Sambut Puasa dengan Gembira di Tengah Corona ditulis oleh Aji Damanuri, Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Islam IAIN Ponorogo dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungangung.
PWMU.CO – Bergembira menyambut puasa bukan hal aneh bagi umat Islam yang taat. Namun terasa gajil bagi orang yang tidak taat. Bagaimana mungkin orang disuruh bahagia dengan kesulitan? Bagaimana mungkin kepayahan, rasa lapar, dan haus diterima dengan senang hati?
Jika biasanya bisa sarapan pagi,ngopi, dan melakukan aktivitas tanpa takut lapar dan dahaga. Juga spirit tubuh bisa selalu fresh karena kapan pun bisa memasukkan asupan energi. Tapi kini semua itu harus ditahan. Secara logika, pasti berat.
Tapi bagi yang beriman, puasa ramadhan disambut dengan gembira: Marhaban ya Ramadhan! Mengapa gembira?
Dalam hadits Nabi SAW disebutkan orang yang merasa senang dengan kedatangan Ramadhan maka jasadnya diharamkan masuk neraka. Ini baru merasakan senang dengan datangnya bulan suci itu. Belum melakukan puasa.
Tiga Cara Gembira Berpuasa
Bagaimana bisa bergembira atas sesuatu yang berat itu? Pertama, karena kebanggaan. Konon, motor Harly Davidson keluaran pertama dan kedua tidak memiliki sistem suspensi yang baik. Tdak ada per yang membuatnya nyaman dikendarai.
Bedakan dengan motor matik generasi baru yang halus jalannya, bahkan tidak begutu terasa pada jalan terjal. Tetapi pengendara Herly Davidson merasa senang menaikinya, merasa bangga memiliki motor besar meski sebenarnya tidak nyaman dikendarai.
Ketika kita merasa bangga dengan ibadah yang kita lakukan, dalam hal ini puasa, maka sedikit kesulitan puasa tidak akan menjadi hambatan yang berarti.
Kedua, yang dapat membuat kita senang dalam beribadah adalah karena hobby. Orang yang memiliki hobby rela melakukan apa saja untuk memenuhi hobby-nya itu. Dia sanggup mengeluarkan berapapun dana. Juga mau meluangkan waktu.
Dulu ketika Covid 19 belum mewabah, saat puasa saya dan teman-teman sering duduk di teras masjid selepas shalat Ashar. Kebetulan di depan masjid kampus ada menara panjat tebing.
Meskipun sedang puasa para mahasiswa pecinta alam tetap melakukan latihan panjat tebing. Meskipun terik matahari sore masih menyengat dan tentu saja tenaga sudah berkurang. Saya lihat mereka tampak gembira bercanda ria sambil mengencangkan tali pengikat tubuh. Mereka bahkan berkompetisi dengan temannya untuk bisa sampai ke atas.
Begitulah hobby. Dia bisa membuat seseorang menyenangi kegiatan yang menurut orang lain berat. Bahkan teman saya sambil melihat mereka berkata, “Anak-anak itu disuruh bantu bapaknya di sawah sore-sore begini apa yang mau ya?”
Saya jawab, “Ya kayaknya berat, kalau ini kan hobby.”
Kekuatan Cita-Cita
Ketiga, cita-cita yang hendak di raih. Tujuan puasa adalah insan yang bertakwa. Secara psikis seseorang yang menginginkan sesuatu pasti akan memperjuangkannya.
Seorang laki-laki yang menginginkan seorang wanita untuk menjadi istrinya tentu memperjuangkannya. Seorang ayah yang ingin membangunkan sebuah rumah untuk keluarganya pasti melakukan semua hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan itu.
Inilah pentingnya membangun mimpi dalam hidup ini karena semua hal di dunia ini berawal dari mimpi.
Dalam anekdot sering disebutkan, Nail Amstrong bermimpi ingin kencing di bulan maka ia mewujudkan mimpinya. Thomas Alfa Edison bermimpi ada lampu dalam sebuah kaca yang bisa menerangi dunia.
James Watt sejak kecil bermimpi uap dari ketel pada tungku perapian di ruang perapian rumahnya bisa meledakkan rumah beserta isinya jika semua ruangan ditutup. Dia bermimpi akan sebuah energi, jadilah mesin uap.
Begitu pula seorang atlit olah raga rela berlatih berat supaya menjadi juara. Seorang pragawati rela diet dan mengekang nafsu makan supaya bisa tampil menawan. Seorang peserta lomba olimpiade sains rela mengikuti kursus ke sana kemari karena ingin menang.
Mereka semua berlatih dengan giat untuk memperoleh kesenangan akan prestasi. Lalu bagaimana seorang hamba yang jelas tujuan dan balasannya tidak berusaha dengan keras.
Tiga hal di atas, kebanggaan, hobby, dan cita-cita merupakan modal yang sangat penting dalam menjalankan ibadah puasa agar senang dan riang.
Orang yang bangga dengan hobby ibadah seperti puasa, shalat Dhuha, shalat malam, dzikir ba’da shalat biasanya memiliki cita-cita atau tujuan.
Tentu saja tujuan sebuah ibadah adalah taqarrub illallah, mendekatkan diri kepada Allah. Dalam bahasa agama rasa senang itu refleksi dari ketaatan dan keikhlasan.
Kebiasaan yang Dicintai
Ketaatan dan keikhlasan dapat dibangun dari sebuah kebiasaan yang dicintai. Tidak perlu berusaha khusyu dalam beribadah, cukup merasa senang dan terus beribadah maka lama-lama akan terbentuk kekhusyukkan.
Tidak perlu membangun keikhlasan dulu untuk bersedekah, tapi terus gemar bersedekah maka suatu saat keihlasan akan terbentuk dalam hati kita. Bagaimana kekhusyukkan terbentuk jika jarang beribadah. Bagaimana keikhlasan muncul dalam hati jika jarang bersedekah.
Rasa gembira (farhan) adalah sesuatu yang harus diciptakan dan diusahakan dengan sungguh-sungguh. Perasaan senang sambut puasa penuh gembira di bulan Ramadhan yang sudah bersemayam di hati kita boleh jadi terbentuk karena kebiasaan kita sejak kecil.
Karenanya Covid-19 tidak akan menghalangi kegembiraan para pecinta Ramadhan yang merindukan kehadirannya.
Kegembiraan puasa sangatlah unik, menyambut dengan gembira, menjalani dengan gembira, dan mengakhiri dengan gembira.
Bagi seorang yang berpuasa maka akan memperoleh dua kebahagiaan, kebahagiaan proses ketika berbuka (‘inda iftarihi) dan kebahagiaan hasil ketika bertemu dengan rabbnya (‘inda liqai rabbihi).
Semoga kita bagian dari orang-orang yang diharamkan jasadnya masuk ke neraka karena senang dengan kedatangan Ramadhan. Marhaban ya Ramadhan, mari kita sambut puasa penuh gembira! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.