Logika Tak Terduga KH Ahmad Dahlan ditulis oleh M. Anwar Djaelani, seorang aktivis dakwah Islam yang aktif menulis sejak 1996.
PWMU.CO – Banyak teladan yang bisa kita petik dari seorang KH Ahmad Dahlan. Berbagai teladan itu meliputi banyak sisi. Misalnya hormat kepada orangtua, tekun dalam belajar, pandai bergaul dengan semua lapisan sosial, tangkas dalam berdiskusi, cerdas dalam merespon situasi, dan lain-lain.
Ahmad Dahlan yang lahir tahun 1868 dikenal sangat suka membaca. Beliau banyak membaca kitab-kitab, baik klasik maupun kontemporer.
Di antara kitab yang tekun dikajinya adalah Tafsir Juz Amma dan Tafsir Al-Manar. Sejumlah media berkala juga diseriusinya, seperti Majalah Al-Manar dan Majalah Al-‘Urwatul Wutsqa yang dikelola Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Di titik ini, bisa kita mengerti, jika Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah itu—memiliki keluasan cakrawala berfikir tentang Islam yang bisa melebihi kebanyakan ulama di negeri ini pada masanya dan juga sesudahnya. Nilai lebih itu bisa dalam hal kecerdasan, daya respon, ghirah, perhatian, dan lain-lain.
Tentang kelebihan itu, mari kita rasakan lewat dua kisah berikut ini. Untuk mudah merasakan situasi yang terjadi kala itu, ada baiknya kita ingat bahwa Ahmad Dahlan wafat pada 1923. Artinya, dua kisah yang akan diangkat berikut ini, terjadi sebelum beliau berpulang.
Logika Kereta Api Buatan si Kafir
Kisah pertama: “Respon Cerdas ala KH Ahmad Dahlan”. Dulu, di saat mengajar, Ahmad Dahlan biasa menggunakan alat atau media pembelajaran seperti yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah formal. Maksudnya, di sekolah-sekolah yang dikelola penjajah, yang menganut agama lain.
Terkait hal itu, sontak Ahmad Dahlan dicemooh oleh banyak guru mengaji yang masih cenderung bersikap tradisional cara berpikirnya. Di antara mereka, ada seorang guru dari Magelang yang mencibir Ahmad Dahlan sebagai kiai kafir atau kiai Kristen.
Sangat mungkin, sebutan ini muncul karena menghubung-hubungkan cara Ahmad Dahlan mengajar di kelas yang dianggap sama dengan guru-guru sekolah formal yang dikelola “si Kafir”.
Apa respon Ahmad Dahlan? Kepada si guru mengaji tersebut, Ahmad Dahlan bertanya: “Dengan kendaraan apa Anda saat pergi ke Yogyakarta? Si guru itu menjawab, bahwa dia ke Yogyakarta dengan menumpang kereta api.
Mendengar jawaban itu Ahmad Dahlan lalu berkata, “Nanti sepulang dari Yogyakarta sebaiknya Anda jalan kaki saja”.
Awalnya si guru itu tak paham arah bicara Ahmad Dahlan. Dia bertanya, “Mengapa harus jalan kaki?”
Lalu Ahmad Dahlan menjelaskan, jika si guru pulang ke Magelang dari Yogyakarta dengan menumpang kereta api—sebagaimana pada saat dia berangkat—maka itu berarti dia telah menggunakan alat tranportasi bikinan orang kafir.
Lewat jawaban cerdas itu, siapa pun paham, bahwa kritik si guru terhadap Ahmad Dahlan sama sekali tak punya dasar. Subhanallah!
Logika Dansa Sendirian di Alun-Alun
Kisah kedua. Di negeri ini, di awal abad 20, acara dansa digemari kalangan priyayi Jawa. Uniknya, kala itu, dansa sering dikatakan sebagai kegiatan olahraga.
Mendenar “pembelaan” itu—yaitu dansa sebagai bentuk olahraga—berkatalah Ahmad Dahlan: “Jika dansa memang olahraga, apa mereka mau melakukan dansa sendirian di pagi hari dan di tempat terbuka semisal di alun-alun?”
Argumentasi Ahmad Dahlan soal dansa itu tak hanya cerdas secara logika, tapi juga mengundang senyum. Itu, jawaban pas meski jenaka.
Atas dua kisah di atas, sangat mungkin banyak di antara kita yang lalu ingat bagaimana dengan respon Nabi Muhammad atas berbagai hal tak terduga yang diajukan kepadanya.
Kisah Pemuda Minta Izin Berzina
Untuk kisah Ahmad Dahlan yang pertama, bisa jadi kita lalu ingat tentang seorang pemuda yang meminta izin berzina.
Alkisah, suatu hari seorang pemuda mendatangi Nabi SAW. “Wahai Rasulullah, izinkan saya berzina,” kata si pemuda.
Mendengar pertanyaan aneh itu, orang-orang yang berada di sekitar peristiwa itu, lalu bergegas mendatanginya.
“Diam kamu! Diam,” hardik mereka.
Tapi, sikap Rasulullah SAW berbeda dengan para Sahabat.
“Mendekatlah,” kata Nabi Saw kepada pemuda itu.
Si pemuda pun lalu mendekat dan duduk.
“Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain,” tanya Nabi Saw.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul,” sahut pemuda itu cepat.
“Begitu pula orang lain, tidak rela kalau ibu mereka dizinai,” jelas Nabi SAW.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang,” tanya Nabi SAW.
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul,” respon pemuda itu segera.
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika putri mereka dizinai,” terang Nabi SAW.
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika bibi—dari jalur bapakmu–dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
“Relakah engkau jika bibi—dari jalur ibumu— dizinai?”
“Tidak, demi Allah, wahai Rasul!”
“Begitu pula orang lain, tidak rela jika bibi mereka dizinai.”
Lalu Rasulullah SAW meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya, dan jagalah kemaluannya.”
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina. Maka, terasakan, adanya sebuah proses pendidikan yang sangat berhasil dari seorang Nabi atau peminpin kepada umatnya.
Kisah Nenek Tak Masuk Surga
Sekarang untuk kisah Ahmad Dahlan yang kedua, “Dansa di Alun-Alun”. Bisa saja setelah membaca argumentasi Ahmad Dahlan di kisah itu, kita lalu terkenang dengan jawaban Nabi SAW saat seorang nenek tua mendatangi Nabi SAW.
“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkan saya ke dalam surga,” pinta si nenek.
“Wahai Ummu Fulan, surga tak mungkin dimasuki oleh nenek tua,” jawab Nabi SAW.
Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Atas hal itu, Nabi SAW bersabda, “Kabarilah dia bahwa surga tidaklah mungkin dimasukinya sedangkan dia dalam keadaan tua.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya.” (al-Waaqi’ah 35-37).
Pesan dari dialog Nabi SAW dan nenek tua adalah bahwa penduduk surga tidak ada yang tua. Sebab, seluruhnya akan kembali muda. Berarti, tidak ada nenek tua di surga karena semuanya sudah kembali dalam keadaan gadis yang masih perawan.
Semoga kita mendapat pelajaran berharga dari kisah-kisah dalam tulisan Logika Tak Terduga KH Ahmad Dahlan ini. “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf 111). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan Logika Tak Terduga KH Ahmad Dahlan adalah versi online HANIF edisi 36 Tahun ke-XXIV, 24 April 2020/1 Ramadhan 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.