Jenazah Covid 19 Mati Syahid ditulis oleh Dr Syamsuddn MA, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Juga Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya. Surabaya.
PWMU.CO – Mengikuti pemberitaan media massa tentang penolakan jenazah korban Covid-19, sangat menarik. Ini merupakan persoalan kemanusiaan universal yang serius.
Jasad Bani Adam yang seharusnya dihargai dan diperlakukan secara manusiawai tiba-tiba ditolak dimakamkan; diperlakukan secara tidak manusiawi.
Sejumlah warga menolak jenazah korban Covid-19 dimakamkan di wilayahnya. Padahal keluarga bersama tim medis sudah melakukan protokol keamanan pemakaman dengan begitu ketat. Ini adalah tamparan keras bagi kemanusiaan.
Kasus Jenazah Covid-19 Ditolak
Sejumlah media elektronik melaporkan satu orang pasien positif Covid-19 asal Kecamatan Ungaran Timur, Kabupaten Semarang meninggal dunia, Kamis, 9 April 2020.
Pasien yang berprofesi sebagai perawat tersebut dilaporkan meninggal dunia dalam perawatan intensif di RSUP dr Kariadi, Semarang. Pemakaman jenazahnya mendapatkan penolakan dari sekelompok warga.
Pasien tersebut sedianya akan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) atas permintaan pihak keluarga. Namun, proses pemakaman tersebut harus dialihkan karena ada penolakan dari sekelompok warga setempat, sebelum jenazah tiba di lokasi TPU Siwarak.
Sebelumnya, berdasarkan koordinasi dengan pemangku wilayah dan keluarga, situasi masih normal cukup kondusif. Namun, tiba- tiba saja muncul penolakan oleh sekelompok warga. Jenazah akhirnya dimakamkan di tempat pemakaman keluarga rumah sakit, yang terletak di belakang RSUP dr Kariadi.
Juga diberitakan adanya kejadian yang memilukan di Kabupaten Karawang, Banyumas, dan daerah-daerah yang lainnya. Sejumlah warga berkerumun menolak ambulans yang berisi jenazah positif Covid-19 yang aka dimakamkan.
Yang terbaru terjadi di Pasuruan. Diberitakan bahwa pada tanggal 23 Maret 2020, pasien yang ber-KTP Jakarta datang ke Pasuruan, tempat tinggal istrinya. Tanggal 2 April 2020 mengeluh gejala panas, flu, lalu dirawat di RSUD Bangil.
Kemudian yang bersangkutan meninggal dunia pada Jumat (10/4/2020) pukul 12.30 WIB. Saat pemakaman di TPU Gadungrejo, sempat terjadi suasana gaduh, karena ulah sekelompok masyarakat yang menolak proses pemakamannya.
Memang terasa aneh, Muslim Jawa yang tersohor sebagai masyarakat adiluhung-akhlakul karimah, yang senantiasa mengedepankan musyawarah, kasih sayang, dan tenggang rasa, tiba-tiba saja menjadi sebaliknya. Yaitu kejam dan hilang kasih sayang.
Pemimpin Jadi Contoh
Menurut penulis, paling tidak ada dua hal yang menjadi penyebabnya, yaitu teladan buruk elit masyarakat dan minimnya edukasi.
Pertama, teladan buruk elit masyarakat. Ada pepatah Arab yang terkenal, annas ‘ala dini mulukihim ainama wallau kanu ‘ala syakilatihim, annas atba’ man ghalab, idza taghayyara as-sulthan taghayyara azzaman.
Masyarakat itu mengikuti cara hidup pemimpin mereka. Apabila mereka mereka pergi ke suatu maka masyarakat pun mengikutinya. Masyarakat mengikuti cara hidup para penguasa. Apabila rezim berganti maka bergantilah zamannya.
Utsman bin Affan, pernah mengatakan Allah memberikan sesuatu yang besar kepada para pemimpin melebihi dari yang dimiliki oleh al-Qur’an, yaitu power untuk melakukan perubahan.
Pemimpin adalah panutan yang tangannya ada cambuk pelajaran. Jika pemimpin baik maka rakyat baik. Jika pemimpin buruk maka rakyat buruk. Sebagaimana firman Allah dalam surah Thaha ayat 79, tentang peran Fir’aun dalam menyesatkan rakyatnya. “Dan Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk.” (Thaha: 79).
Hadits Pemimpin sebagai Teladan
Dalam Shahih al-Bukhari, diceritakan Abu Bakar menemui seorang wanita suku Ahmas (Quraisy) yang bernama Zainab, lalu dia melihat bahwa wanita itu tidak mau berbicara.
Abu Bakar bertanya: “Kenapa dia tidak mau berbicara?” Orang-orang menjawab: “Dia nazar berhaji sambil puasa bicara.” Kemudian Abu Bakar menasehati wanita itu: “Berbicaralah, karena perbuatanmu ini tidak halal. Ini termasuk perbuatan jahiliyyah.”
Lalu wanita itu berbicara dan bertanya: “Kamu siapa?” Abu Bakar menjawab: “Hanya seorang laki-laki dari kaum Muhajirin.” Wanita itu bertanya lagi: “Muhajirin yang mana?” Abu Bakar menjelaskan: “Dari suku Quraisy.” Wanita itu kembali bertanya: “Quraisy yang mana kamu?” Abu Bakar menegaskan: “Kamu ini banyak tanya, aku ini Abu Bakar.” Wanita itu berkata: “Apa yang menjamin kami tetap di atas kebaikan anugerah Allah yang didatangkan setelah zaman jahiliyah ini?”
Abu Bakar menjawab: “Yang membuat kalian tetap di atas kebaikan adalah selama pemimpin-pemimpin kalian istikamah.” Wanita itu bertanya: “Siapakah para pemimpin?”
Abu Bakar menjawab: “Bukankah kaummu memiliki tokoh masyarakat yang dihormati, dan pemimpin yang ditaati?” Wanita itu menjawab: “Ya benar.” Abu Bakar berkata: “Mereka semua itulah para pemimpin masyarakat.” (Shahih al-Bukhari: 3547).
Pemimpin yang Hancurkan Islam
Ad-Darimi meriwayatkan kata-kata Umar bin al-Khattab tentang perbuatan yang menghancurkan Islam:
أخبرنا محمد بن عيينة أخبرنا علي هو ابن مسهر عن أبي إسحق عن الشعبي عن زياد بن حدير قال قال لي عمر هل تعرف ما يهدم الإسلام قال قلت لا قال يهدمه زلة العالم وجدال المنافق بالكتاب وحكم الأئمة المضلين
Po
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Uyainah telah mengabarkan kepada kami ‘Ali Ibnu Mushir, dari Abu Ishak dari As Sya’bi dari Ziyad bin Hudair ia berkata: “Umar telah berkata kepadaku: ‘Apakah kamu tahu apa yang bisa menghancurkan Islam itu?’
Perawi berkata: ‘Aku menjawab: Aku tidak tahu’, ia (Umar ra) berkata: ‘Yang dapat menghancurkan Islam adalah tergelincirnya seorang ulama, bantahan munafik yang berdalil al-Qur`an, dan kebijakan para pemimpin yang menyesatkan.“ (Sunan Darimi : 216).
Mujaddid besar Sayyid Rasyid Ridha mengatakan, sudah terjadi dari generasi ke generasi bahwa rakyat bertaklid kepada pemimpin dan tokoh masyarakat di antara mereka. Apapun yang membudaya di kalangan mereka akan membudaya juga di kalangan rakyatnya.
Sebagaimana diketahui, beberapa tahun silam marak penolakan pemakaman jenazah terduga kejahatan terorisme di kampung halamannya. Penolakan tersebut diprovokasi oleh oknum pejabat dan tokoh masyarakat setempat.
Mungkin tujuannya baik, yaitu sebagai shock therapy bagi masyarakat. Namun tidak dipikirkan dampak dari perbuatan tersebut. Yaitu bahwa kejahatan terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, dan menolak jenazah manusia untuk dimakamkan juga kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang terjadi sekarang ini adalah buah dari benih yang telah lama ditanam.
Minimnya Edukasi
Kedua, minimnya edukasi. Struktur pemerintahan sampai pada unit yang terkecil yaitu pemerintahan desa harus dimanfaatkan untuk mengedukasi masyarakat.
Sebagaimana dilansir oleh www.detik.com, juru bicara gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 Karawang, Fitra Hergyana, menjelaskan, tindakan penolakan pemakaman jenazah itu akibat ketidaktahuan masyarakat.
Ia menuturkan, jenazah positif Covid-19 yang telah dikebumikan tidak membahayakan bagi warga di sekitar pemakaman. Jenazah yang telah dikubur tidak akan membuat warga sekitar tertular.
Ikuti Protokol Kesehatan
Virus Corona tidak hidup jika inangnya mati. Inang tersebut dianalogikan sebagai pasien. Apabila pasien Covid-19 sudah meninggal, kemudian dilakukan pemulasaran sangat ketat dan sesuai dengan standar WHO, prosesnya hanya dilakukan oleh tim tenaga medis yang khusus, dengan alat pelindung diri (APD) lengkap.
Setelah itu dilakukan disinfektan, dibungkus plastik, dan dikebumikan, maka tidak menularkan virus pada masyarakat di sekitar area pemakaman.
Demikian pula penjelasan dari surat edaran Dirjen Binmas Islam, Nomor: P-003/DJ.III/HK.00.7/04/2020, yang berisi perubahan atas Surat Edaran yang telah diterbitkan sebelumnya terkait pelaksanaan protokol penanganan Covid-19 pada area publik.
Ketentuan huruf E angka 4, bahwa pengurusan jenazah pasien Covid-19 dilakukan oleh petugas kesehatan yang beragama Islam dari rumah sakit yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
Setelah pengkafanan selesai jenazah dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan. Dengan cara demikian saat dikuburkan jenazah menghadap kiblat.
Jenazah dimasukkan ke dalam liang kubur bersama petinya tanpa harus membuka peti, plastik, dan kain kafan. Penguburan jenazah dapat dilakukan di tempat pemakaman umum.
Empati pada Korban
Dengan penjelasan ini diharapkan tidak ada lagi tindak anarkis dari masyarakat dengan menolak pemakaman jenazah terinfeksi Covid-19. Setiap orang punya tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar memiliki rasa empati kepada jenazah dan keluarganya.
Bayangkan seandainya musibah tersebut menimpa keluarga kita, sudah duka cita mendalam karena ditinggal orang tersayang, masih ditambah dengan stigma bisa menularkan. Mereka butuh dukungan dari masyarakat untuk bisa kuat menghadapi cobaan yang dihadapinya.
Dalam perspektif hukum Islam pemakaman jenazah adalah fardhu kifayah, sehingga haram hukumnya bagi siapa saja yang menghalang-halangi. Ras manusia dimuliakan Allah.
Perlakukan saat masih hidup ataupun sudah meninggal harus manusiawi. Mengingat adanya ayat al-Quran yang mengatakan, bahwa yang berasal dari tanah harus dikembalikan ke dalam tanah.
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ
Dari tanah itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain. (Thaha: 55).
Mati Syahid Dimuliakan
Benar bahwa manusia adalah makhluk mulia di hadapan Allah. Namun demikian ada yang lebih dimuliakan lagi, yaitu mereka yang mati syahid.
Dalam lintasan sejarah Islam banyak juga sahabat yang wafat terkena wabah seperti ini, namun tidak ada riwayat jenazahnya ditolak atau dihalang halangi untuk dikebumikan.
Meninggal dunia sebab wabah bukan aib, bahkan kemuliaan dari Allah karena mati dengan derajat tinggi, yaitu mati sebagai syahid. Sebagaimana hadits Nabi SAW.
حدثني زهير بن حرب حدثنا جرير عن سهيل عن أبيه عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما تعدون الشهيد فيكم قالوا يا رسول الله من قتل في سبيل الله فهو شهيد قال إن شهداء أمتي إذا لقليل قالوا فمن هم يا رسول الله قال من قتل في سبيل الله فهو شهيد ومن مات في سبيل الله فهو شهيد ومن مات في الطاعون فهو شهيد ومن مات في البطن فهو شهيد
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: “Apa yang dimaksud orang mati syahid di antara kalian?”
Para sahabat menjawab, “Duhai Rasulullah, orang yang meninggal karena perang di jalan Allah itulah orang yang mati syahid.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, sedikit sekali jumlah umatku yang mati syahid.” Para sahabat berkata: “Lantas siapakah mereka duhai Rasulullah?”
Beliau bersabda: “Barangsiapa terbunuh di jalan Allah maka dia syahid, dan siapa yang mati di jalan Allah juga syahid, siapa yang mati karena penyakit wabah kolera juga syahid, siapa yang mati karena sakit perut juga syahid.” (Shahih Muslim: 3539)
Mati Syahid dalam Hadits
حدثنا قتيبة عن مالك عن سمي مولى أبي بكر بن عبد الرحمن عن أبي صالح السمان عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال بينما رجل يمشي بطريق وجد غصن شوك على الطريق فأخره فشكر الله له فغفر له ثم قال الشهداء خمسة المطعون والمبطون والغريق وصاحب الهدم والشهيد في سبيل الله
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Sumayya mantan budak Abu Bakar bin ‘Abdurrahman, dari Abu Shalih As Saman dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ketika seorang laki-laki berjalan pada suatu jalan dan menemukan dahan berduri lalu ia membuangnya maka Allah menyanjungnya dan mengampuni dosanya.”
Kemudian beliau bersabda: “Orang yang mati syahid itu ada lima: orang yang mati karena wabah penyakit, orang yang mati karena sakit perut. Juga orang yang mati kerena tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang terbunuh di jalan Allah.” (Shahih Bukhari: 615).
Tiga Macam Mati Syahid
Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama membagi kesyahidan menjadi tiga. Yaitu syahid dunia-akhirat atau syahid hakiki, syahid dunia, dan syahid akhirat atau syahid hukmi.
Pertama, Syahid dunia-akhirat atau hakiki adalah mereka yang mati dalam perang membela kehormatan agama Allah. Atau melawan pemberontak, atau melawan begal yang akan merampas harta miliknya.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Barang siapa yang berperang dengan tujuan membela kehormatan agama Allah maka ia dalam sabilillah”.
Kedua, syahid dunia yaitu mereka yang berperang membela kehormatan agama Allah tapi dengan motivasi dunia. Atau mati saat lari dari medan perang, atau berperang karena riya’. Secara lahiriah mereka ini syahid, namun tidak memperoleh pahala sedikitpun.
Ketiga, syahid akhirat atau hukmi, adalah yang meninggal dunia sebagaimana hadits yang telah dikutip di atas. Yaitu orang yang mati karena wabah penyakit. Orang yang mati karena sakit perut, orang yang mati kerena tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan.
Fatwa Tarjih Jenazah Covid-19
Meskipun syahid, jenazah mereka dirawat seperti jenazah biasa. Lembaga Fatwa Mesir atau Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah memasukkan orang yang meninggal dunia sebab Covid-19, sebagai syahid akhirat atau syahid hukmi. Mereka masuk dalam kategori mati sebab wabah penyakit.
Namun demikian karena Covid-19 ini adalah penyakit menular yang sifatnya khusus, maka ada perlakuaan khusus juga. menurut fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpnan Pusat Muhammadiyah, sebagaiman termuat dalam Surat Edaran PP Muhammadiyah Nomor 02/Edr/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid 19.
Apabila dipandang darurat dan mendesak, jenazah Covid-19 dapat dimakamkan tanpa dimandikan dan dikafani untuk menghindarkan tenaga penyelenggara jenazah dari paparan Covid-19. Dengan pertimbangan asas-asas hukum syariah bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali sejauh yang mampu dilakukannya.
Penyelenggaraan shalat jenazah dapat diganti dengan salat gaib di rumah masing- masing. Adapun kegiatan takziah dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan hal-hal yang terkait penanggulangan Covid-19 atau dilakukan secara daring.
Jadi, tidak ada alasan bagi orang beriman untuk melecehkan jenazah manusia yang telah dimuliakan Allah SWT. Marilah bersama sama menumbuhkan tanggung jawab iman kita, yaitu berempati kepada jenazah korban Covid-19 dan keluarga yang ditinggalkannyanya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.