Hukum Menunda Qadha Puasa hingga Ramadhan Berikutnya ditulis Dr Syamsuddin MA, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Ada tiga kelompok mukallaf yang diizinkan tidak puasa Ramadhan. Sebagai gantinya mereka mengqadha puasanya pada hari-hari di luar Ramadhan.
Tiga kelompok tersebut adalah orang sakit, musafir, dan perempuan haid. Izin untuk orang sakit dan musafir bersifat pilihan, boleh puasa boleh juga tidak puasa, tergantung kepada situasi dan kondisi yang ada.
Untuk perempuan yang haid bersifat larangan, sebagaimana ijmak ulama, bahwa syariat Islam melarang wanita haidh mengerjakan tiga macam peribadatan. Yaitu shalat, puasa, dan thawaf.
Untuk shalat mereka dilarang mengerjakan pada waktunya (adaa’an) ataupun di luar waktunya (qadha’an). Untuk puasa mereka dilarang mengerjakan pada waktunya (adaa’an), namun dibolehkan mengerjakan di luar waktunya (qadha’an).
Dasar hukum kebolehan untuk tidak puasa bagi orang sakit dan musafir adalah firman Allah dalam al-Baqarah 185.
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Larangan Puasa bagi yang Haid
Sedangkan dasar hukum larangan puasa bagi perempuan haid adalah riwayat dari ummul mukminin, Aisyah
حدثنا عبد بن حميد أخبرنا عبد الرزاق أخبرنا معمر عن عاصم عن معاذة قالت سألت عائشة فقلت ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
Telah menceritakan kepada kami Abd bin Humaid telah mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Ashim dari Mu’adzah dia berkata:
Saya bertanya kepada Aisyah: Kenapakah wanita yang haid harus meng-qadha puasanya tapi tidak meng-qadha shalatnya?
Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Saya jawab, saya bukan Haruriyah, saya hanya bertanya. Aisyah menjawab, “Kami dahulu saat mengalami haid diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (Shahih Muslim: 508).
Wajib Qadha Puasa
Berdasarkan dalil ini para fukaha mewajibkan qadha puasa bagi orang yang memiliki utang puasa. Pelunasan utang puasa dilaksanakan sebelum datang Ramadhan berikutnya.
Ketentuan ini juga berdasarkan keterangan Aisyah:
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ
Saya pernah memiliki utang puasa Ramadhan, saya tidak mampu melunasinya kecuali pada bulan Sya’ban (HR, al-Bukhari: 1950). Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, asysyughlu bi rasulillah (karena beliau sibuk melayani Rasulullah SAW (HR Muslim: 1146).
Diriwayatkan bahwa ummul mukminin Aisyah sangat setia kepada suaminya yaitu Nabi SAW. Ia siap sedia menemani dan melayani kapanpun suaminya datang.
Aisyah tidak ingin agenda hajat suaminya terganggu gara-gara qadha puasa yang dijalankannya. Hal inilah yang menyebabkan Aisyah meng-qadha puasanya pada bulan Sya’ban, bulan terakhir sebelum Ramadhan.
Berdasarkan praktik Aisyah ini dipahami bahwa qadha puasa boleh dilaksanakan pada bulan Sya’ban, karena perbuatan Aisyah dipandang sebagai sunnah taqriri, atau perbuatan yang mendapat persetujuan dari Nabi SAW, karena diamnya Nbi adalah persetujuannya.
Dalam Fath al-Bari, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, mengatakan:
وَيؤْخَذ مِنْ حِرْصهَا عَلَى ذلك في شَعْبَان: أَنَّهُ لا يجُوز تَأْخِير الْقَضَاء حَتَّى يدْخُلَ رَمَضَان آخر
Disimpulkan dari semangat Aisyah meng-qadha puasa di bulan Sya’ban, bahwa tidak boleh mengakhirkan qadha puasa Ramadhan sehingga masuk bulan Ramadhan yang berikutnya. (Fathul Bari, IV/191).
Tiga Pendapat Ulama
Belum qadha hingga datang Ramadhan berikutnya Ibn Rusyd (wafat 1196 M), mengatakan jika seseorang memiliki utang puasa dan belum dilunasi hingga datang bulan Ramadhan yang berikutnya, maka terdapat tiga macam pendapat di kalangan fukaha.
Pertama, setelah selesai Ramadhan yang bersangkutan wajib meng-qadha puasanya dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Malik bin Anas, asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
Kedua, yang bersangkutan wajib meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i.
Ketiga, yang bersangkutan tidak meng-qadha, juga tidak membayar fidyah. Pangkal perbedaan pendapat ini terletak pada boleh dan tidaknya mengqiyaskan kaffarah dari satu bentuk pelanggaran puasa kepada bentuk pelanggaran puasa yang lainnya.
Dalam hal ini adalah meng-qiyas-kan keterlambatan meng-qadha puasa kepada kesengajaan membatalkan puasa tanpa alasan syar’i. Bagi yang tidak setuju penggunaan qiyas, maka berpendapat bahwa orang yang memiliki utang puasa dan belum dilunasi hingga datang bulan Ramadhan cukup meng-qadha saja.
Sedangkan bagi yang setuju dengan qiyas maka berpendapat meng-qadha dan membayar fidyah. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak perlu mengqadha, juga tidak membayar fidyah, tidak bisa diterima, karena menyalahi dalil agama (Bidayatul Mujtahid, I/292).
Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, berpendapat; jika seseorang mengakhirkan qadha hingga datang Ramadhan berikutnya sebab sakit, maka cukup meng-qadha. Jika mengakhirkan qadha karena meremehkan ajaran agama, maka wajib qadha dan bayar fidyah. (http://www.binbaz.org.sa/mat/572).
Kesimpulan
Dari paparan di atas dipahami bahwa menunda qadha hingga masuk Ramadhan berikutnya, baik karena udzur syar’i ataupun tanpa udzur syar’i, memunculkan tiga ketentuan hukum.
- Hukum qadha tidak hilang. Artinya tetap wajib qadha sekalipun sudah melewati Ramadhan berikutnya. Dan hal ini sudah menjadi ijmak.
- Kewajiban bertaubat bagi yang sengaja menunda qadha tanpa ada udzur syar’i. Karena qadha adalah wajib, dan menunda kewajiban adalah pelanggaran atas ajaran agama.
- Apakah hukum menunda qadha puasa cukup meng-qadha ataukah meng-qadha plus membayar fidyah? Dalam hal ini ada dua pendapat.
Pertama, wajib qadha dan membayar fidyah. Menurut asy-Syaukani, ini adalah pendapat mayoritas ulama, Malik bin Anas, asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, (Nailul Authar, 4/278).
Kedua, wajib qadha saja, tanpa membayar fidyah. Ini masyhur sebagai pendapat Abu Hanifah dan para ulama Hanafiyyah. Mereka membangun pendapatnya berdasarkan dalil naqli dan aqli:
a. Secara naqli, semua puasa yang dikerjakan di luar waktunya (qadha’an), baik sebab sakit dan safar, sebagaimana al-Baqarah183. Atau sebab datang bulan, sebagaimana hadis Aisyah riwayat Muslim, hanya menyebut qadha, tidak menyebut fidyah.
Syaikh al-Albani pernah diminta fatwanya tentang masalah ini, yakni qadha plus fidyah bagi yang menunda pelunasan puasanya hingga masuk Ramadan yang berikutnya. Ia hanya mengatakan bahwa pendapat tersebut memang ada, namun tidak ada satu hadits pun yang marfu’ (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah, III/327).
b. Secara aqli, terkait hukum seputar puasa, qadha adalah wajib, dan fidyah juga wajib. Masing-masing memiliki tempat sendiri-sendiri. Pendapat yang mengatakan qadha plus bayar fidyah adalah menghimpun dua kewajiban pengganti sekaligus. Karena qadha adalah kewajiban pengganti dan bayar fidyah juga kewajiban pengganti. Yang demikian ini tidak diperkenankan karena yang wajib dilakukan pasti salah satunya, (Rawa’i al-Bayan, I/210).
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiya, secara umum cenderung kepada pendapat Abu Hanifah dan para ulama Hanafiyyah ini. Sebagaimana paparan singkat yang dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah, No. 22, tahun 2010.
Semoga kajian hukum menunda qadha puasa pada Ramadhan berikutnya ini bermanfaat! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.