-Nisa ayat 41 itu?
Tentu beliau paham betul pesan ayat itu. Nanti harus menjadi saksi atas umatnya di akhirat. Nanti Rasulullah akan menyaksikan umatnya yang baik dan juga umatnya yang tidak baik. Yang patuh dan yang pembangkang.
Rasulullah menangis menyaksikan nanti penderitaan umatnya yang musyrik, kafir, munafik, dan yang datang menghadap Tuhan dengan berlumuran dosa. Rasulullah tak sampai hati melihat umatnya mengalami penderitaan. Beliau menangis.
Tidak ada orang memiliki cinta kepada sesama melebihi Rasulullah. Tidak ada hati agung melebihi hati Rasulullah. Tidak ada orang punya kepedulian melebihi Rasulullah. Hatinya mudah tersentuh dan terharu. Air matanya mudah keluar atas penderitan orang lain. Hati beliau penuh luapan cinta. Sehingga tidak tersisa ruang sedikit pun untuk dendam dan kebencian.
Cinta yang agung dan kepedulian Rasulullah yang luar biasa itu dinyatakan secara jelas dalam al-Quran: “Telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keselamatan) bagimu, sangat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Rasulullah juga menegaskan bahwa kita belum benar-benar beriman kalau belum mencintai orang lain seperti mecintai diri sendiri. Ini pesan luar biasa.
Kita selalu ada di hati Rasulullah. Beliau seakan berkata: Di hatiku ada kamu. Sayangnya di hati kita tidak ada Rasulullah. Pesan dan ajarannya kita abaikan. Keteladannya tidak kita pedulikan!
Tidak Semua Laki-Laki
Ini kisah nyata, bukan fiksi atau imajinasi. Tentang kesetiaan seorang suami. Banyak yang kenal dengan dia. Tetapi tidak banyak yang kenal perjalanan hidupnya.
Laki-laki itu sudah bangun pukul 02.00 dini hari. Lalu sibuk di dapur. Menjerang air. Sembari menunggu air mendidih dia membangunkan istri untuk shalat tahajud. Lalu salat Subuh. Selesai salat laki-laki itu bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, ngepel dan hal lain yang berkaitan dengan urusan rumah. Setelah itu dia memandikan istrinya.
Lo, kok memandikan istri? Ya, karena istrinya lumpuh. Tak berdaya melakukan aktivitas untuk diri sendiri. Merawat istri yang lumpuh itu berlangsung bukan sehari atau sepekan atau sebulan.
“Sudah 22 tahun.” kata laki-laki itu. Masa yang panjang. Sekali lagi sudah 22 tahun. Hingga kini. Bahkan sampai kapanpun dia siap merawat istrinya.
Setelah semua urusan rumah beres, baru laki-laki itu pergi ke kampus. Siapa laki-laki itu? Dia adalah Budi Utomo, Rektor Universitas Muhammadiyah Lamongan (Umla) Jawa Timur. Hebatnya dia tampak biasa saja. Wajah tetap segar. Juga tidak pernah kelihatan punya beban berat “Alhamdulillah semua karena pertolongan Allah,” katanya.
Budi Utomo adalah rektor yang menerima pendirian universitasnya langsung dari Presiden Jokowi. Hal ini jarang terjadi. Saat itu Presiden datang sendiri ke kampus Umla.
Meskipun istrinya sakit, kehidupan keluarga Budi tetap sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sekurang-kurangnya bisa dibuktikan dengan pendidikan tiga anaknya. Semua tamat kuliah. Anak tertua seorang dokter.
Sumber Kekuatan Budi Utomo
Dari mana sumber kekuatan Budi Utomo? Selama 22 tahun bisa memiliki kesabaran dan kesetiaan yang luar biasa itu?
Ada empat sumber yang menguatkan dia. Pertama, ajaran agama yang mengajarkan tidak boleh berputus asa.
Kedua, cintanya kepada istrinya. Cinta memang kekuatan luar biasa. Yang tidak mungkin menjadi mungkin. Mengubah takut menjadi berani. Mengubah lemah menjadi kuat.
Ketiga, “Latar belakang pendidikan saya seorang perawat. Dan lama menjadi perawat. Maka bagi perawat merawat orang sakit itu pekerjaan biasa, bukan pekerjaan luar biasa,” kata Budi dengan nada suara datar. Biasa-biasa saja.
Keempat, pesan ayahnya: “Cintai istrimu sepenuh hati!” Pesan itu disampaikan ketika Budi dan istrinya, Suwati, masih segar bugar. “Ayah juga memberi contoh cintanya kepada ibu,” kata dia.
Mengapa Budi tidak menikah lagi? Banyak orang bertanya tentang itu. Banyak juga yang menyuruh. Orang pertama yang menyuruh dia menikah lagi justru istrinya sendiri. Mungkin sang istri merasa tidak bisa mendampingi suaminya secara semestinya.
Namun Budi mengabaikan. Istrinya menyuruh lagi. Budi tetap mengabaikan. Ketika istrinya sudah keempat kali menyuruh menikaah lagi, diasegera mengumpulkanak-anaknya.
Saya yang mendengar cerita itu di ruang rektor mengira Budi akan minta izin kepada anak-anaknya menikah lagi.
Ternyata lain. Di depan anak dan istrinya Budi justru menegaskan dia tidak berfikir sedikit pun menikah lagi. “Bapak akan fokus terus mendampingi ibumu sampai sembuh,” katanya tegas. Saya tertegun. Teguh sekali laki-laki ini.
Banyak ujian hidup dilalui Budi. Misalnya ketika dia akan mengadakan resepsi pernikahan anaknya. Sehari sebelum resepsi istrinya terjatuh di kamar mandi. Patah tulang kakinya. Maka harus opname di rumah sakit. Namun resepsi harus terus berjalan. Meskipun tanpa kehadiran istri. Di pelaminan Budi didampingi seorang wanita. Bukan istrinya.
Maka undangan banyak mengira itu istri Budi yang baru. Orang tidak tahu bahwa wanita itu adalah adik kandung Budi sendiri.
Tidak semua laki-laki punya katabahan, kesabaran dan keteguhan seperti Budi Utomo. Tidak semua laki-laki.
Pedagang Besi Tua
Sudah berapa lama Anda berkeluarga? Sudah 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun atau lebih? Jika kita ingin tetap mesra sampai akhir hayat, maka kuncinya bersikaplah seperti arkeolog, ahli purbakala. Arkeolog memandang sesuatu yang makin tua makin berharga.
Jangan seperti pedagang besi tua. Pedagang ini menilai semakin tua sesuatu semakin rendah harganya. Bahkan sama sekali tidak berharga. Ditumpuk karena cuma barang rongsokan.
Untuk bisa menjadi seperti arkeolog, maka kenanglah peristiwa suka duka berdua dengan penuh kesyukuran. Uban di rambut, kulit yang keriput dan tubuh tidak lagi tegap adalah tanda perjalanan jauh yang telah kita tempuh bersama.
Jika kita melihatnya dengan mata hati dan penuh kesyukuran, maka kita akan seprti arkeolog. Makin tua makin berharga.
Apakah kita seperti arkelog atau seperti pedagang besi tua? Hanya kita sendiri yang tahu jawabnya.
Inilah cuplikan singkat dari buku: Di Hatiku Ada Kamu. Untuk pemesanan buku tersebut bisa menghubungi nomor WhatsApp 0812-3000-6306. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.