Kisah sahabat Nabi wafat di Negeri Syam menjadi sejarah menyedihkan di saat kemenangan perang dengan bangsa Rumawi. Para sahabat tak hanya syahid di medan perang tapi juga terserang penyakit thoun.
PWMU.CO–Negeri Syam menurut catatan sejarah Islam pernah terjangkit wabah sebanyak dua kali. Pernah di zaman Khalifah Umar bin Khaththab sekitar tahun 18 Hijriyah (640 M). Kedua, tahun 749 H (1371 M) di zaman Khalifah Turki Utsmani, Sultan Murad I.
Negeri Syam di zaman itu merupakan sebutan untuk wilayah yang sangat luas meliputi Suriah, Palestina, Yordan, dan Lebanon. Negeri ini masuk kekuasaan Islam di zaman Khalifah Umar bin Khaththab yang mengirimkan Panglima Khalid bin Walid untuk mengusir orang-orang Rumawi sekitar tahun 12 H (634 M).
Enam tahun kemudian Khalid bin Walid digantikan oleh Panglima Amir bin Abdullah bin Jahrah yang populer dipanggil Abu Ubaidah. Dari sinilah kisah sahabat Nabi di Negeri Syam dimulai.
Di zaman Gubernur Abu Ubaidah ini Negeri Syam terjangkit wabah Thoun. Rombongan Khalifah Umar yang ingin mengunjungi negeri itu terpaksa balik pulang ke Madinah ketika sudah sampai di Desa Syargha untuk menghindari penularan.
Usai kunjungan Khalifah Umar yang batal ini, Abu Ubaidah meyakinkan kepada rakyat untuk bersama-sama menghadapi wabah Thoun dan membasminya. Dia berkata, ”Wahai rakyatku, sesungguhnya penyakit ini adalah rahmat dari Tuhan kalian dan panggilan dari Nabi kalian, juga membawa kematian orang-orang saleh sebelum kalian. Aku juga ingin kematian seperti itu.”
Saat di Madinah, Umar memikirkan keselamatan Abu Ubaidah, sahabat yang disayang Rasulullah. Dia mengirim utusan untuk memanggil pulang Abu Ubaidah. Namun perintah itu ditolaknya karena tak ingin lari dari tanggung jawab di tengah penderitaan rakyat terserang wabah.
Pada akhirnya Abu Ubaidah tertular juga penyakit ini. Dalam kondisi parah Abu Ubaidah meminta Mu’adz bin Jabal mengimami shalat. ”Wahai Muadz, pimpinlah kami dalam shalat.” Dalam shalat itu, Abu Ubaidah wafat ketika berusia 58 tahun.
Kisah Muadz bin Jabal
Kemudian Muadz bin Jabal menggantikan menjadi gubernur. Dia bersama pejabat negeri berjuang membasmi wabah ini. Kalau pun tertular seperti pendahulunya dia pun ikhlas. Muadz mengulangi pidato Abu Ubaidah kepada rakyatnya.
Akhirnya keluarga Muadz tertular. Awalnya anaknya, Abdurrahman, hingga meninggal. Kemudian dia terkena sakit. Saat kondisnya parah, dia pandangi penyakit luka-luka di tangannya. Dia berkata, ”Dengan ini, aku tidak mencintai sedikit pun bagianku di dunia ini seperti penyakit ini.” Setelah itu Mu’adz meninggal juga.
Wabah di Negeri Syam merenggut tokoh penting di antara para sahabat seperti Suhail bin Amr, Syurahbil bin Hasanah, dan Abu Jandal bin Suhail.
Penyakit wabah ini berhasil dibasmi oleh Gubernur Amr bin Ash dengan keputusannya memisahkan orang sakit dengan yang sehat untuk mencegah penularan. Orang sehat diperintahkan mengungsi ke gunung. Pemerintah fokus merawat orang yang sakit.
Kisah para Ulama
Wabah Thoun kedua terjadi lagi 700 tahun kemudian pada tahun 1371 di masa Khalifah Turki Utsmani. Dikabarkan berlangsung lebih lama yakni 15 tahun. Di zaman ini beberapa ulama meninggal terkena sakit.
Dalam tulisan KH Ahmad Hadidul Fahmi menceritakan, ulama itu seperti Umar bin Mudzoffar, yang populer dengan sebutan Ibnu al-Wardi. Dia meninggal setelah mencatat peristiwa bencana wabah ini. Dia sejarawan, penyair, ahli fiqh.
Catatan Ibnu al-Wardi tentang wabah Thoun gambarannya cukup detail dalam kitabnya Risalat al-Naba’ an al-Waba’. Dia menulis, wabah yang melanda Damaskus menghilangkan nyawa 1.000 orang per hari. Dia menyebut wabah telah menyusutkan jumlah penduduk (aqolla al-katsroh).
Diceritakan, Thoun menyebar dari Palestina sampai Suriah hingga menular ke pusat kekhalifahan di Turki. Penyakit menular cepat dari rumah ke rumah. Di mana-mana manusia tergeletak penuh luka di tubuh. Ada yang memuncratkan darah dari mulut.
Dia menulis, ”Di antara ketetapan Allah, Thoun ini berjalan dari rumah ke rumah. Jika seorang mengeluarkan darah dari mulut, maka nyawanya sudah pasti terenggut. Sedang sisanya tinggal menunggu jatah mati, setelah berlalu dua atau tiga hari.”
Diceritakan pula orang-orang mencoba apa saja untuk pengobatan dan pencegahan secara mandiri maupun dari buku kedokteran. Mereka makan dedaunan kering, makanan bercuka, dan bawang.
Ada juga yang bersedekah tiap hari tiada putus agar terhindar dari wabah. Atau menyambung silaturahmi kembali dan berdamai dengan musuhnya. Memerdekakan budak-budaknya. Pedagang menambah kadar timbangan sebagai sedekah.
Gambaran Wabah Mengerikan
Gambaran mengerikan terbaca dari kalimat ini. ”Jika kalian sudah melihat banyak keranda dan para pemanggulnya, niscaya kalian akan menjauh seketika dari mereka.”
Siapapun yang melihat mayat akan ketakutan terjangkit wabah. Dia juga menulis, para pemanggul mayat menjadi berlimpah uang dari ongkos mengusung jenazah ini.
Ibnu al-Wardi geram melihat kondisi ini tampak dari dua bait syairnya.
Aku tidak takut padamu, Thoun
Tidak seperti selainku
Bagiku, hasilnya adalah dua kebaikan
Jika aku mati, aku beristirahat dari musuhku
Jika aku hidup, berarti telinga dan mataku sudah sembuh
Tak lama setelah itu dia tertular. Dalam waktu dua hari dia meninggal. Dalam catatannya, wabah menyebabkan meninggalnya Qodli Syihab al-Din Ahmad bin Fadlullah al-Ummari. Hakim ini meninggal terjangkit wabah di Damaskus.
Ulama lainnya Taj al-Din al-Subki. Dia terjangkit setelah menulis kitab tentang wabah Juz’un min al-Thoun. Kemudian menyusul ulama al-Subki, Syihab al-Din Yahya al-Tilmisani pengarang kitab al-Thibb al-Masnun fî Daf‘an al-Thoun.
Ulama Murtadlo al-Zabidi, pensyarah kitab Ihya Ulumuddin terjangkit wabah setelah shalat Jumat, lantas meninggal dua hari kemudian. Begitu juga sejarawan al-Shofadi juga meninggal terjangkit sakit ini. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto