Pagebluk, Paceklik, dan Ontran-Ontran ditulis oleh Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Dalam literatur budaya Jawa, kondisi yang sedang terjadi saat ini dapat disebut musim pagebluk.
Pagebluk merupakan istilah dalam tradisi Jawa untuk menggambarkan kondisi mewabahnya penyakit yang berbahaya. Begitu dahsyatnya dampak yang ditimbulkan musim pagebluk hingga menimbulkan begitu banyak korban.
Pepatah Jawa menggambarkan musim pagebluk dengan narasi; “Isuk loro sore mati.” Pernyataan ini menggambarkan betapa ganas wabah penyakit yang terjadi pada musim pagebluk. Sehingga dalam durasi sangat singkat seseorang bisa mati.
Musim pagebluk yang kini terjadi di hadapan kita adalah wabah Covid-19. Tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia, Lebih dari it, Covid-19 juga mengancam kondisi sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik.
Sejauh ini Covid-19 juga telah memaksa warga untuk tinggal di rumah (stay at home), bekerja dari rumah (work from home), belajar dari rumah (study from home), dan beribadah di rumah (pray at home).
Nasib Pekerja Informal
Tetapi tentu tidak semua warga bisa tinggal di rumah. Kondisi itu terutama dialami mereka yang bekerja harian di sektor-sektor informal.
Para pekerja dengan upah harian terpaksa masih keluar rumah untuk menjemput rezeki. Mereka terpaksa tetap bekerja untuk mempertahankan kehidupan.
Mereka ini selalu mengatakan: “Kami tidak takut Corona. Yang kami takutkan adalah jika istri dan anak di rumah tidak makan.”
Dalam kondisi seperti ini apapun kebijakan yang dibuat pemerintah pasti tidak efektif. Kebijakan pembatasan social (social distancing) dan pengaturan jarak fisik (physical distancing) seakan tidak berlaku bagi para pekerja harian. Sebab, yang dipertaruhkan adalah keberlangsungan hidup diri dan keluarga.
Sementara itu pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk memaksa para pekerja harian berada di rumah. Hal itu karena pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menjamin kebutuhan hidup mereka.
Pemerintah pun membiarkan mereka tetap keluar rumah untuk bekerja. Sebab, jika mereka kehilangan pekerjaan, maka pasti akan terjadi musim “paceklik”. Musim paceklik akan semakin massif karena tingkat pengangguran semakin bertambah. Musim pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Covid-19 juga terus terjadi.
Pada suatu kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, juga membenarkan bertambahnya tingkat pengangguran terbuka (TPT) akibat pandemi Covid-19.
Dia juga memperkirakan potensi pengangguran saat ini mencapai 2,92 juta orang. Dan sangat mungkin akan terus bertambah hingga mencapai 5,23 juta jiwa.
Dari Paceklik ke Otran-Otran?
Dampak sosial ekonomi Covid-19 itulah yang akan mengakibatkan situasi sulit hingga disebut musim paceklik. Musim paceklik dalam budaya Jawa dipahami sebagai kondisi yang serba sulit, tidak tersedia kebutuhan pokok, dan kegiatan perdagangan berhenti total.
Jika musim paceklik ini berkepanjangan sebagaimana diprediksi para ahli Covid-19, maka dapat diramalkan apa yang akan terjadi dengan negeri ini.
Di tengah kondisi paceklik semua persoalan sosial sangat mungkin akan terjadi. Termasuk kemungkinan terjadi ontran-ontran (huru-hara atau keonaran).
Peristiwa ontran-ontran itu akan benar-benar sebagai dampak tiadanya kesediaan kebutuhan pokok manusia. Dampaknya, dalam kondisi lapar dan kesulitan ekonomi orang bisa sangat mudah terbakar emosinya.
Bukan hanya bidang ekonomi, keonaran juga bisa merambah ke panggung politik. Rakyat bisa bergerak untuk menuntut katakmampuan pemerintah menangani Covid-19.
Para penumpang gelap dari pagebluk Covid-19 bisa saja membakar emosi rakyat sehingga terus terjadi ontran-ontran politik.
Jika kondisi itu terjadi, sangat mungkin akan terjadi kekacauan (chaos) politik. Semoga dengan pertolongan Allah SWT, semua prediksi itu tidak terjadi. Dan, bangsa ini lulus dari ujian Covid-19. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.